Mohon tunggu...
Laser Narindro
Laser Narindro Mohon Tunggu... Dosen - Tidak bisa menilai diri sendiri

Hanya menuliskan apa yang ada dipikiran dan mencoba menyambungkannya dengan data dan fakta yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wajah Dunia Pendidikan Pasca Era Reformasi dan Era Dunia Industri 4.0

17 September 2019   22:51 Diperbarui: 3 Oktober 2019   16:55 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah dengar semboyan, "Ada uang, ada barang" ? Artinya kualitas produk (barang / jasa) sejajar dengan nominal rupiah yang setara dengan kualitas produk. Seperti hukum alam yang berlaku di dunia bisnis. 

Kembali ke topik, fenomena yang sering saya perhatikan adalah berjamurnya bisnis di bidang pendidikan dan kesehatan di beberapa Kota di Indonesia, menunjukan bahwa memang benar bahwa baik Pemerintah Pusat dan Daerah belum dapat menyanggupi sepenuhnya untuk menyelenggarakan sistem pendidikan untuk masyarakat dan memberikan pendanaan Pendidikan Gratis secara menyeluruh di Indonesia. 

Tidak ada yang salah memang. Akan tetapi kalau merujuk kepada Pasal 31 Undang - Undang Dasar (UUD) 1945, ayat 3 yaitu "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang." dan ayat 4, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendidikan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional", artinya disini pihak yang wajib menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional beserta anggarannya adalah Pemerintah baik tingkat Pusat, Provinsi maupun Kota / Kabupaten. 

Tapi memang kenyataannya kemampuan Pemerintah baik dari segi sarana dan prasarana, pengelelolaan SDM dan manajemen sumber pendanaan belum bisa mencukupi sepenuhnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. 

Faktualnya, setelah diskusi dengan Dinas Pendidikan Kota Semarang, dengan sampling peserta didik di Kota Semarang, perbandingan jumlah penerimaan peserta didik pada Sekokah Negeri dan Swasta di Kota Semarang saja pada jenjang Sekolah Dasar (SD) yang memasuki Sekolah Negeri berkisar +- 80 % dan +- 20 % masuk ke Sekolah Swasta, jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) +- 70 % masuk ke Sekolah Negeri sedangkan 30 % masuk ke Sekolah Swasta, untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajad, +- 50 % masuk ke Sekolah Negeri dan 50 % masuk ke Sekolah Swasta sedangkan untuk jenjang pendidikan pada Perguruan Tinggi +- 30 % masuk ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan -+ 70 % menempuh pendidikan di PTS (Perguruan Tinggi Swasta). 

Artinya, memang peran swasta dalam peran serta di dunia pendidikan memang masih diperlukan untuk saat ini akan tetapi akan timbul permasalahan baru seperti bagaimana dengan pengelolaan pembiayaannya, operasional, SDM dan lain lainnya nya ? 

Masih banyak kesenjangan sosial yang diterima anatara sekolah negeri dan swasta terkait pembiayaan pendidikan dan kualitas pendidikan yang diterima oleh peserta didik. Belum lagi program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat dan 9 tahun untuk Pemerintah Kota / Kabupaten, belum bisa dikategorikan berhasil. 

Ini dibuktikan masih terdapatnya angka putus sekolah di masing - masing Kota Kabupaten serta Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) yang belum menyampai 100 %. Ada yang tahu berapa besaran angka putus sekolah sekarang dari jenjang pendidikan SD hingga jenjang perguruan tinggi ? 

Ada yang tahu berapa besaran angka partisipatif kasar dan murni untuk Sekolah Dasar dan Menengah sekarang ? Dari jaman Orde Baru juga wacana program wajib belajar 6 tahun dan setelah era reformasi pun hanya mampu mencanangkan program wajib belajar hingga 12 tahun saja dan pendidikan gratis bagi peserta didik yang kurang mampu juga tidak ada henti hentinya di dengungkan, dari data demografi yang saya peroleh pun artinya wajar semisal mayoritas masyarakat hanya lulusan maksimal SMA atau sederajat. 

  Kalau Peserta Didik Sekolah Dasar dan Menengah Pertana dan Atas atau Kejuruan angkatan 1990 hingga awal tahun 2000an, pasti pernah mengenal Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA), dimana wali murid dari siswa yang mampu secara keuangan, dapat memberikan bantuan keuangan kepada siswa yang kurang mampu secara keuangan seperti model subsidi silang untuk pembiayaan kegiatan belajar dan mengajar. Belum lagi fenomena bahwa terdapat beberapa Sekolah yang kekurangan tenaga pengajar dan pendidik di beberapa daerah menjadi "momok" bagi para pengampu pendidikan terlebih kepada Kepala Sekolah selaku penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan di Sekolah. Fakta ini sekali lagi tidak bisa ditampik oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal ini perwakilan Pemerintah Pusat yang diwakilkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa mereka tidak mampu membiayai honor tenaga pengajar dan pendidik sesuai dengan kebutuhan tenaga pengajar dan pendidik tersebut sehingga dilimpahkan bebannya untuk honorarium tenaga pengajar dan pendidik tersebut ke Pemerintah Daerah yang berstatus Pegawai Non - ASN atau yang disebut sekarang bernama Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) sehingga sepertinya untuk jangka waktu ke depan karir untuk tenaga pengajar dan pendidik sistem "outsourcing" dimana hanya pegawai struktutral yang berhak menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedangkan untuk tenaga fungsionalnya hanya berstatus Pegawai Non-ASN karena Pemerintah Daerah tidak dapat mengangkat atau menetapkan status tenaga pengajar menjadi Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut saya, itu hanya merubah penamaan nomenclature nya saja akan tetapi esensinya dimana untuk pembiayaan tenaga pengajar dan pendidik yang berstatus Pegawai Non-ASN tetap dibebankan kepada Pemerintah Daerah. Pertanyaannya sekarang, apakah semua Pemerintah Daerah Mampu memiliki anggaran yang memadai untuk mendanai semua biaya honorarium tenaga pengajar dan pendidik ? Belum lagi masalah kesenjangan sosial untuk honorarium antar Pegawai ASN antar daerah, seperti contoh honor Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berbeda jauh dengan TKD Pegawai ASN pada lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, Tangerang, Depok dan lain lain. Hal ini menimbulkan kecemburuan hati pada bagi para tenaga pengajar dan pendidik antar daerah. Belum lagi perbedaan hak honorarium pada pegawai Non - ASN dengan pegawai ASN pun pada lingkungan sekolah dinilai terjadi kesenjangan. Sedangkan kewajiban untuk tugas mengajar peserta didik pun tidak berbeda jauh. Itupun sebabnya masih banyak "lubang" yang menganga dalam pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah dan belum berlanjut pada tahap wajib belajar hingga ke jenjang Pendidikan Tinggi sepenuhnya.

  Untuk jenjang Sekolah Dasar dan Menengah, menurut Undang - Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pembiayaan pendidikan terdiri dari 3 unsur yaitu Biaya Investasi (Lahan, sarana dan prasarana), Biaya Operasional (Gaji Tenaga Pendidikan, Listrik dan penunjang kegiatan belajar mengajar lainnya) dan Biaya Fungsional (seragam, buku, alat tulis, biaya transportasi siswa ke sekolah dan lain lain). 

pp-no-48-tahun-2008-1-5d84dfd70d8230225568a212.jpg
pp-no-48-tahun-2008-1-5d84dfd70d8230225568a212.jpg
pp-no-48-tahun-2008-2-5d84dfe20d823025b4277902.jpg
pp-no-48-tahun-2008-2-5d84dfe20d823025b4277902.jpg
pp-no-48-tahun-2008-3-5d84dff00d823025f93ade73.jpg
pp-no-48-tahun-2008-3-5d84dff00d823025f93ade73.jpg
pp-no-48-tahun-2008-4-5d84e0dc097f363a46012994.jpg
pp-no-48-tahun-2008-4-5d84e0dc097f363a46012994.jpg
pp-no-48-tahun-2008-5-5d84e0e5097f36086066dde4.jpg
pp-no-48-tahun-2008-5-5d84e0e5097f36086066dde4.jpg
Adapun sumber pendanaan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomoe 48 tahun 2008 Pasal 24 Ayat 2, sumber pendanaan pendidikan adalah Pemerintah (Pusat), Pemerintah Daerah, Masyarakat, Bantuan pihak asing tanpa ikatan (tidak ada tuntutan apapun dikemudian hari) dan sumber pendapatan lainnya yang sah. Artinya keterlibatan masyarakat melalui wali murid, perusahaan swasta dan lain lain dapat diperkenankan terlibat sebagai sumber pendanaan pendidikan untuk ke 3 unsur pembiayaan tersebut.

 Untuk khusus di jenjang Perguruan Tinggi khususnya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), masih terdapat BKT (Biaya Kuliah Tunggal) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) dimana deskripsi penjelasan UKT dan BKT, mungkin dapat dilihat pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 39 Tahun 2017 tentang UKT dan BKT pada PTN. 

permenristekdikti-no-39-tahun-2017-1-5d84e0920d82304845298942.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-1-5d84e0920d82304845298942.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-2-5d84e17c097f36495c0f95e2.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-2-5d84e17c097f36495c0f95e2.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-3-5d84e0a10d82304845298944.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-3-5d84e0a10d82304845298944.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-4-5d84e18a097f3644063bef02.jpg
permenristekdikti-no-39-tahun-2017-4-5d84e18a097f3644063bef02.jpg
Pada Permenristekdikti tersebut memang UKT dapat dibebankan kepada Mahasiswa, Orang Tua Mahasiswa dan Pihak lain yang mebiayainya sesuai yang disebutkan pada Pasal 3 Ayat 1. Lanjut pada Permenristek tersebut, PTN dapat membuat Badan Hukum yang disebut PTN-BH dan dapat menjadi subyek hukum yang otonom seperti yang disebutkan pada Pasal 1 Ayat 2. 

Artinya PTN-BH memiliki otoritas sendiri dalam pengelolaan sistem pendidikan tinggi mulai dari pembiayaan, operasional, penetapan tenaga pendidikan (Dosen dan TU) dan lain lain setelah berbadan hukum. Kelebihannya memang bahwa PTN-BH dapat mengelola pendanaan baik dana masuk maupun pengeluaran melalui berbagai sumber pendapatan yang sah. 

Dalam Permenristekdikti tersebut juga disebutkan bahwa PTN dapat menentukan besaran UKT berupa uang pangkal dan iuran lainnya kepada mahasiswa yang masuk PTN untuk jenjang Diploma dan Sarjana melalui jalur seperti Mahasiswa Asing, Mahasiswa Kelas Internasional, Mahasiswa melalui jalur Kelas Kerjasama dan Mahasiswa melalui jalur Seleksi Jalur Mandiri. 

Artinya, PTN sendiri memiliki kekuatan hukum dalam memungut biaya tersebut. Memang tidak semua Mahasiswa baru akan dikenakan UKT tersebut, akan tetapi menurut Permenristek tersebut memang pemungutan biaya gedung hanya diperbolehkan kepada Mahasiswa dari ke 4 jalur tersebut dan maksimal sebesar 30 % dari jumlah penerimaan Mahasiswa Baru. 

Artinya dengan pemberlakuan UKT tersebut pada PTN, berarti sama dengan pemberlakuan biaya pada uang gedung dan sarana prasarana pada pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 

Memang pada prinsipnya UKT tersebut merupakan biaya subsidi silang dari mahasiswa yang mampu secara keuangan tapi minim prestasi akademik dari ke 4 jalur tersebut yaitu sebesar 30 % Mahasiswa Baru sedangkan 70 % Mahasiswa baru lainnya yang menempuh dengan jalur selain itu, tidak dikenakan untuk dipungut uang pangkal dan iuran lainnya di awal penerimaan Mahasiswa Baru. Kembali lagi, isu komersialisasi dalam PTN di didengungkan. 

Apakah dengan PTN-BH dapat menjamin keberlangsungan pembiyaan dan penyelenggaraan pendidikan pada PTN ? Tantangan dari PTN-BH sekarang adalah apakah semua mahasiswa baru memiliki kapasitas keuangan yang memadai untuk membayar uang pangkal dan iuran lainnya tersebut ? Dan apakah melalui PTN-BH, sumber daya manusia (SDM) pada PTN tersebut mampu berinovasi untuk keberlanjutan pendidikan tinggi di universitas mereka ? Menarik untuk disimak hasilnya.

  Kesimpulannya adalah di satu sisi memang kemampuan keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum dapat mencakup semua pembiayaan pendidikan mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga ke jenjang Pendidikan Tinggi (Sarjana) untuk Pendidikan Gratis sepenuhnya dan untuk semua lapisan masyarakat dengan keadaan faktualnya dan dibuktikannya melalui Institusi Pendidikan Negeri juga masih dapat memungut beberapa komponen biaya dari Wali Murid (Peserta Didik) untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar mereka. Jadi kembali lagi, kemanakah arah pendidikan ke depannya ? Ingin kuantitas atau kualitas yang dituju ? Artinya jika sesuai dengan amanah Pasal 31 UUD 1945, jika memang Pemerintah benar benar serius ingin menampung semua Peserta Didik untuk menempuh wajib belajar 12 tahun, maka mudah saja caranya yaitu dengan membangun Sekolah atau Ruang Kelas Baru (RKB) untuk menampung semuanya. 

  Untuk jumlah peraturan terkait penerimaan Peserta Didik Baru seperti yang dikutp melalui halaman web kemendikbud, "Berdasarkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB, pada pasal 19 disebutkan, kuota paling sedikit 90 persen dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu dan/atau anak penyandang disabilitas pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan bukti keikutsertaan peserta didik dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.". Kita ketahui, bahwa kemampuan prestasi akademik dan non akademik peserta didik dari kalangan orang tua tidak mampu secara keuangan, cenderung kalah bersaing (tidak berlaku untuk semua warga kurang mampu) jika dibandingkan dengan dengan peserta didik dari kalangan orang tua mampu secara keuangan. Pastilah kita tahu bahwa sarana dan prasarana, makanan, sistem pendidikan dan pembiyaan pendidikan Peserta Didik yang kurang mampu tidak seperti Peserta Didik yang mampu belum lagi potensi akademis setiap Peserta Didik pun berbeda. Apakah sistem urut (ranking) nilai hasil Ujian Nasioal dinilai adil jika yang dilihat hanya dari sisi nilai saja ? Harapan saya, jikalau bisa dengan sistem urutan nilai hasil Ujian Nasional Peserta Didik yang kurang mampu hanya dikompetisikan dengan nilai Peserta Didik yang kurang mampu juga bukan digabungkan dengan mereka yang mampu sehingga perbandingan apple to apple nya jelas.

  Hal ini pun belum termasuk perumusan dalam kurikulum pendidikannya. Sebenarnya penetapan kurikulum 2013 itu sudah bagus secara konsep pendidikan akan tetapi tidak semua tenaga pengajar mampu melakukannya terutama pada saat mengisi form penilaian. Seperti contoh, untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Peserta Didik Kelas 3 SD, apakah lebih cenderung ke Character Building atau Analytic Thinking ? Menurut saya, seharusnya lebih proposional dalam penerapannya dari setiap jenjang pendidika. Belum lagi untuk kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dimana harus dimasukan kebutuhan Dunia Industri dan Usaha (DUDI) untuk pemenuhan kebutuhan keterampilan dan pengetahuan dalam DUDI, dalam materi ajarnya dan beberapa tenaga pengajarnya pun juga harus terdapat dari seorang praktisi DUDI. Sehingga korelasi antara materi ajar dan dunia kerja sesungguhnya dapat lebih relevan dengan DUDI.

Dengan kata lain, dengan terdapatnya penyelenggaraan pendidikan melalui peran pihak (Sekolah dan Perguruan Tinggi) swasta dalam mengangkat strata pendidik ke yang lebih tinggi memang masih diperlukan untuk saat ini akan tetapi dapat menimbulkan pertanyaan berupa, apakah ini masuk dalam kategori komersialisasi pendidikan atau bukan?

Apakah sebenarnya Pemerintah Pusat dan Daerah sudah mampu mengatasi problematika di Dunia Pendidikan terutama di pembiayaan pendidikan di kemudian hari ? 

Apakah peran Sekolah dan Peguruan Tinggi Swasta masih di perlukan atau tidak untuk ke depannya ? Lalu, kemanakah tujuan pendidikan kita seharusnya, apakah ingin kuantitas penerimaan mahasiswa baru agar dapat menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi atau kualitas pendidikan melalui prestasi akademik dan output lulusannya dapat memenuhi tantangan pada era Industri 4.0 dengan sumber pembiayaan yang ada pada saat ini ? 

Allahulam Bishawab, masih perlu dibuktikan kembali dibeberapa tahun ke depan. Ini merupakan tantangan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta stakeholder terkait pendidikan untuk segera menuntaskannya. Sekali lagi, tulisan ini hanya sekedar untuk sharing informasi dan pengetahuan saja, semisal ada masukan atau menambahkan dan meluruskan, monggoh dapat di diskusikan pada kolom komentar. Semoga bermanfaat. Terima kasih, Suwun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun