Untuk khusus di jenjang Perguruan Tinggi khususnya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), masih terdapat BKT (Biaya Kuliah Tunggal) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) dimana deskripsi penjelasan UKT dan BKT, mungkin dapat dilihat pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 39 Tahun 2017 tentang UKT dan BKT pada PTN.Â
Artinya PTN-BH memiliki otoritas sendiri dalam pengelolaan sistem pendidikan tinggi mulai dari pembiayaan, operasional, penetapan tenaga pendidikan (Dosen dan TU) dan lain lain setelah berbadan hukum. Kelebihannya memang bahwa PTN-BH dapat mengelola pendanaan baik dana masuk maupun pengeluaran melalui berbagai sumber pendapatan yang sah.Â
Dalam Permenristekdikti tersebut juga disebutkan bahwa PTN dapat menentukan besaran UKT berupa uang pangkal dan iuran lainnya kepada mahasiswa yang masuk PTN untuk jenjang Diploma dan Sarjana melalui jalur seperti Mahasiswa Asing, Mahasiswa Kelas Internasional, Mahasiswa melalui jalur Kelas Kerjasama dan Mahasiswa melalui jalur Seleksi Jalur Mandiri.Â
Artinya, PTN sendiri memiliki kekuatan hukum dalam memungut biaya tersebut. Memang tidak semua Mahasiswa baru akan dikenakan UKT tersebut, akan tetapi menurut Permenristek tersebut memang pemungutan biaya gedung hanya diperbolehkan kepada Mahasiswa dari ke 4 jalur tersebut dan maksimal sebesar 30 % dari jumlah penerimaan Mahasiswa Baru.Â
Artinya dengan pemberlakuan UKT tersebut pada PTN, berarti sama dengan pemberlakuan biaya pada uang gedung dan sarana prasarana pada pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS).Â
Memang pada prinsipnya UKT tersebut merupakan biaya subsidi silang dari mahasiswa yang mampu secara keuangan tapi minim prestasi akademik dari ke 4 jalur tersebut yaitu sebesar 30 % Mahasiswa Baru sedangkan 70 % Mahasiswa baru lainnya yang menempuh dengan jalur selain itu, tidak dikenakan untuk dipungut uang pangkal dan iuran lainnya di awal penerimaan Mahasiswa Baru. Kembali lagi, isu komersialisasi dalam PTN di didengungkan.Â
Apakah dengan PTN-BH dapat menjamin keberlangsungan pembiyaan dan penyelenggaraan pendidikan pada PTN ? Tantangan dari PTN-BH sekarang adalah apakah semua mahasiswa baru memiliki kapasitas keuangan yang memadai untuk membayar uang pangkal dan iuran lainnya tersebut ? Dan apakah melalui PTN-BH, sumber daya manusia (SDM) pada PTN tersebut mampu berinovasi untuk keberlanjutan pendidikan tinggi di universitas mereka ? Menarik untuk disimak hasilnya.
 Kesimpulannya adalah di satu sisi memang kemampuan keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum dapat mencakup semua pembiayaan pendidikan mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga ke jenjang Pendidikan Tinggi (Sarjana) untuk Pendidikan Gratis sepenuhnya dan untuk semua lapisan masyarakat dengan keadaan faktualnya dan dibuktikannya melalui Institusi Pendidikan Negeri juga masih dapat memungut beberapa komponen biaya dari Wali Murid (Peserta Didik) untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar mereka. Jadi kembali lagi, kemanakah arah pendidikan ke depannya ? Ingin kuantitas atau kualitas yang dituju ? Artinya jika sesuai dengan amanah Pasal 31 UUD 1945, jika memang Pemerintah benar benar serius ingin menampung semua Peserta Didik untuk menempuh wajib belajar 12 tahun, maka mudah saja caranya yaitu dengan membangun Sekolah atau Ruang Kelas Baru (RKB) untuk menampung semuanya.Â
 Untuk jumlah peraturan terkait penerimaan Peserta Didik Baru seperti yang dikutp melalui halaman web kemendikbud, "Berdasarkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB, pada pasal 19 disebutkan, kuota paling sedikit 90 persen dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu dan/atau anak penyandang disabilitas pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan bukti keikutsertaan peserta didik dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.". Kita ketahui, bahwa kemampuan prestasi akademik dan non akademik peserta didik dari kalangan orang tua tidak mampu secara keuangan, cenderung kalah bersaing (tidak berlaku untuk semua warga kurang mampu) jika dibandingkan dengan dengan peserta didik dari kalangan orang tua mampu secara keuangan. Pastilah kita tahu bahwa sarana dan prasarana, makanan, sistem pendidikan dan pembiyaan pendidikan Peserta Didik yang kurang mampu tidak seperti Peserta Didik yang mampu belum lagi potensi akademis setiap Peserta Didik pun berbeda. Apakah sistem urut (ranking) nilai hasil Ujian Nasioal dinilai adil jika yang dilihat hanya dari sisi nilai saja ? Harapan saya, jikalau bisa dengan sistem urutan nilai hasil Ujian Nasional Peserta Didik yang kurang mampu hanya dikompetisikan dengan nilai Peserta Didik yang kurang mampu juga bukan digabungkan dengan mereka yang mampu sehingga perbandingan apple to apple nya jelas.