Mohon tunggu...
Dennis Baktian Lahagu
Dennis Baktian Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Penghuni Bumi ber-KTP

Generasi X, penikmat syair-syair Khairil Anwar, fans dari AC Milan, penyuka permainan basketball.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tipologi Pemilih dalam Pemilihan Umum 2024

11 Februari 2024   18:43 Diperbarui: 12 Februari 2024   10:19 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melipat surat suara merupakan salah satu kegiatan dalam menghadapi Pemilu | cnbcindonesia.com

Tanggal 14 Februari 2024 telah ditetapkan Pemerintah sebagai hari pemungutan suara, hari pelaksanaan pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia, sebuah perhelatan agenda politik lima tahunan yang memberikan ruang kepada rakyat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mempergunakan hak pilihnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur.

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan Pemilu 2024 serta untuk meminimalisir persentase warga Negara yang tidak menggunakan hak pilihnya, Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2024 tentang Hari Pemungutan Suara Pemilihan Umum Tahun 2024 sebagai Hari Libur Nasional.

Warga Negara pemilik hak suara atau voters diberi kesempatan untuk mempergunakan hak pilihnya dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat sebagaimana diatur oleh Pasal 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Dalam Pemilihan Umum. Selama berada di TPS, pemilih akan dilayani oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Jika mengacu pada aturan mainnya, KPPS akan melayani maksimal 300 orang pemilih per TPS selama 6 jam rentang waktu pemungutan suara. Setelah itu KPPS akan melakukan perhitungan surat suara. 

Voters dalam Pemilihan Umum di Negara Indonesia merupakan warga Negara yang telah berusia minimal 17 tahun, telah atau pernah menikah, memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) atau Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang ditetapkan oleh KPU.

Masa kampanye dari tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 diharapkan dapat memberikan wawasan bagi voters dan semakin mengentalkan pertimbangan dalam menentukan pilihannya, kepada siapa vote itu diberikan.

Walaupun demikian, kampanye selama 75 hari tersebut sebenarnya hanyalah salah satu metode untuk mempengaruhi pemilih. Apabila ditelisik lebih jauh dan mengamati fenomena yang terjadi di masyarakat, pemilih pada Pemilu 2024 dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berdasarkan pertimbangannya dalam menentukan pilihan.

1. Voters memilih berdasarkan Ideologi Partai Politik

Partai politik dan Ideologi merupakan dua hal yang berbeda namun memiliki keterkaitan erat. Teorinya, ideologi menjadi roh bagi sebuah partai politik dalam merumuskan visi, misi dan kebijakan ketika partai politik memenangkan Pemilu, memimpin masyarakat serta menjalankan pemerintahan. Idealnya, ideologi menghadirkan daya pikat bagi partai politik. Sejatinya, pemilih harus menjadikan ideologi partai politik sebagai parameter menggunakan hak pilihnya.

Dalam dunia politik modern, masyarakat dituntut memiliki pemahaman yang baik terkait ideologi partai politik. Namun ditengah menguatnya pragmatisme politik, semakin jarang kita melihat pada prakteknya seorang pemilih menjadikan ideologi partai politik sebagai alasannya untuk menjatuhkan pilihan.

Walaupun demikian, kita masih mengenal Jawa Tengah sebagai basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Juga daerah selatan Jawa Timur sebagai wilayah pendukung fanatik Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta juga dikenal sebagai daerahnya Partai Keadilan Sejahtera.

2. Memilih berdasarkan kekerabatan keluarga

Tidak bisa dipungkiri bahwa kekerabatan keluarga menjadi argumentasi tersendiri bagi sebagian besar pemilih di Indonesia dalam menentukan pilihannya. Para calon anggota DPR, DPD, DPRD, pengurus partai politik bahkan tim pemenangan pasangan calon pun menyadari bahwa hubungan kekerabatan menjadi potensi yang wajib dirawat dan dikelola sebagai modal awal dalam mengarungi tahapan Pemilu. Tidak jarang pula kekerabatan keluarga dijadikan parameter dalam merekrut personil tim pemenangan.

Hanya saja, kekerabatan keluarga dapat berubah arah menjadi pemicu perselisihan dalam keluarga apabila ada anggota keluarga yang tidak memilih saudara atau kerabatnya.

3. Voters memilih berdasarkan ketokohan dan popularitas

Ada voters yang mengabaikan kelemahan calon tertentu secara politik hanya karena memiliki daya tarik ketokohan serta popularitas. Selain itu, citra yang bersifat family man menjadi alasan lainnya. Dalam kontek ini, voters terkesan menutup mata terhadap indikator politik dalam mempertimbangkan pilihannya.

Tidak saja ketokohan calon tetapi ketokohan dari tim pemenangan serta pengurus partai politik yang mungkin tidak mencalonkan sangat berpengaruh bagi seseorang dalam memilih. Ada juga pemilih terpengaruh untuk memilih karena idolanya menjadi pendukung si calon atau sang idola, misalnya seorang sosialita tetiba menjadi caleg, tanpa ada argumentasi logis yang dapat diperdebatkan. Itulah realitasnya.

Alangkah berkualitasnya apabila pemilih tidak saja mempertimbangkan factor pengaruh, popularitas dan ketokohan seseorang tetapi juga mampu melihat track record  serta prestasi yang bersangkutan selama ini.

4. Pemilih yang mengedepankan faktor balas jasa

Hidup harus saling bergandengan tangan. Tiada satupun manusia yang dapat hidup sendiri. Pasti membutuhkan bantuan dan dukungan dari sesama. Seorang teman atau seseorang lainnya yang pernah berbuat baik kepada kita, membantu kita, membantu keluarga atau sanak family kita saat dibutuhkan, maka dapat dipastikan ketika orang tersebut 'nyaleg', tingkat keterpilihannya di keluarga besar kita akan tinggi.

Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila ada individu atau organisasi yang berkontribusi pada kemajuan suatu komunitas masyarakat, kemungkinan keterpilihannya dalam masyarakat tersebut tinggi. Misalnya dalam periode sebelumnya, banyak aspirasi dari sebuah desa atau kecamatan yang berhasil diwujudkan karena kemampuan legislasi kebijakan seorang anggota DPR. Sehingga kemungkinan besar pada periode Pemilu berikutnya anggota DPR tersebut telah memiliki basis massa di wilayah tersebut.

Untuk memajukan kehidupannya, komunitas masyarakat harus mampu menpoisikan diri dan menawarkan bargaining politik untuk mendapat perhatian dari para stakeholder. Upaya yang lazim dilakukan salah satunya dengan mengarahkan dukungan politik kepada caleg yang memiliki komitmen pada komunitas masyarakat tersebut.

5. Voters yang sudah punya pilihan tetapi masih ragu  

Pemilih rasional yang sampai dengan berakhirnya hari kampanye masih belum memantapkan pilihannya. Kategori pemilih yang dikenal dengan sebutan swing voters, cenderung familiar dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun tidak tertutup kemungkinan keberadaan mereka akan memberikan dampak juga pada Pemilu Legislatif.

Swing voters merupakan pemilih yang sudah punya pilihan, namun masih belum menentukan apakah mereka akan tetap melanjutkan dukungan terhadap pilihannya, atau tidak. Ada kemungkinan tetap atapun berpindah pilihan. Bisa dikatakan sebagai pemilih yang tak loyal. Pemilih kategori ini akan terus memantau dan mencermati perkembangan terkini dari para kontestan Pemilu.

Data yang dirilis cnnindonesia.com, swing voters cenderung menaik dari setiap Pemilu. Pada Pemilu 1999, terdapat 7,3 persen dari jumlah total pemilih nasional. Kemudian naik menjadi 15,9 persen pada Pemilu 2004, 28,3 persen pada Pemilu 2009 dan 29,1 pada Pemilu 2014. Jumlahnya yang semakin meningkat dapat menjadikan Pemilu semakin unpredictable.

6. Pemilih yang sama sekali belum menentukan pilihan

Jika swing voters dikatakan sebagai voters yang dapat berpindah pilihan maka pemilih yang sama sekali belum menentukan pilihannya sampai menjelang detik-detik pemungutan suara atau dengan kata lain pemilih yang tidak tahu harus memilih apa dan siapa, disebut undecided voters.

Membaca survei Litbang Kompas terhadap 1.364 responden pada 29 November 2023 hingga 4 Desember 2023 yang laporannya diturunkan secara berturut-turut mulai Senin (11/12/2023) hingga Rabu (13/12/2023), undecided voters pada Pemilu 2024 mencapai 24,9 persen.

Dalam kategori ini, pemilih merupakan orang-orang yang memiliki pemikiran kritis, berusia matang, memiliki pemahaman politik pemerintahan yang baik serta membangun parameter, persepsi dan argumentasi yang tinggi atas pilihannya. Memilih karena factor kekerabatan, balas jasa dan popularitas tidak ada dalam kamus kelompok undecided voters.

7. Kelompok pemilih yang apatis dan golput

Istilah Golongan Putih atau disingkat Golput mulau dikenal sejak Pemilu 1971. Saat itu sejumlah kelompok pemuda, pelajar dan mahasiswa melakukan gerakan moral memprotes pelaksanaan Pemilu pertama di awal Orde Baru. Mereka menamakan gerakan moral ini sebagai Golongan Putih karena menilai tidak adanya seorang pun tokoh dan wadah politik yang mewakili aspirasi rakyat. Gerakan moral ini lahir akibat kebijakan Pemerintah yang membatasi julah peserta Pemilu dan menyerukan agar masyarakat tidak mau memilih atau menusuk bagian putih pada surat suara yakni bagian yang tidak bergambar.

Dalam perkembangannya, istilah Golput dilekatkan pada kelompok pemilih yang tidak mempergunakan hak memilihnya dengan sengaja. Memilih untuk tidak memilih juga merupakah hak namun memilih menjadi golput merupakan pilihan yang tidak bijak mengingat satu suara dapat mempengaruhi kepemimpinan dan perjalanan pemerintahan selama lima tahun kedepan.

Alasan untuk tidak memilih beragam. Yang paling sering kita dengar adalah alasan ketidak puasan terhadap realitas politik yang dianggap tidak demokratis dan sangat kentara campur tangan penguasa.

Alasan lain yang paling unik adalah apatis, tidak peduli acuh tak acuh dan merasa masa bodoh terhadap segala yang sedang terjadi. Sikap ini barangkali sebuah bentuk kekecewaan. Bisa juga berakar dari pemahaman politik pemerintahan yang kurang sehingga minat untuk mengikuti, misalnya Pemilu, sangat rendah.

Dari beberapa kategori diatas, kita dapat bercermin di kategori manakah kita berada. Apakah pertimbangan kita untuk memilih calon sudah benar dan rasional? Ada banyak argumentasi yang dapat kita bangun menyikapi pilihan politik masing-masing pada Pemilu 2024.

Pemilu 2024 harus berakhir damai. Kita tidak ingin bangsa ini kembali terpolarisasi akibat perbedaan pilihan dan ketidakmampuan untuk menerima kekalahan. Kita tidak sedang bermain gaple atau bertanding ping pong. Pesta demokrasi akan menelurkan pemimpin-pemimpin bangsa yang terbaik. Adagium vox populi vox dei perlu kita renungkan kembali. Mari, datang ke TPS tanggal 14 Februari 2024, pergunakan hak untuk memilih dengan mencoblos surat suara sesuai pilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun