Mohon tunggu...
Denny Eko Wibowo
Denny Eko Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Long Life Learner - Enthusiast in Research of Performing Arts and Culture

D3 Bahasa Jepang Univ.Diponegoro - S1 Seni Tari ISI Yogyakarta - S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM - Dosen Tari Universitas Universal Batam

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Jejak Kumandang Sastra dan Alih Wahana Kata-kata

10 Oktober 2022   21:50 Diperbarui: 10 Oktober 2022   23:55 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama adalah melihat pertunjukan pembacaan puisinya sebagai media, pertunjukan para penyair di atas pentas dengan materi berupa kata-kata yang diucapkan, dan yang kedua ialah puisi-puisi yang dibukukan.

Sudah sejak lama manusia mengenal tradisi lisan sebagai bentuk ungkap yang lugas dan langsung (sinkronus), sehingga tidak tertinggal residu dari materi lisan yang telah diutarakan. 

Jika kita cermati bahwa sebuah penampilan dari penyair dengan puisi-puisi yang dibacakannya, seketika kata-kata yang diucapkan secara susul menyusul tersebut menjadi hilang dan tak bisa didengarkan ulang dalam dimensi ruang-waktu yang sama. Sebaliknya, berbeda dengan tulisan atau gambar yang bisa diulang melalui sebuah pembacaan atasnya. 

Media pertunjukan dari sebuah pembacaan puisi yang diiringi dengan backsound, permainan alat musik atau gesture dan ekspresi raut wajah pun seringkali berkesan dan tentu hilang mendalami kembali makna kata-katanya sesaat setelah pertunjukannya usai. 

Maka dalam bidang sastra, tulisan dikenal mampu memberi kesempatan kembali untuk menyelami setiap makna yang telah diucapkan; yang telah dideklamasikan.

Tulisan pada konteks ini telah menjadi semacam residu dari kata-kata yang telah dilisankan, dan karya sastra menyimpan tumpukan residu dari rangkaian kata yang telah dituturkan. 

Upaya menuturkan dan kemudian menyimpannya dalam bentuk tulis merupakan wujud sastra itu sendiri. Rasa yang teralami, ingatan, dan sejumlah pengalaman diri menjadi kata-kata yang mungkin bisa dituturkan secara langsung. Namun wujud kelisanan primer semacam ini jarang dilakukan lagi sebagai kebiasaan manusia saat telah mengenal aksara. Ong mengkategorikan dua bentuk kelisanan tersebut yaitu kelisanan primer dan kelisanan sekunder. 

Kelisanan primer banyak dilakukan oleh masyarakat yang belum mengenal tradisi tulis/ aksara, sedangkan kelisanan sekunder merupakan produksi tradisi tulis/ aksara baik secara langsung atau tak langsung (Damono, 2018). 

Maka, berangkat dari pemahaman ini, tradisi kelisanan sekunder berwujud pada tuturan kata yang tercatat namun saling-silang-bertaut seperti hubungan antara lisan-tulisan atau ujaran-aksara. Keduanya saling berkelindan dan menguatkan satu sama lain.

Upaya menuliskan semua karya puisi dalam buku-buku bertajuk 'Jazirah' dalam Festival Sastra Internasional Gunung Bintan tahun 2022 ini menjadi salah satu bentuk pemeliharaan sastra yang optimal dan niscaya kian meningkat di kemudian hari. 

Setidaknya, wahana kata-kata yang sebermula bunyi berangsur mewujud menjadi wahana tulisan yang semuanya aksara. Ada upaya menyampaikan sesuatu dari rasa, yang tak akan hilang kembali setelah kata-kata dalam puisi diucapkan. Telusur makna dari kata-kata yang dapat kembali dibaca berulang-ulang, diresapi dan dimaknai secara indvidu dalam interpretasinya yang beragam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun