Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist, Dosen

Geologist, Dosen | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Paradoks Pilihan, Lebih Banyak Tidak Selalu Lebih Baik

18 Agustus 2024   20:49 Diperbarui: 19 Agustus 2024   12:25 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Foto oleh Victoriano Izquierdo / Unsplash   

Dan yang perlu diingat, paradoks pilihan ini tidak hanya berlaku untuk pilihan produk. Ini bisa juga terjadi dalam aspek kehidupan lain, misalnya memilih pasangan hidup ataupun karir.

Bagaimana cara mengatasinya?

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi paradoks pilihan yang kita alami.

1. Berpikir dengan teliti

Sebelum memilih satu di antara banyak pilihan yang berpotensi mengacaukan pikiran kita, ada baiknya kita berpikir dengan teliti untuk menimbang mana yang terbaik. Tidak perlu terburu-buru dalam memutuskan. Pastikan pilihan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai.

2. Buat kriteria tertentu

Kitalah yang pada akhirnya menentukan mana pilihan yang terbaik. Untuk meminimalisir keputusan buruk, sebaiknya kita tentukan kriteria-kriteria tertentu untuk menyeleksi beberapa kandidat pilihan terbaik.

Dengan pilihan yang lebih sedikit, lebih mudah bagi kita menentukan mana "juara"-nya tanpa perlu terdistraksi pilihan-pilihan lain yang sebenarnya kurang penting untuk dipikirkan.

3. Yakinlah tidak ada pilihan yang sempurna

Sebagai makhluk yang punya keterbatasan, tentunya hampir mustahil kita bisa mendapatkan sesuatu yang sempurna dan ideal.

Oleh sebab itu, kita perlu menerima keadaan kita dan merasa cukup dengan pilihan yang kita buat. Paling tidak sudah sesuai dengan kriteria standar yang kita tetapkan.

Kita perlu bersyukur dengan "pilihan yang baik" dan bukan mengharapkan "pilihan yang sempurna". Menjadi terlalu perfeksionis malah akan menjadi bumerang. Bukannya puas, malah timbul sesal di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun