Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sosialitas Inversi dan Masker

15 September 2020   00:45 Diperbarui: 15 September 2020   02:10 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama tidak bercerita, sampai saya pun mulai gagap jika harus menuliskan kata demi kata. Tapi, saya ingin berbagi. Saya yakin dengan menuliskannya, pengalaman saya ini mempunyai tak hilang lenyap begitu saja. 

Kisahnya saya awali dengan suatu pertemuan akademis dengan moda yang baru, zoom meeting. Terselenggaralah sebuah kuliah terbuka secara virtual. Belum jamak terjadi pertemuan seperti ini memang, tetapi yang menarik waktu itu adalah hadir dosen saya yang saya kagumi semasa kuliah dulu. Dalam kuliah itu, saya kenali satu terminologi teknis baru, Sosialitas Inversi. 

Apa itu Sosialitas Inversi? 

Gramatika Bahasa Indonesia mengenal kalimat versi dan kalimat inversi. Kalimat versi dapat kita kita pahami secara sederhana sebagai kalimat yang memiliki unsur atau pola kalimat dengan bentuk pola berurutan, yakni subyek-predikat-obyek-keterangan (S-P-O-K).

Sementara, kalimat inversi  adalah kalimat yang predikatnya mendahului subjeknya. Kalimat inversi berfungsi untuk menekankan makna dari sebuah kalimat. Contohnya, dicabutnya rumput di halaman belakang itu oleh ibu hanya dengan menggunakan tangan kosong. Menariknya, kata inversi dirangkai dengan kata sosialitas. 

Sosialitas bisa kita pahami sebagai keadaan yang memungkinkan manusia dapat berkembang satu dengan yang lainnya dalam hidup bersama.

Karena manusia adalah makhluk sosial, satu sama lain saling memberi, menerima, membangun, dan menumbuhkembangkan. Hal inilah yang dapat kita pahami sebagai tujuan dalam hidup bersama. Dalam konteks inilah, dua istilah ini menarik untuk direfleksikan. 

Manusia adalah makhuk sosial. Sifat sosial manusia timbul dari kodrat manusia. Namun, hal ini tidak sesederhana yang kita pikirkan. Banyak persoalan justru timbul karena berhubungan langsung dengan sifat sosial manusia ini

 Salah satu contoh yang bisa kita jumpai adalah tumbuhnya individualisme. Thomas Hobbes sendiri merumuskan bahwa secara kodratnya, manusia memang bersifat mekanis dan individual. Bahkan, manusia adalah serigala bagi yang lain. Maka, wajarlah jika individualisme terjadi karena manusia pada dasarnya adalah individu. Lalu bagaimana kita bisa memahami sosialitas inversi ini? Di manakah letak sosialitas yang secara khas dimiliki oleh manusia? 

Pandemi dan Sosialitas Inversi

Manusia adalah makhluk individu, pribadi. Tidak ada yang menyangkal hal itu. Tetapi, sebagai pribadi, manusia tidak hidup sendiri. Ia adalah makhluk multidimensional (monopluralis). Keberadaannya dapat dipahami dalam kebersamaan dan berhubungan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Menarik untuk dipahami, pribadi yang multidimensional ini pun berada dalam dua kutub yang secara integral membentuk manusia sebagai pribadi; spiritualitas-materialitas, interiorisasi-eksteriorisasi, transendensi-imanensi, individualitas-sosialitas. Artinya, sosialitas manusia bisa kita pahami sebagai satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Unsur ini melekat pada kodrat manusia sebagai pribadi.

Dimensi sosialitas ini tentu saja sangat luas lanskapnya. Manusia disebut pribadi secara utuh justru karena kehidupan sosialnya, hidup bersama dengan yang lain.  Dalam perspektif ini, sosialitas terarah, terbuka, dan dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, sosialitas mengarah pada kemanusiaan yang lebih luas, penuh, dan sempurna.

Sosialitas bukan lagi ciri yang ditambahkan, melainkan sudah melekat pada manusia sejak kelahirannya. Karena kita memahami bahwa manusia pada dasarnya otonom dan memiliki kebebasan, kerangka sosialitas inversi dapat dipahami sebagai imperatif moral, yaitu bebas untuk berbuat baik.  

Situasi pandemi ini membuat saya pun berpikir. Angan saya melayang pada sosok filsuf eksistensialis, Emmanuel Levinas. Levinas berpendapat bahwa hubungan antar manusia pada dasarnya berada dalam konteks situasi etis, wajah dengan wajah.

Hubungan etis ini bersifat asimetris, terarah kepada yang lain dan bukan timbal-balik. Meski orang lain tidak dapat lepas dari yang lain, Levinas menegaskan bahwa pada orang lain ini, tampaklah sesuatu yang sifatnya transendental, "Wajah yang  kita jumpai selalu mengundang kita untuk berbuat baik."

Istilah yang saya jumpai secara akademis itu saya pahami menggambarkan prinsip solidaritas. Prinsip ini menggambarkan pentingnya sikap peduli setiap pribadi untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat.

Sumbangan ini adalah salah satu wujud tanggungjawab bagi kepentingan bersama. Di dalamnya, dapat kita temui keinginan untuk berpartisipasi, menghormati, tanggungjawab, sense of belonging, dan kesediaan untuk menjaga martabat bersama sebagai masyarakat. Pendek kata, setiap pribadi bertanggungjawab bagi sesama. 

"Sudahlah, pakai saja maskermu!"

Suatu sore saya sangat antusias melihat postingan di instagram yang bercerita tentang ditemukannya obat Covid-19. Ketika kapsul itu dikeluarkan dan dibuka, isinya tak lain adalah masker. Saya berpikir iklan ini menarik. Saya pun tidak lagi akan mengulas soal ekonomi, politis, pengaruh pandemi  bagi semua lini kehidupan manusia. Tidak. Saya melihat sebuah pesan sederhana yang perlu disampaikan berulangkali, "Sudahlah, pakai saja maskermu." 

Pagi hari, ketika hari masih gelap, saya bergegas menuju tempat kerja. Tak jarang, saya beriringan dengan orang-orang yang mengendarai motor tanpa pengaman yang memadai. Masker maksud saya. Mungkin karena masih pagi, masih ingin dihirup segarnya udara pagi. Namun, siang hari pun masih saya jumpai pengalaman yang sama.

Orang lalu lalang tanpa mengenakan masker. Bahkan, beberapa kali saya jumpai razia masker dengan beberapa orang yang tampak mengenakan rompi sambil menyapu jalanan. Apalagi kalau tidak sedang menjalankan hukuman.

Pesan sederhana, "pakai maskermu" sering kali diabaikan. Kita sehat kok. Ngapain pakai masker. Bikin sumpek, ngap, susah bernapas. Lupa. Ada berbagai alasan yang bisa kita dengar kalu kita bertanya mengapa tidak mengenakan masker.

Pesan ini sederhana, tetapi nyatanya sulit untuk dilakukan. Pesan ini sangat relevan, tetapi kadang kita tutup mata dan telinga untuk terbuka. Pesan ini berguna, tetapi kadang kita abai seolah iklan itu tanpa makna. 

Saya menutup tulisan ini dengan simpulan sederhana. Saya juga tidak bermaksud menelisik tentang seluk beluk persoalan pandemi dan akibatnya bagi seluruh lini kehidupan manusia. Tidak. Saya hanya berpikir, keterlibatan, tanggungjawab, sikap hormat, dan rasa memiliki sebagai masyarakat dapat ditunjukkan dengan cara yang sangat sederhana. Pakai masker.

Setidaknya, cara sederhana ini menjadi sumbangan kita bagi kehidupan bersama. Wajahmu, selalu mengundangku  untuk berbuat baik. 

"Sudahlah, pakai saja maskermu." Kecuali memang engkau tak mengenali, siapakah dirimu. 

Salam sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun