Golput juga memperkuat polarisasi. Dalam kondisi voter turnout rendah, hanya kelompok militan yang mendominasi.
Demokrasi berubah menjadi pertarungan antar kelompok kecil, bukan arena konsensus bersama. Lebih buruk lagi, rendahnya partisipasi mendorong politik elitisme. Pemimpin hanya melayani kelompok pendukung aktif mereka, sementara mayoritas yang absen semakin merasa terpinggirkan.
Namun, ancaman terbesar adalah hilangnya kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. Golput sering mencerminkan kekecewaan: korupsi, janji yang tidak ditepati, atau kandidat yang dirasa tak mewakili.
Ketika rakyat merasa suara mereka tidak berarti, apatisme tumbuh. Ini menjadi pintu masuk bagi otoritarianisme, di mana rakyat mencari solusi cepat yang sering mengorbankan kebebasan.
Demokrasi sejati membutuhkan lebih dari sekadar sistem; ia membutuhkan jiwa partisipasi rakyatnya. Ketika golput meningkat, demokrasi kehilangan cahayanya.
Dalam momen ini, kita diingatkan bahwa menjaga demokrasi bukan hanya tugas pemimpin, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh rakyat. Demokrasi tidak akan hidup tanpa kita yang percaya dan berpartisipasi di dalamnya.
Golput yang meninggi adalah bayangan dari demokrasi yang perlahan kehilangan denyut nadinya; hanya dengan keyakinan dan keberanian untuk datang memilih, kita bisa menghidupkan kembali jiwanya.
Pilkada perlu kembali digairahkan agar rakyat percaya bahwa pilkada itu adalah pintu yang dapat membuat hidupnya lebih maju.
Kampanye edukasi politik harus dilakukan secara berkesinambungan, menggunakan pendekatan kreatif seperti media sosial, drama, atau influencer. Pesan utamanya adalah: setiap suara adalah investasi untuk masa depan.
Ketika kita memilih dalam pemilu, kita sesungguhnya ikut menulis satu paragraf dalam buku masa depan. ***
Jakarta, 4 Desember 2024