Ahmad Gaus hidup sekitar 300 tahun setelah era Voltaire. Kini sudah tumbuh kultur Hak Asasi Manusia. Perbedaan agama di dunia modern dihadapi secara rileks saja.
Tapi di berbagai belahan dunia, jejak diskriminasi itu masih terasa. Memang di era ini, diskriminasi agama tak lagi dengan cara pembunuhan atau pembakaran individu secara hidup-hidup.
Tetapi aroma diskriminasi terhadap agama itu tetap hadir walau dalam bentuknya yang lebih halus.
Kumpulan 15 puisi esai Ahmad Gaus ini mungkin yang pertama di dunia, yang mengolah hasil riset diskriminasi atas agama leluhur di Indonesia, dan diekspresikan dalam satu buku khusus puisi.
Puisi esai berjudul "Pelangi di Mata Irena" karya Ahmad Gaus mengisahkan pengalaman Irena, seorang anggota suku Nuaulu di Pulau Seram.
Ia terpaksa mencantumkan agama lain di KTP-nya demi melanjutkan pendidikan. Puisi ini menyoroti diskriminasi yang dialami oleh penganut kepercayaan leluhur yang tidak diakui secara resmi.
"Kami, ujarnya, meyakini Tuhan Yang Maha Esa
Pencipta alam semesta
Tapi orang-orang di luar sana bilang, kami sesat.
Pemerintah menganggap kami tidak beragama.
Naurus disatukan ke agama Hindu
Padahal kami berbeda dengan Hindu.
Di SD anak-anak Naurus harus belajar agama Islam atau
Kristen.
Di SMP mereka belajar agama yang lain lagi."
Puisi esai ini mengangkat isu diskriminasi terhadap masyarakat adat yang menganut kepercayaan leluhur. Meskipun Indonesia mengakui keberagaman, kenyataannya banyak komunitas adat yang terpinggirkan karena kepercayaan mereka tidak diakui secara resmi.