Banyaknya pilihan memang bukan sesuatu yang buruk. Dalam beberapa hal, variasi yang melimpah merupakan sebuah kemajuan, misalnya beragam merek dan model ponsel yang biasa kita jumpai di pusat-pusat penjualan alat elektronik.
Akan tetapi dengan banyaknya pilihan merek dan model ponsel, kita malah menjadi lelah dengan pikiran kita sendiri. Jika pilih merek A dengan model M, maka tidak akan mendapatkan pengalaman yang sama jika memilih  merek B dengan model N, misalnya. Pasti di antara Kompasianer sekalian ada yang pernah mengalami hal serupa. Ini belum termasuk pilihan-pilihan lain yang menawarkan bonus dan potongan harga.
Saat jumlah pilihan meningkat, semakin sulit menentukan mana pilihan terbaik. Alih-alih kita punya lebih banyak kebebasan dalam memilih, pilihan yang melimpah itu justru malah membatasi kebebasan kita. Oleh sebab itu fenomena ini disebut paradoks.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan paradoks pilihan ini adalah rasa khawatir kehilangan kesempatan tertentu jika memilih hal yang salah, seperti halnya kasus pemilihan ponsel tadi.
Kita takut jika kita memilih pilihan tertentu, kita malah akan melewatkan sesuatu yang lebih baik.
Semua merek ponsel pasti akan memberikan informasi-informasi seputar keunggulan mereka masing-masing. Ada yang punya daya tahan baterai luar biasa, ada yang spesifikasinya tinggi bahkan masih bisa bertahan hingga 5 tahun kedepan, ada pula ponsel dengan resolusi kamera hingga lebih dari 50 megapiksel.
Semua informasi tersebut membuat kita semakin intens menimbang pilihan. Kadang jika kita mudah terombang-ambing, pikiran kita akan melayang jauh ke hal-hal yang sebenarnya kurang relevan.
Kekhawatiran terhadap kemungkinan pilihan yang salah juga dapat mempengaruhi kepuasan kita setelahnya.
Selain itu, banyaknya paradoks pilihan ini juga berpotensi mengarahkan kita pada keputusan yang buruk.
Beberapa teman saya pernah bercerita, setelah pulang dari pusat alat elektronik, ada sedikit penyesalan terhadap pilihan ponsel mereka. Rasanya kurang sreg, atau performanya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Mereka telah membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka yang sebenarnya.
Rasa khawatir dan perasaan telah mengambil keputusan yang buruk bisa berakibat pada berkurangnya kepuasan kita terhadap hal-hal yang kita miliki.