Lebih dari 180 agama leluhur lahir di Nusantara, merefleksikan jiwa bangsa yang berpadu dengan alam dan leluhur.
Namun, agama-agama ini sering terpinggirkan, tertelan arus modernisasi dan diskriminasi. Padahal, merawat agama leluhur bukan hanya soal menjaga minoritas, tetapi soal melestarikan identitas, harmoni, dan kebijaksanaan bangsa.
Pertama, agama leluhur adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Nusantara. Dari Kaharingan hingga Marapu, setiap tradisi membawa warisan budaya yang memperkaya keberagaman kita. Kehilangannya berarti hilangnya fragmen penting dari sejarah bangsa.
Kedua, menghormati agama leluhur membangun harmoni sosial. Diskriminasi hanya menciptakan luka sosial yang mengancam persatuan. Inklusi agama leluhur menguatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, di mana perbedaan dirayakan, bukan diseragamkan.
Ketiga, agama leluhur menyimpan kebijaksanaan ekologis yang relevan di tengah krisis modern. Dari cinta pada alam hingga spiritualitas yang mendalam, tradisi ini menawarkan panduan moral yang berharga.
Memang dalam 10 tahun terakhir sudah ada perbaikan pendekatan kepada agama leluhur. Langkah kecil menuju keadilan telah diambil: agama leluhur kini dapat dicantumkan di kolom kepercayaan KTP.
Sebuah pengakuan simbolis yang tak ternilai bagi mereka yang sekian lama berada di pinggir sejarah. Namun, langkah ini baru awal, bukan akhir.
Diskriminasi masih menyelimuti. Dalam birokrasi, sekolah, hingga ruang kerja, mereka yang memeluk agama leluhur kerap dianggap "tidak lengkap" atau "tidak setara."
Pernikahan adat masih harus berjuang mendapatkan legalitas, dan akses pendidikan spiritual sering terhalang.
Pengakuan di atas kertas hanyalah pintu. Yang dibutuhkan adalah penghormatan di hati. Agar agama leluhur tak lagi hanya dikenang sebagai fosil masa lalu, tetapi dihargai sebagai jiwa bangsa.
Harapan tetap ada, seperti tunas kecil yang tumbuh di tanah tandus. Dengan waktu, pendidikan, dan keberanian untuk melawan prasangka, diskriminasi bisa berubah menjadi harmoni sejati.