Ada lagi supir angkot. Kalau di jalan ada polisi, dia langsung pakai masker. Bila sudah lolos dari pemeriksaan polisi, dibuka lagi maskernya dan menyedot rokok. Dia dan kebanyakan supir angkot sudah tidak ada membatasi jumlah penumpang.Â
Penumpang berdesakkan seperti sebelum pandemi, "Tujuh lima, tujuh lima, tiasa tujuh lima." kata supir angkot salah satu rute di arah Bandung Selatan. Maksudnya bangku kiri bisa 5 orang, dan bangku kanan bisa 7 orang, ditambah kursi depan 2 orang, dan kursi dekat pintu 1 orang, belum termasuk yang nangkel (berdiri depan pintu angkot). Kalau Anda pengguna angkot di Bandung Selatan, pasti tahu angkot rute apa yang seperti ini. Karena angkot di Bandung umumnya sepi penumpang, kecuali angkot yang satu ini.
Supir-supir angkot tersebut nasibnya lebih beruntung dari angkot-angkot lain di Kota Bandung, apalagi yang ke arah utara. Karena tidak ada kegiatan perkuliahan, wisata, dan banyak diberlakukannya penutupan jalan, mengakibatkan angkot ke arah utara Bandung sepi sekali penumpang. Tetapi supir-supir angkot yang 'beruntung' ini tidak menerapkan protokol kesehatan.Â
Mereka mendesak penumpang sampai sepol-pol-nya, sama seperti sebelum pandemi. Penumpang yang tentu saling berhimpitan itu ada yang pakai masker, ada yang tidak. Udara pengap pun sangat terasa, belum kalau bawa bebeunyit (anak-anak) yang umbelan. Supirnya pun merokok dengan ngebul, sehingga hawa Corona semakin terasa di dalam angkot itu. Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang glebak karena Corona.
Dua kisah tadi hanyalah contoh kecil bahwa betapa susahnya menerapkan protokol kesehatan pada kaum menengah ke bawah. Ketika kini harga masker bedah hanya Rp. 400,- masker KN95 hanya Rp. 1000,- masker kain Rp. 3000 yang bisa dicuci ulang, disaat orang-orang menengah sedia masker 1 dus di rumahnya/mobilnya, kaum menengah ke bawah sangat sulit disuruh pakai masker, mencuci tangan pakai sabun/handsanitizer, dan menjaga jarak.Â
Padahal mereka itu sekalipun disebut 'kaum menengah ke bawah', mereka itu punya motor bagus, ibu-ibunya hobi mengumpulkan perhiasan emas berpuluh-puluh gram bahkan ons, perilakunya lebih konsumtif. Pendapatannya ini juga diperoleh dari bantuan uang yang diberikan Pemerintah. Masakan beli masker Rp. 400 tak bisa? Mereka bukan tak bisa, tapi malas menggunakan masker.Â
Tetapi herannya, golongan inilah yang paling percaya diri disuruh test-test Corona. Terlihat ketika ada test Corona gratis atau yang di stasiun kereta api, mereka berani di rapid test, swab antigen, atau swab PCR, asal tarifnya murah atau gratis.
Selain alasan pengap, ada lagi alasan yang sering dilontarkan oleh mereka yang menurut saya membingungkan, "Urang mah percaya ka Gusti Allah wae. Nanaonan protokol-protokol.Â
Urang teh dibere Allah udara segar, buat dihirup. Kan urang teh ngahirup oksigen, trus ngaluarkeun karbon dioksida. Kalo mulut jeung hidung dibeukem nganggo masker mah, urang ngirup karbon dioksida deui, enggap atuh. Pokokna mah, rejeki, jodoh, gering, paeh teh tos Gusti Allah nu ngatur. Keur naon sieun paeh, kan upami paeh masuk surga."
Landasan keimanan inilah yang membuat banyak terjadi di Indonesia perebutan jenazah positif Covid oleh pihak keluarga dan pendukungnya. Mereka merebut jenazah itu tanpa pakai masker atau baju hazmat sesuai protokol. Secara berbondong-bondong mereka membawa jenazah itu bahkan membuang peti matinya.Â
Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang glebak, tersengal-sengal bagai ikan terdampar di darat, lalu mati seketika. Andaikata bila saat mereka menyentuh jenazah positif Corona, lalu ada 20 orang saja yang mendadak sesak nafas bagai orang sakit ayan, lalu mengap-mengap, lalu meregang nyawa, mereka baru percaya bahwa virus Corona itu ada, seperti yang terjadi di Wuhan.