Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist, Dosen

Geologist, Dosen | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Paradoks Pilihan, Lebih Banyak Tidak Selalu Lebih Baik

18 Agustus 2024   20:49 Diperbarui: 19 Agustus 2024   12:25 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Foto oleh Victoriano Izquierdo / Unsplash   

Saat membaca kembali The Art of Thinking Clearly karya Rolf Dobelli, ada salah satu bab menarik perhatian saya. Pembahasan singkat soal paradoks pilihan rasanya relevan dengan kondisi kita saat ini.

Apakah kita pernah merasa bingung dan kerepotan dengan tersedianya berbagai pilihan dalam kehidupan kita sehari-hari? Tentunya pernah.

Tapi apakah belakangan ini kita rasanya semakin dibuat bingung karena pilihan makin beragam.

Waktu kecil dulu, saat daerah asal saya belum seramai sekarang, jika ingin membeli makan malam di luar, hanya ada beberapa pilihan.

Mudah sekali menentukan makanan apa yang hendak dibeli. Kalau tidak soto, ayam goreng, ya sate. Jika ingin yang selain lauk, ada roti bakar yang penjualnya nongkrong hampir setiap hari di dekat alun-alun kota.

Sekarang, banyak sekali pilihan makanan di sekitar sana. Mulai dari martabak, nasi goreng, nasi kuning, seblak, dan lain sebagainya. Saya seringkali dibuat bingung mau memilih yang mana. Tidak jarang akhirnya malah mengurungkan niat untuk membeli karena bingung. Terlalu banyak pilihan yang tersedia.

Kira-kira itulah ilustrasi singkat paradoks pilihan.

Paradoks pilihan pertama kali dipopulerkan oleh Barry Schwartz dalam bukunya yang berjudul The Paradox of Choice -- Why More is Less. Dalam buku tersebut Schwartz mengulas banyaknya pilihan rupanya malah memberikan kerugian psikologis bagi kita.

Schwartz mengutip sebuah penelitian di sebuah supermarket yang mendirikan bilik tempat pelanggan dapat mencicipi selai.  Disediakan 24 jeni selai yang dapat dicoba dengan gratis, dan jika pelanggan suka mereka dapat membelinya dengan potongan harga. Sebagai perbandingan, pada hari kedua disediakan 6 jenis pilihan selai saja.

Hasilnya? Ternyata penjualan di hari kedua mencapai 10 kali lebih banyak dari hari pertama. Percobaan ini diulang kembali dengan menawarkan produk yang berbeda. Hasilnya selalu sama.

Bagaimana paradoks ini terjadi?

Banyaknya pilihan memang bukan sesuatu yang buruk. Dalam beberapa hal, variasi yang melimpah merupakan sebuah kemajuan, misalnya beragam merek dan model ponsel yang biasa kita jumpai di pusat-pusat penjualan alat elektronik.

Akan tetapi dengan banyaknya pilihan merek dan model ponsel, kita malah menjadi lelah dengan pikiran kita sendiri. Jika pilih merek A dengan model M, maka tidak akan mendapatkan pengalaman yang sama jika memilih  merek B dengan model N, misalnya. Pasti di antara Kompasianer sekalian ada yang pernah mengalami hal serupa. Ini belum termasuk pilihan-pilihan lain yang menawarkan bonus dan potongan harga.

Saat jumlah pilihan meningkat, semakin sulit menentukan mana pilihan terbaik. Alih-alih kita punya lebih banyak kebebasan dalam memilih, pilihan yang melimpah itu justru malah membatasi kebebasan kita. Oleh sebab itu fenomena ini disebut paradoks.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan paradoks pilihan ini adalah rasa khawatir kehilangan kesempatan tertentu jika memilih hal yang salah, seperti halnya kasus pemilihan ponsel tadi.

Kita takut jika kita memilih pilihan tertentu, kita malah akan melewatkan sesuatu yang lebih baik.

Semua merek ponsel pasti akan memberikan informasi-informasi seputar keunggulan mereka masing-masing. Ada yang punya daya tahan baterai luar biasa, ada yang spesifikasinya tinggi bahkan masih bisa bertahan hingga 5 tahun kedepan, ada pula ponsel dengan resolusi kamera hingga lebih dari 50 megapiksel.

Semua informasi tersebut membuat kita semakin intens menimbang pilihan. Kadang jika kita mudah terombang-ambing, pikiran kita akan melayang jauh ke hal-hal yang sebenarnya kurang relevan.

Kekhawatiran terhadap kemungkinan pilihan yang salah juga dapat mempengaruhi kepuasan kita setelahnya.

Selain itu, banyaknya paradoks pilihan ini juga berpotensi mengarahkan kita pada keputusan yang buruk.

Beberapa teman saya pernah bercerita, setelah pulang dari pusat alat elektronik, ada sedikit penyesalan terhadap pilihan ponsel mereka. Rasanya kurang sreg, atau performanya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Mereka telah membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka yang sebenarnya.

Rasa khawatir dan perasaan telah mengambil keputusan yang buruk bisa berakibat pada berkurangnya kepuasan kita terhadap hal-hal yang kita miliki.

Dan yang perlu diingat, paradoks pilihan ini tidak hanya berlaku untuk pilihan produk. Ini bisa juga terjadi dalam aspek kehidupan lain, misalnya memilih pasangan hidup ataupun karir.

Bagaimana cara mengatasinya?

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi paradoks pilihan yang kita alami.

1. Berpikir dengan teliti

Sebelum memilih satu di antara banyak pilihan yang berpotensi mengacaukan pikiran kita, ada baiknya kita berpikir dengan teliti untuk menimbang mana yang terbaik. Tidak perlu terburu-buru dalam memutuskan. Pastikan pilihan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai.

2. Buat kriteria tertentu

Kitalah yang pada akhirnya menentukan mana pilihan yang terbaik. Untuk meminimalisir keputusan buruk, sebaiknya kita tentukan kriteria-kriteria tertentu untuk menyeleksi beberapa kandidat pilihan terbaik.

Dengan pilihan yang lebih sedikit, lebih mudah bagi kita menentukan mana "juara"-nya tanpa perlu terdistraksi pilihan-pilihan lain yang sebenarnya kurang penting untuk dipikirkan.

3. Yakinlah tidak ada pilihan yang sempurna

Sebagai makhluk yang punya keterbatasan, tentunya hampir mustahil kita bisa mendapatkan sesuatu yang sempurna dan ideal.

Oleh sebab itu, kita perlu menerima keadaan kita dan merasa cukup dengan pilihan yang kita buat. Paling tidak sudah sesuai dengan kriteria standar yang kita tetapkan.

Kita perlu bersyukur dengan "pilihan yang baik" dan bukan mengharapkan "pilihan yang sempurna". Menjadi terlalu perfeksionis malah akan menjadi bumerang. Bukannya puas, malah timbul sesal di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun