DTKS inilah yang kemudian sering menimbulkan polemik yang melahirkan banyak perdebatan hingga kekisruhan. Sebagai pangkalan data tunggal rujukan Kementerian Sosial beserta jajarannya dalam menyalurkan bantuan PKH, seyogyanya pembaruan DTKS merupakan kewajiban bagi para pengelola program.
Mayoritas permasalahan yang sering mencuat dapat dikategorikan, yang pertama tercantum dalam DTKS namun tidak menerima bantuan, dan yang kedua sebaliknya, tidak tercantum dalam DTKS walau secara nyata telah memenuhi syarat sebagai penerima manfaat.
Bagi warga negara yang terdaftar dalam DTKS namun belum mendapatkan bantuan atau pernah mendapatkan bantuan namun selanjutnya tidak, kejadian lebih banyak disebabkan validitas single indentity number yang dimiliki. Nomor Induk Kependudukan atau NIK yang dimiliki tidak valid, tercatat ganda atau tercatat dengan nama berbeda. Bahkan terdapat warga yang memiliki NIK tercatat sudah meninggal dunia. Selain itu perubahan data pada dokumen kependudukan juga turut berpengaruh. Seperti data pada KK masih mencatat anak-anaknya pelajar padahal faktanya ada anak-anak yang sudah kuliah.
Validitas data kependudukan juga mempengaruhi proses pencairan bantuan melalui Bank. Perbedaan data kependudukan saat membuka bank account dapat menghambat penerima maanfaat untuk mendapat bantuan. Apalagi di masa sekarang, dunia perbankan terintegrasi langsung dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri.
Permasalahan lainnya yang sering muncul dan membuat kita geram adalah ketika melihat ada keluarga yang nyata-nyata sudah mandiri, mentas dari kemiskinan atau seharusnya tidak termasuk kategori miskin namun masih tercantum dalam DTKS dan menerima bantuan setiap periodiknya. Pada awalnya mereka miskin dan menerima PKH. Seiring waktu, keluarga-keluarga tersebut beranjak mampu tetapi tidak keluar atau dikeluarkan dari daftar penerima manfaat.
Disini perlunya pemutakhiran data sehingga keluarga yang sudah mentas dapat digantikan keluarga miskin yang memang membutuhkan. Bukankah kita perlu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Lagi-lagi peran Pemerintah Desa sangat menentukan. Mengapa? Hal ini tidak lepas dari alur pendataan dan pemutakhiran DTKS yang sumbernya diawali dari desa. Berdasarkan Permensos No 3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, pengusulan DTKS dapat dilakukan melalui RT/RW/Kepala Dusun/Lurah dan atau Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di wilayah setempat sesuai alamat KTP. Selain berperan dalam proses pengusulan, Pemerintah Desa juga memiliki kewenangan dalam proses pengusulan perubahan baik yang bersifat substansif (penghapusan, penggantian dan penambahan) maupun bersifat administratif (perbaikan data).
Barangkali saja desa dan aparat pemerintahannya sudah berupaya melakukan pemutakhiran data penerima manfaat, baik itu mengusulkan penerima baru maupun melakukan penghapusan data penerima manfaat yang sudah naik kelas. Semuanya berproses mengikuti aliran mekanisme yang telah ditetapkan. Mungkin lama dan bisa saja juga cepat. Namun tidak jarang pula kita mendengar hal-hal yang berkaitan dengan konflik kepentingan mengiringi proses pengusulan dan pemutakhiran data ditingkat desa.
Seharusnya nurani yang berbicara. Ada moralitas yang lebih dikedepankan. Ketika tahu sudah mandiri dan tidak layak lagi berada dalam deretan daftar nama penerima bantuan sosial, sebaiknya dengan kesadaran penuh dan keikhlasan yang hakiki, mengundurkan diri seraya bernazar untuk tidak menerima bantuan PKH lagi. Bukan seolah pasrah dan tebal muka dengan berbagai dalih menyalahkan sistem dan sebagainya untuk membenarkan bahwa kita tetap menjadi penerima manfaat walau fakta berbicara lain.
Contoh baik ditunjukan seorang Ketua RT di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tangah. Ketua RT tersebut memiliki rumah yang tergolong bagus dan mempunyai mobil, sempat menerima bantuan sosial Rp 600 ribu untuk dua bulan. Namun ia memilih mengundurkan diri sebagai penerima karena merasa tidak layak.
Menggugah nurani para penerima bantuan sosial yang mampu dan mandiri untuk mengundurkan diri bukanlah pekerjaan mudah. Tidak cukup himbauan atau sosialisasi tatap muka karena hal ini berkaitan erat dengan nurani, moral dan integritas yang disaat bersamaan harus bertemu dengan kondisi perekonomian yang tidak menentu yang seringkali berhasil mengalahkan nalar kemanusiaan kita.
Program labelisasi rumah dengan tulisan “Keluarga Prasejahtera (Miskin) Penerima Bantuan PKH” menjadi pilihan terakhir pengelola PKH dan bantuan sosial lainnya sembarì menunggu keajaiban terjadi. Jika melihat rumah dengan dinding bercap seperti itu, maka pertanda bahwa betapa ngeyel dan keras kepalanya si empunya rumah.