AGAMA LELUHUR YANG TERSINGKIR DI NEGERINYA SENDIRI
- Pengantar Buku Puisi Esai Ahmad Gaus
Oleh Denny JA
"Lebih hebat dari gempa bumi yang menghancurkan kota Lisbon adalah tindakan 'meluruskan iman,' termasuk membakar hidup-hidup mereka yang berbeda agama."
Ini kutipan terjemahan bebas dari novel Candide karya Voltaire. Novel ini menyoroti ironi dan absurditas praktik auto-da-f  (meluruskan iman) yang dilakukan oleh Inkuisisi Spanyol, abad ke-15 hingga ke-18.
Itu adalah bab kelam sejarah. Keyakinan menjadi alasan penderitaan. Di bawah perintah Tahta Katolik, ribuan orang Yahudi, Muslim, dan mereka yang dianggap heretik dipaksa memilih: memeluk iman resmi, melarikan diri, atau menghadapi penyiksaan.
Metode penyiksaan dirancang dengan kejam. Strappado, misalnya, mengikat korban dengan tali, menggantungnya di udara, lalu menjatuhkannya tiba-tiba untuk merobek persendian.
Ada pula metode roda penyiksaan. Tubuh korban diikat erat pada roda berbilah, memutar mereka hingga tulang-tulang remuk.
Juga ada pola seperti rack, meregangkan tubuh hingga badan terkoyak.
Sementara pola heretic's fork menahan kepala korban agar tetap tegak, tetapi mencegahnya untuk tidur atau bergerak. Lalu air yang diteteskan perlahan di kepala korban selama berjam-jam, yang tampak sederhana, menjadi siksaan mental yang mengerikan.
Namun, paling menyeramkan adalah api. Itu tumpukan kayu, nyala perlahan, dan tubuh korban dibakar perlahan-lahan di depan khalayak ramai. Tak jarang ritus ini dijalankan dengan iringan nyanyian memuja Ilahi.
Kengerian ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merobek jiwa dan warisan budaya. Inkuisisi Spanyol adalah pengingat suram bagaimana fanatisme bisa melahirkan kreativitas membuat orang menderita tak terperi.
Itu semua dilakukan dengan niat yang suci: menjaga kemurnian ajaran Tuhan, yang maha mengasih dan penyayang.
-000-
Voltaire menggunakan satire ini untuk mengkritik keyakinan bahwa penderitaan manusia lebih mengerikan dibandingkan bencana alam, seperti gempa bumi Lisbon tahun 1755.
Ditulis pada tahun 1759, Candide lahir dalam konteks Zaman Pencerahan. Saat itu, rasionalitas dan skeptisisme terhadap otoritas tradisional, termasuk gereja, mulai berkembang.
Voltaire, sebagai salah satu tokoh utama gerakan ini, menggunakan karyanya untuk mengecam kebrutalan yang dilakukan atas nama agama. Ia menyoroti absurditas tindakan tersebut sebagai "bencana yang dibuat manusia lebih sadis dibandingkan bencana alam."
Voltaire berada di barisan terdepan, berteriak perlunya toleransi, kebebasan berpikir, dan pemisahan antara gereja dan negara.
Relevansi kritik Voltaire tetap terasa hingga kini. Ia mengingatkan kita akan bahaya fanatisme dan dogma yang membutakan, serta pentingnya pendekatan rasional dan humanis dalam menghadapi keberagaman.
-000-
Renungan Voltaire ini yang saya ingat ketika membaca 15 puisi esai Ahmad Gaus dalam kumpulan "Mereka Yang Tersingkir di Negerinya Sendiri."
Ahmad Gaus hidup sekitar 300 tahun setelah era Voltaire. Kini sudah tumbuh kultur Hak Asasi Manusia. Perbedaan agama di dunia modern dihadapi secara rileks saja.
Tapi di berbagai belahan dunia, jejak diskriminasi itu masih terasa. Memang di era ini, diskriminasi agama tak lagi dengan cara pembunuhan atau pembakaran individu secara hidup-hidup.
Tetapi aroma diskriminasi terhadap agama itu tetap hadir walau dalam bentuknya yang lebih halus.
Kumpulan 15 puisi esai Ahmad Gaus ini mungkin yang pertama di dunia, yang mengolah hasil riset diskriminasi atas agama leluhur di Indonesia, dan diekspresikan dalam satu buku khusus puisi.
Puisi esai berjudul "Pelangi di Mata Irena" karya Ahmad Gaus mengisahkan pengalaman Irena, seorang anggota suku Nuaulu di Pulau Seram.
Ia terpaksa mencantumkan agama lain di KTP-nya demi melanjutkan pendidikan. Puisi ini menyoroti diskriminasi yang dialami oleh penganut kepercayaan leluhur yang tidak diakui secara resmi.
"Kami, ujarnya, meyakini Tuhan Yang Maha Esa
Pencipta alam semesta
Tapi orang-orang di luar sana bilang, kami sesat.
Pemerintah menganggap kami tidak beragama.
Naurus disatukan ke agama Hindu
Padahal kami berbeda dengan Hindu.
Di SD anak-anak Naurus harus belajar agama Islam atau
Kristen.
Di SMP mereka belajar agama yang lain lagi."
Puisi esai ini mengangkat isu diskriminasi terhadap masyarakat adat yang menganut kepercayaan leluhur. Meskipun Indonesia mengakui keberagaman, kenyataannya banyak komunitas adat yang terpinggirkan karena kepercayaan mereka tidak diakui secara resmi.
Akibatnya, mereka menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan publik, pendidikan, dan pekerjaan.
Melalui dialog antara Irena dan Yopi, puisi ini menggambarkan dilema yang dihadapi oleh penganut kepercayaan Naurus.
Mereka dipaksa menyesuaikan diri dengan agama yang diakui pemerintah demi mendapatkan hak-hak dasar. Hal ini mencerminkan kurangnya pengakuan dan penghormatan terhadap kepercayaan lokal yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa.
Puisi ini juga menyoroti dampak psikologis dan identitas yang dialami oleh individu seperti Irena. Ia terpaksa menyembunyikan atau mengubah identitas kepercayaannya demi memenuhi tuntutan administratif.
Mereka juga menghadapi konflik batin antara menjaga warisan leluhur dan memenuhi persyaratan sosial.
-000-
Puisi esai Ahmad Gaus lain berjudul "Secangkir Teh yang Tumpah di Kaki Cenning." Puisi ini mengisahkan pertemuan antara Uleng dan Cenning, yang membuka tabir sejarah diskriminasi terhadap penganut agama To Lotang di Sulawesi Selatan.
Melalui dialog mereka, puisi ini menyoroti keteguhan komunitas To Lotang. Itu terlihat dari daya tahan mereka mempertahankan kepercayaan leluhur meski menghadapi persekusi selama berabad-abad.
"Kakeknya dibunuh oleh pasukan pemberontak Islam pada tahun '65
Karena dianggap kafir.
Tidak cukup sampai di situ,
Di masa awal pemerintahan Orde Baru
Para pemeluk agama To Lotang diburu
Dianiaya, dibunuh karena dianggap PKI.
Perlengkapan upacara dan ritual mereka dimusnahkan
Pemakaman adat mereka dibongkar.
Mereka yang masih hidup
Dipaksa untuk memilih satu agama yang diakui oleh negara.
Sebagian dari kami memeluk Hindu. Sebagian lagi
Memilih Islam.
Tapi keluarga besar kami tetap memeluk
Agama To Lotang. Karena ini agama leluhur. Apakah kami salah?" Tanya Cenning.
Puisi esai ini juga mengangkat isu diskriminasi yang dialami oleh komunitas To Lotang. Ia penganut agama leluhur yang telah ada sebelum masuknya agama-agama besar di Indonesia.
Meskipun konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, kenyataannya banyak komunitas adat seperti To Lotang menghadapi tekanan untuk berasimilasi dengan agama yang diakui negara.
Mereka sering kali dipaksa memilih identitas agama yang bukan kepercayaan asli mereka demi mendapatkan pengakuan dan hak-hak sipil.
Melalui narasi puitis, Ahmad Gaus menggambarkan konflik batin dan tantangan yang dihadapi oleh individu seperti Cenning dalam mempertahankan identitas kepercayaannya.
Puisi esai berjudul "Clara dan Ingatan Tua di Minahasa" mengisahkan perjalanan Clara. Ia kembali ke kampung halamannya di Minahasa setelah lama merantau di Jakarta.
Ia merindukan teman-temannya dan Wale Paliusan, rumah ritual agama leluhur Malesung, yang ternyata telah dirusak oleh oknum anti-toleransi.
Puisi ini menyoroti tantangan yang dihadapi komunitas penghayat kepercayaan dalam mempertahankan tradisi dan identitas mereka di tengah intoleransi.
"Pagi itu langit cerah
Namun wajah Clara dan Ivan terlihat murung
Bangunan Wale Paliusan di hadapan mereka sudah hancur berkeping-keping.
Kabar yang viral di media sosial menyebutkan,
Kemarin malam ada orang yang mengaku aktivis gereja
Merusak bangunan itu.
Ia menganggap Wale Paliusan adalah tempat
Perkembangan aliran sesat.
Ban-ban bekas dibakar di dalam bangunan
Bahkan pohon kelapa di sampingnya ditebang dan dirobohkan
Menimpa bangunan.
Si perusak mengaku mendapat dukungan dari masyarakat."
Puisi esai ini juga mengangkat isu intoleransi dan diskriminasi yang dialami oleh komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia.
Meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama, kenyataannya masih ada kelompok yang mengalami persekusi dan marginalisasi.
Perusakan Wale Paliusan mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap keragaman budaya dan kepercayaan yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa.
Melalui narasi Clara dan Ivan, puisi ini menggambarkan betapa rapuhnya warisan budaya leluhur di tengah arus modernisasi dan intoleransi.
Kehancuran Wale Paliusan bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga simbol hilangnya ruang bagi komunitas untuk menjalankan ritual dan menjaga identitas mereka.
Melalui "Clara dan Ingatan Tua di Minahasa," kita diajak untuk menghargai dan melestarikan keragaman budaya serta kepercayaan yang ada. Itu bagian integral dari identitas bangsa Indonesia.
-000-
Lebih dari 180 agama leluhur lahir di Nusantara, merefleksikan jiwa bangsa yang berpadu dengan alam dan leluhur.
Namun, agama-agama ini sering terpinggirkan, tertelan arus modernisasi dan diskriminasi. Padahal, merawat agama leluhur bukan hanya soal menjaga minoritas, tetapi soal melestarikan identitas, harmoni, dan kebijaksanaan bangsa.
Pertama, agama leluhur adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Nusantara. Dari Kaharingan hingga Marapu, setiap tradisi membawa warisan budaya yang memperkaya keberagaman kita. Kehilangannya berarti hilangnya fragmen penting dari sejarah bangsa.
Kedua, menghormati agama leluhur membangun harmoni sosial. Diskriminasi hanya menciptakan luka sosial yang mengancam persatuan. Inklusi agama leluhur menguatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, di mana perbedaan dirayakan, bukan diseragamkan.
Ketiga, agama leluhur menyimpan kebijaksanaan ekologis yang relevan di tengah krisis modern. Dari cinta pada alam hingga spiritualitas yang mendalam, tradisi ini menawarkan panduan moral yang berharga.
Memang dalam 10 tahun terakhir sudah ada perbaikan pendekatan kepada agama leluhur. Langkah kecil menuju keadilan telah diambil: agama leluhur kini dapat dicantumkan di kolom kepercayaan KTP.
Sebuah pengakuan simbolis yang tak ternilai bagi mereka yang sekian lama berada di pinggir sejarah. Namun, langkah ini baru awal, bukan akhir.
Diskriminasi masih menyelimuti. Dalam birokrasi, sekolah, hingga ruang kerja, mereka yang memeluk agama leluhur kerap dianggap "tidak lengkap" atau "tidak setara."
Pernikahan adat masih harus berjuang mendapatkan legalitas, dan akses pendidikan spiritual sering terhalang.
Pengakuan di atas kertas hanyalah pintu. Yang dibutuhkan adalah penghormatan di hati. Agar agama leluhur tak lagi hanya dikenang sebagai fosil masa lalu, tetapi dihargai sebagai jiwa bangsa.
Harapan tetap ada, seperti tunas kecil yang tumbuh di tanah tandus. Dengan waktu, pendidikan, dan keberanian untuk melawan prasangka, diskriminasi bisa berubah menjadi harmoni sejati.
Indonesia yang inklusif bukanlah mimpi, melainkan janji yang harus ditepati.
"Melupakan agama leluhur adalah seperti memutuskan benang yang menenun sejarah; tanpa itu, kain kebangsaan kita rapuh dan tercerai."***
Jakarta, 14 Januari 2025
CATATAN
(1) Perlunya merawat agama leluhur
Sumber:
BINUS UNIVERSITY
https://business-law.binus.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H