Tak ada masalah dalam urusan persalinan. Semua lancar dan nyaris tanpa sakit menurut cerita ibu. Tapi ada masalah di bayinya yaitu aku. Menurut semua yang menyaksikan, aku sudah tidak bernapas. Tapi ibuku berkeyakinan kalau aku masih hidup.Â
Oleh karenanya ibu meminta untuk tidak memotong ari-ariku saat itu juga. Ibu ingin merawat aku lengkap dengan ari-arinya. Meski terlihat janggal tapi ibu tetap melakukan hal itu.
Ibu merawat aku seperti bayi-bayi pada umumnya. Meski aku diam saja tanpa reaksi apapun. Setiap hari ibu merawatku dalam diam.
Benar saja. Dalam beberapa hari ibuku melihat tanda-tanda kehidupan pada diriku. Dimulai dari dadaku yang mulai naik turun. Kemudian jari-jariku yang mulai digerak-gerakkan. Dan bibir yang bergerak-gerak seolah minta minum.
Ibu langsung memberikan ASI-nya. Ibu merasakan reaksi yang tak seperti biasanya. Bayi yang digendongnya sudah seperti bayi pada umumnya. Aku bukan lagi bayi yang divonis meninggal.
Keyakinan ibu benar. Bayinya masih hidup dan tumbuh sampai dewasa. Sampai menghantarkan dirinya meregang nyawa di pembaringan.Â
Ya, aku mendampingi ibu saat beliau sakit dan menghembuskan napas. Meski sedih dan kehilangan sosok ibu yang telah berjuang mempertahankan hidupku. Namun aku merasa lega karena bisa mendampingi ibu sampai akhir hayatnya.
Tepat di hari pahlawan 10 November 2014 ibu menghembuskan napas terakhir. Ibuku telah berpulang. Ibuku telah selesai menunaikan tugasnya. Ibuku pahlawanku. Pahlawan hidupku. (Denik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H