Pandemi virus Corona Covid-19 ini sangat mempengaruhi gaya hidup kita. Kita tidak bisa kembali berjabat tangan, berkerumun, dan saling memandang senyum. Senyuman orang tercinta hanya bisa kita lihat sesipit apa matanya, sebab bibirnya tertutup oleh masker. Kita pun tak bisa duduk berdempet-dempet lagi dengan orang-orang yang kita cintai, pergi bersama, jalan bersama. Kalau pun masih bisa, tentu tak bisa seleluasa sebelum pandemi.
Kita disuruh oleh Pemerintah dan WHO untuk menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dengan urutan: Mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir supaya steril, lalu ambil masker dan pakailah masker menutupi hidung dan mulut, lalu ketika bertemu dengan sesama manusia jagalah jarakmu minimal 1 meter, sebab kita harus selalu curiga bahwa manusia itu bawa virus Corona. Kebiasaan ini harus menjadi gaya hidup manusia sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Masyarakat di dunia dan di Indonesia itu beragam. Ada yang kaya dan miskin, ada yang pintar dan bodoh, ada yang patuh dan bandel. Patuh pun ada yang karena sadar untuk keselamatan diri sendiri, ada yang patuh karena terpaksa takut ditilang polisi. Sebab menurut pakar ahli kesehatan, pandemi Corona ini tidak bisa berakhir bila perilaku masyarakat tidak kompak melakukan protokol kesehatan secara disiplin.
Kelompok masyarakat yang paling tidak patuh terhadap protokol kesehatan kebanyakan berasal dari golongan kaum menengah ke bawah. Golongan masyarakat ini kesadarannya kurang terhadap bahaya virus Corona.Â
Mereka umumnya tidak mau pakai masker, mencuci tangan, apalagi disuruh menjaga jarak. Banyak sekali reaksi yang mereka lakukan ketika disuruh untuk menerapkan protokol kesehatan.
Suatu hari masuklah seorang bapak yang berprofesi sebagai satpam komplek ke supermarket yang berada di komplek perumahan itu. Bapak itu ke situ hendak membeli baterai untuk menyalakan alat pendengaran istrinya yang tuli. Karena terburu-buru, bapak itu masuk ke supermarket itu tidak memakai masker dan tidak di cek suhu tubuh, sebab ia masuk melalui pintu keluar yang tidak dijaga satpam supermarket.
Bapak itu nyelonong masuk dan sampailah dia ke bagian elektronik yang menjual baterai. Ketika karyawan muda supermarket itu melihat bapak itu tidak memakai masker, ia berkata, "Maaf pak, bapak harus pakai masker dulu. Bapak tidak boleh ke sini kalau tidak pakai masker."Â
Bapak itu menjawab, "Mas, abdi teh keur buru-buru, istri abdi teh teu tiasa ngadenge butuh baterai keur nyalain alatna!"Â
Karyawan muda lainnya menjawab, "Maaf nggak bisa pak, bapak tetep harus pakai masker dulu." Karyawan-karyawan supermarket ini maksudnya baik, supaya mengajarkan orang lain untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan Covid-19, agar supaya melindungi karyawan dan pengunjung lain dari penularan virus Corona.
Tapi bapak yang berprofesi sebagai satpam komplek itu murka, "Dasar maneh teh Bagong (artinya: babi hutan), yang pake masker teh Bagong sia, maneh teh ... (mengucapkan kata-kata yang tidak terpuji).
 Dua karyawan muda itu dengan tabah dan ikhlas hati menerima hardikkan bapak itu. Sangat disesalkan tindakan bapak yang berprofesi satpam komplek ini yang memarahi karyawan supermarket, apalagi sampai mengata-ngatai mereka dengan kata-kata yang tidak terpuji, hanya gara-gara mereka menyuruh bapak itu pakai masker.
Ada lagi supir angkot. Kalau di jalan ada polisi, dia langsung pakai masker. Bila sudah lolos dari pemeriksaan polisi, dibuka lagi maskernya dan menyedot rokok. Dia dan kebanyakan supir angkot sudah tidak ada membatasi jumlah penumpang.Â
Penumpang berdesakkan seperti sebelum pandemi, "Tujuh lima, tujuh lima, tiasa tujuh lima." kata supir angkot salah satu rute di arah Bandung Selatan. Maksudnya bangku kiri bisa 5 orang, dan bangku kanan bisa 7 orang, ditambah kursi depan 2 orang, dan kursi dekat pintu 1 orang, belum termasuk yang nangkel (berdiri depan pintu angkot). Kalau Anda pengguna angkot di Bandung Selatan, pasti tahu angkot rute apa yang seperti ini. Karena angkot di Bandung umumnya sepi penumpang, kecuali angkot yang satu ini.
Supir-supir angkot tersebut nasibnya lebih beruntung dari angkot-angkot lain di Kota Bandung, apalagi yang ke arah utara. Karena tidak ada kegiatan perkuliahan, wisata, dan banyak diberlakukannya penutupan jalan, mengakibatkan angkot ke arah utara Bandung sepi sekali penumpang. Tetapi supir-supir angkot yang 'beruntung' ini tidak menerapkan protokol kesehatan.Â
Mereka mendesak penumpang sampai sepol-pol-nya, sama seperti sebelum pandemi. Penumpang yang tentu saling berhimpitan itu ada yang pakai masker, ada yang tidak. Udara pengap pun sangat terasa, belum kalau bawa bebeunyit (anak-anak) yang umbelan. Supirnya pun merokok dengan ngebul, sehingga hawa Corona semakin terasa di dalam angkot itu. Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang glebak karena Corona.
Dua kisah tadi hanyalah contoh kecil bahwa betapa susahnya menerapkan protokol kesehatan pada kaum menengah ke bawah. Ketika kini harga masker bedah hanya Rp. 400,- masker KN95 hanya Rp. 1000,- masker kain Rp. 3000 yang bisa dicuci ulang, disaat orang-orang menengah sedia masker 1 dus di rumahnya/mobilnya, kaum menengah ke bawah sangat sulit disuruh pakai masker, mencuci tangan pakai sabun/handsanitizer, dan menjaga jarak.Â
Padahal mereka itu sekalipun disebut 'kaum menengah ke bawah', mereka itu punya motor bagus, ibu-ibunya hobi mengumpulkan perhiasan emas berpuluh-puluh gram bahkan ons, perilakunya lebih konsumtif. Pendapatannya ini juga diperoleh dari bantuan uang yang diberikan Pemerintah. Masakan beli masker Rp. 400 tak bisa? Mereka bukan tak bisa, tapi malas menggunakan masker.Â
Tetapi herannya, golongan inilah yang paling percaya diri disuruh test-test Corona. Terlihat ketika ada test Corona gratis atau yang di stasiun kereta api, mereka berani di rapid test, swab antigen, atau swab PCR, asal tarifnya murah atau gratis.
Selain alasan pengap, ada lagi alasan yang sering dilontarkan oleh mereka yang menurut saya membingungkan, "Urang mah percaya ka Gusti Allah wae. Nanaonan protokol-protokol.Â
Urang teh dibere Allah udara segar, buat dihirup. Kan urang teh ngahirup oksigen, trus ngaluarkeun karbon dioksida. Kalo mulut jeung hidung dibeukem nganggo masker mah, urang ngirup karbon dioksida deui, enggap atuh. Pokokna mah, rejeki, jodoh, gering, paeh teh tos Gusti Allah nu ngatur. Keur naon sieun paeh, kan upami paeh masuk surga."
Landasan keimanan inilah yang membuat banyak terjadi di Indonesia perebutan jenazah positif Covid oleh pihak keluarga dan pendukungnya. Mereka merebut jenazah itu tanpa pakai masker atau baju hazmat sesuai protokol. Secara berbondong-bondong mereka membawa jenazah itu bahkan membuang peti matinya.Â
Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang glebak, tersengal-sengal bagai ikan terdampar di darat, lalu mati seketika. Andaikata bila saat mereka menyentuh jenazah positif Corona, lalu ada 20 orang saja yang mendadak sesak nafas bagai orang sakit ayan, lalu mengap-mengap, lalu meregang nyawa, mereka baru percaya bahwa virus Corona itu ada, seperti yang terjadi di Wuhan.
Kaum menengah ke bawah yang umumnya tidak berpendidikan, tidak bisa menerima penjelasan dari kaum berpendidikan yang menggunakan teori ilmiah. Untuk menyadarkan bahaya virus Corona, kaum menengah ke bawah butuh bukti nyata yang bisa dilihat dengan mata mereka. Seperti waktu ketika mereka melihat apa yang terjadi di Wuhan, ketika virusnya sudah tiba di Indonesia mereka semua ikut ketakutan. Tapi karena ketakutan yang mereka kuatirkan itu tidak terjadi di Indonesia, sehingga mereka tidak percaya akan bahaya virus Corona, toh mereka semua masih hidup semua sampai sekarang dan sehat wa'alfiat.
Maka itu, Pemerintah dan para ahli kesehatan perlu membuktikan secara nyata akan bahaya virus Corona ini, bukan dengan angka-angka atau data-data saja, tapi dengan 'adegan nyata' yang bisa dilihat oleh mereka dan tidak bisa dibantah oleh semua orang. Tentu 'adegan nyata' yang dimaksud haruslah sungguhan dan bukan settingan, sebab rakyat sekarang sudah cerdas.
Mereka malah ada yang mengharapkan baru percaya adanya Corona kalau di Indonesia terjadi kematian massal secara mendadak, banyak orang tersengal-sengal, glebak, lalu mati, jenazahnya berserakkan di jalan-jalan atau lorong-lorong rumah sakit, seperti yang terjadi di Wuhan dan berbagai wilayah di Eropa. Bagi mereka, bila Pemerintah atau media hanya menyajikan setiap hari berupa data angka-angka saja, mereka tidak akan percaya adanya virus Corona dan bahayanya, sehingga semakin susah untuk menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. "Sakit flu aja ada gejalanya, batuk ngoklok dan ingusan nyingsring-nyingsring, masa ada penyakit tidak bergejala." kata mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H