-000-
Di balik potensi algoritma untuk memperkuat identitas nasional, tersembunyi ironi yang mengancam: algoritma juga dapat memudarkan nasionalisme.Â
Algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, bukan untuk mempertahankan budaya atau identitas nasional.Â
Hasilnya, algoritma sering kali mendorong konten global yang populer, mengesampingkan budaya lokal yang kurang mendapat perhatian di dunia digital.
Misalnya, seorang remaja Indonesia yang aktif di media sosial lebih sering disodori video K-pop atau tren TikTok dari Amerika Serikat daripada konten tentang tradisi daerahnya.Â
Akibatnya, budaya lokal menjadi terpinggirkan di tengah gelombang globalisasi digital.
Lebih jauh, algoritma juga menciptakan homogenisasi budaya. Platform seperti Netflix atau YouTube merekomendasikan konten yang sesuai dengan pola global.Â
Itu potensial membuat banyak orang di seluruh dunia mengonsumsi budaya yang serupa, mengikis keunikan budaya lokal yang membentuk nasionalisme.
Ketika identitas nasional tak lagi terlihat di ruang digital, nasionalisme perlahan memudar. Tanpa strategi sadar untuk mempertahankan narasi nasional di era algoritma, bangsa-bangsa berisiko kehilangan jati dirinya di tengah derasnya arus globalisasi.
"Dalam keheningan algoritma yang bekerja tanpa henti, identitas kita bisa menguap tanpa kita sadari."
Tapi benar pula. Di tengah derasnya arus algoritma, cinta tanah air tetap bisa menjadi sebuah jangkar."