Mohon tunggu...
Dennis Baktian Lahagu
Dennis Baktian Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Penghuni Bumi ber-KTP

Generasi X, penikmat syair-syair Khairil Anwar, fans dari AC Milan, penyuka permainan basketball.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menggugah Nurani Warga Mampu yang Masih Menerima Bantuan Sosial PKH

12 Maret 2023   14:44 Diperbarui: 17 Maret 2023   19:03 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Tim Kemensos RI dan Pemkab Nias Utara saat verifikasi dan validasi data calon penerima manfaat PKH di Tugala Oyo.

Binsar mengendarai motornya perlahan memasuki sebuah gang kecil. Di depan sebuah rumah semi permanen dia berhenti. Rumah Bu Marni. Setelah memarkirkan motornya, Binsar mengetok pintu rumah sembari memberi salam. 

Namun mata Binsar teralihkan pada tulisan “Keluarga Miskin Penerima PKH” berwarna merah menghiasi dinding depan rumah di sebelahnya. Tulisan yang mulai tampak memudar namun masih bisa terbaca. Mungkin telah di pilox sekitar bertahun-tahun yang lalu.

“Eeeee…nak Binsar, mari mas, masuk. Kok nggak ngabarin kalo mau dateng….”, ujar Bu Marni terlihat datang menghampiri Binsar yang sedang berdiri didepan pintu rumah.

“Iya bu, maaf belum sempat berkabar.” Sahut Binsar menyalam Bu Marni kemudian melepas sepatunya dan masuk kedalam rumah mengikuti Bu Marni.

“Silahkan duduk nak…” Binsar segera duduk. Bu Marni berlalu ke belakang. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan secangkir teh dan dua toples emping dan meletakannya di atas meja tamu.

Binsar sudah lama mengenal keluarga Bu Marni. Suami Bu Marni, Haposan, masih kerabat dekat ayah Binsar. Pak Haposan bekerja sebagai masinis Kereta Api. Binsar sempat beberapa minggu tinggal dirumah Bu Marni karena pernah mendapat penugasan baru di kota ini sebelum akhirnya resign dan mapan dengan pekerjaannya sekarang.

Kedatangan Binsar sore itu untuk mengantarkan titipan dari ibunya untuk Bu Marni. Sebuah kotak kardus berlakban diserahkan Binsar kepada Bu Marni.

“Terimakasih ya nak…..”
“Sama-sama bu, barangnya baru sampai tadi pagi dari Tarurung. Kebetulan ada waktu, saya langsung antar kesini...”
“Iya, ibumu dah ngabarin kemarin...”
“Bu, tadi saya sempat ngeliat rumah disebelah. Kok ditulisin seperti itu sih Bu…”
“Yang ada PKH nya ya…”
Bener Bu, kalau ndak salah “Keluarga Miskin Penerima PKH” tulisannya bu. Bukannya itu rumah Pak Mansyur, pegawai honor di RSU yang anaknya ada yang perawat dan bidan kan bu…”
“Iya bener, Ibu denger kabar bahwa ternyata selama ini, Pak Mansyur tercantum dalam daftar penerima PKH. Empat tahun lalu, ada verifikasi ulang. Katanya Pak Mansyur tidak layak lagi menerima PKH karena sudah tidak memenuhi syarat. Gak tau bagaimana ceritanya, tetiba petugas dari Dinsos membuat cap tulisan tadi”
“Hmmmm….tulisan labelnya nyelekit ya bu, efeknya psikologis banget…”
Bener nak Binsar, seharusnya penerima program-program pemerintah itu ya bener-bener keluarga kurang mampu atau maaf…miskin…”

*****

Program Keluarga Harapan disingkat PKH, merupakan program Pemerintah yang dilaksanakan sejak tahun 2007 oleh Kementerian Sosial. PKH menjadi salah satu upaya Pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia yang diberikan secara bersyarat kepada penerima manfaat. World Bank menamai program ini dengan nama Conditional Cash Transfer Programs. Sebagai program bantuan sosial, PKH diharapkan mampu membuka dan mempermudah akses bagi keluarga miskin khususnya ibu hamil/nifas/menyusui dan anak dalam memanfaatkan berbagai fasilitas layanan kesehatan, dan pendidikan yang tersedia disekitar domisili.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan utama hadirnya Program Keluarga Harapan adalah mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dari sektor pendidikan dan kesehatan pada kelompok keluarga miskin atau yang dinamakan Rumah Tangga Sangat Miskin/Keluarga Sangat Miskin.

Kebijakan bantuan sosial tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan sebagai penyempurnaan dari regulasi yang berlaku sebelumnya.

Kehadiran PKH sebagai salah satu program andalan Pemerintah dinilai memberi dampak positif dalam menurunkan kemiskinan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah telah menetapkan target tingkat kemiskinan menurun 6,5 persen pada akhir 2024. Tentu angka ini harus dicapai.

Optimisme penurunan angka terlihat pada Maret 2018, dimana untuk pertama kalinya angka kemiskinan turun menginjak 1 digit, yaitu 9,82%. Sedangkan per September 2022, angka kemiskinan berada pada angka 9,57% berdasarkan rilis data BPS. 

Trend yang menurun walau tidak signifikan karena angka kemiskinan Indonesia pada rentang 2019 – 2022 sedikit banyak dipengaruhi oleh dinamika pandemi covid 19 yang sekarang menuju endemi.

Peran PKH seakan dipertegas melalui hasil survey Kompas pada Januari 2022 yang memberi gambaran kepuasan masyarakat atas kinerja Pemerintah di bidang kesejahteraan sosial sebesar 78,3% tidak lepas dari keberhasilan PKH dalam memberikan perlindungan sosial terhadap kurang lebih 10 juta keluarga penerima manfaat.

Pernyataan bernada testimoni juga pernah diungkapkan Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM tentang keberhasilan PKH. "Saya melihat langsung keberhasilan program PKH di lapangan, di mana penerima PKH sudah mentas dan naik kelas menjadi usaha mikro," ungkap Teten Masduki, mengutip siaran resminya, pada Selasa, 24 November 2020.

Sejumlah penelitian lainnya yang melihat PKH dari berbagai sudut pandang dan teori serta lokus penelitian yang berbeda-beda, pada umumnya menghasilkan kesimpulan bahwa Program Keluarga Harapan berkontribusi signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan di Indonesia.

Lalu siapa yang berhak menerima atau terdaftar sebagai penerima bantuan Program Keluarga Harapan tersebut? Secara umum, penerima manfaat adalah penduduk miskin yang telah memenuhi kriteria kemiskinan. Kemudian memiliki komponen PKH dalam 1 Kartu Keluarga. Komponen PKH terdiri dari komponen kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil, anak usia dini, keluarga, lansia dan penyandang disabilitas. Komponen lainnya adalah bantuan pendidikan bagi anak SD hingga SLTA.

Satu lagi syarat yang menentukan adalah terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yaitu data induk yang berisi data pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial, penerima bantuan dan pemberdayaan sosial, serta potensi dan sumber kesejahteraan sosial. DTKS dijadikan sebagai acuan dalam program penanganan Fakir Miskin dan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

Jadi, walau telah memenuhi syarat secara umum namun apabila belum terdaftar dalam DTKS maka warga negara miskin yang semiskin-miskinnya pun tidak akan menerima bantuan PKH.

DTKS inilah yang kemudian sering menimbulkan polemik yang melahirkan banyak perdebatan hingga kekisruhan. Sebagai pangkalan data tunggal rujukan Kementerian Sosial beserta jajarannya dalam menyalurkan bantuan PKH, seyogyanya pembaruan DTKS merupakan kewajiban bagi para pengelola program.

Mayoritas permasalahan yang sering mencuat dapat dikategorikan, yang pertama tercantum dalam DTKS namun tidak menerima bantuan, dan yang kedua sebaliknya, tidak tercantum dalam DTKS walau secara nyata telah memenuhi syarat sebagai penerima manfaat.

Bagi warga negara yang terdaftar dalam DTKS namun belum mendapatkan bantuan atau pernah mendapatkan bantuan namun selanjutnya tidak, kejadian lebih banyak disebabkan validitas single indentity number yang dimiliki. Nomor Induk Kependudukan atau NIK yang dimiliki tidak valid, tercatat ganda atau tercatat dengan nama berbeda. Bahkan terdapat warga yang memiliki NIK tercatat sudah meninggal dunia. Selain itu perubahan data pada dokumen kependudukan juga turut berpengaruh. Seperti data pada KK masih mencatat anak-anaknya pelajar padahal faktanya ada anak-anak yang sudah kuliah.

Validitas data kependudukan juga mempengaruhi proses pencairan bantuan melalui Bank. Perbedaan data kependudukan saat membuka bank account dapat menghambat penerima maanfaat untuk mendapat bantuan. Apalagi di masa sekarang, dunia perbankan terintegrasi langsung dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri.

Permasalahan lainnya yang sering muncul dan membuat kita geram adalah ketika melihat ada keluarga yang nyata-nyata sudah mandiri, mentas dari kemiskinan atau seharusnya tidak termasuk kategori miskin namun masih tercantum dalam DTKS dan menerima bantuan setiap periodiknya. Pada awalnya mereka miskin dan menerima PKH. Seiring waktu, keluarga-keluarga tersebut beranjak mampu tetapi tidak keluar atau dikeluarkan dari daftar penerima manfaat.

Disini perlunya pemutakhiran data sehingga keluarga yang sudah mentas dapat digantikan keluarga miskin yang memang membutuhkan. Bukankah kita perlu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Lagi-lagi peran Pemerintah Desa sangat menentukan. Mengapa? Hal ini tidak lepas dari alur pendataan dan pemutakhiran DTKS yang sumbernya diawali dari desa. Berdasarkan Permensos No 3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, pengusulan DTKS dapat dilakukan melalui RT/RW/Kepala Dusun/Lurah dan atau Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di wilayah setempat sesuai alamat KTP. Selain berperan dalam proses pengusulan, Pemerintah Desa juga memiliki kewenangan dalam proses pengusulan perubahan baik yang bersifat substansif (penghapusan, penggantian dan penambahan) maupun bersifat administratif (perbaikan data).

Barangkali saja desa dan aparat pemerintahannya sudah berupaya melakukan pemutakhiran data penerima manfaat, baik itu mengusulkan penerima baru maupun melakukan penghapusan data penerima manfaat yang sudah naik kelas. Semuanya berproses mengikuti aliran mekanisme yang telah ditetapkan. Mungkin lama dan bisa saja juga cepat. Namun tidak jarang pula kita mendengar hal-hal yang berkaitan dengan konflik kepentingan mengiringi proses pengusulan dan pemutakhiran data ditingkat desa.

Seharusnya nurani yang berbicara. Ada moralitas yang lebih dikedepankan. Ketika tahu sudah mandiri dan tidak layak lagi berada dalam deretan daftar nama penerima bantuan sosial, sebaiknya dengan kesadaran penuh dan keikhlasan yang hakiki, mengundurkan diri seraya bernazar untuk tidak menerima bantuan PKH lagi. Bukan seolah pasrah dan tebal muka dengan berbagai dalih menyalahkan sistem dan sebagainya untuk membenarkan bahwa kita tetap menjadi penerima manfaat walau fakta berbicara lain.

Contoh baik ditunjukan seorang Ketua RT di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tangah. Ketua RT tersebut memiliki rumah yang tergolong bagus dan mempunyai mobil, sempat menerima bantuan sosial Rp 600 ribu untuk dua bulan. Namun ia memilih mengundurkan diri sebagai penerima karena merasa tidak layak.
Menggugah nurani para penerima bantuan sosial yang mampu dan mandiri untuk mengundurkan diri bukanlah pekerjaan mudah. Tidak cukup himbauan atau sosialisasi tatap muka karena hal ini berkaitan erat dengan nurani, moral dan integritas yang disaat bersamaan harus bertemu dengan kondisi perekonomian yang tidak menentu yang seringkali berhasil mengalahkan nalar kemanusiaan kita.

Program labelisasi rumah dengan tulisan “Keluarga Prasejahtera (Miskin) Penerima Bantuan PKH” menjadi pilihan terakhir pengelola PKH dan bantuan sosial lainnya sembarì menunggu keajaiban terjadi. Jika melihat rumah dengan dinding bercap seperti itu, maka pertanda bahwa betapa ngeyel dan keras kepalanya si empunya rumah.

Kita tidak lagi meragukan bahwa PKH menjadi salah satu solusi jitu untuk mengentaskan kemiskinan. Program pemerintah yang bukan saja membantu pemenuhan kebutuhan dasar warga miskin namun jauh disana, kita juga diajarkan tentang sense of humanity, sociality, morality dan integrity.

Akan ada waktu dimana penerima manfaat naik kelas ke jenjang yang lebih baik. Beranjak meninggalkan kemiskinan sebagai milestone terakhir dari sebuah proses panjang kemiskinan yang berhasil mendewasakan anda.

*****

Jam di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Binsar memarkir motornya di garasi. Sesaat pintu rumah terbuka.
“Baru nyampe bang…” suara Sandra terdengar dan terlihat sudah berdiri di depan pintu yang baru saja terbuka.
“Iya, agak macet tadi.”
Binsar melepas helm dan sepatunya. Tas ranselnya segera berpindah ke tangan Sandra.
Binsar memeluk Sandra sesaat seraya mengusap pipinya. Kebiasaan mereka ketika sampai dirumah.
“Bagaimana kabar Bu Marni?” tanya Sandra berlalu ke dalam diikuti Binsar.
“Baik, kabar Bu Marni dan keluarga baik. Beliau titip salam untukmu San….”
“Makasih…”
“Kami tadi sedikit bercerita tentang PKH. Rumah disebelahnya rumah Bu Marni, kena cap dari petugas PKH..” ujar Binsar. Sambil duduk dia mencomot pisang goreng yang telah disediakan Sandra beserta segelas kopi hitam panas.

“PKH, bantuan Pemerintah untuk masyarakat tak mampu. Tapi masih ada saja orang yang merasa berhak walau tahu dan sadar dia sudah mampu dan sejahtera…” Sandra ikutan duduk di samping Binsar sembari meneruskan ceritanya tentang kisah seorang ibu yang pernah berobat di Puskesmas Moro'o tempatnya bertugas sebagai seorang dokter. Ibu itu bercerita kepada Sandra bahwa ia sangat terbantu sejak menerima PKH. Anaknya bisa bersekolah dengan baik dan apabila sakit dapat berobat dengan gratis.

Sore itu, ditemani sepiring pisang goreng ala Sandra dan segelas kopi hitam manis, mereka berdua hanyut dalam obrolan tentang Progran Keluarga Harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun