Dalam tatapan tajam kepala suku dan panglima perang
Aku didandani baju dan topi berbahan kayu Talun
Dikalungi rangkaian biji-bijian dan ranting pohon purba yang tumbuh di rimba hujan
Sebagai isyarat penerimaan dan perlindungan
Hidanganku dipilihkan nasi puken tiga warna
Merah, putih, dan hitam dari bahan beras Adam
Yang tumbuh merimbun di sawah basah
Oleh air yang turun dari awan
Dan celah rapat akar-akaran
Tanpa pupuk kimia buatan
Lauknya sayur pucuk tengayen
Riyep pakis hijau, dan dedaunan
Yang tumbuh di halaman belakang
Ikan-ikannya dijaring dari sungai berair tenang
Minumku mata air yang memancar dari ketinggian
Disajikan dalam cangkir bersulam rotan
Puisi karya Herman Syahara dan dibacakan sendiri oleh sang penyair di acara Book Launching dan Bedah Buku Menjelajahi Misteri Perbatasan, membuat saya terpana.Â
Kata-kata dalam tiap baris puisi dengan judul Penyambutan di Tanah Perbatasan Krayan tergambar dengan jelas di langit imaji saya.
Sebagai penyuka petualangan dan kuliner, imaji saya bergolak bak kuda liar berontak. Apalagi ketika Dr. Yansen TP, M.Si bertutur tentang Batu Ruyun dan desa Krayan. Sebuah prasasti di tengah hutan Taman Nasional Kayan Mentarang, Krayan Tengah, Kalimantan Utara.Â
Raga ini duduk manis di Amphi Teater, Sekolah Alam Cikeas. Namun jiwa ini berkelana jauh ke sana. Di perbatasan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia. Beliau yang juga wakil gubernur Kalimantan Utara, begitu detail menuturkan kisah tentang Batu Ruyud.Â
Itulah kekuatan kata-kata. Senjata para penulis. Yang konon lebih dipercaya oleh Pram ketimbang senjata. Untuk kali ini, saya adalah korbannya. Terkena dan terbuai dibuatnya.
Bagaimana tidak? Kisah para penulis buku Menjelajahi Misteri Perbatasan membuat saya terpukau. Mereka begitu jelas dan dalamnya menggambarkan kondisi alam dan budaya masyarakat Dayak yang menghuni daerah Krayan.
Daerah yang selama sepekan mereka diami dalam acara Batu Ruyud Writing Camp (BRWC). Kak Agustina salah satu peserta BRWC menceritakan tentang wilayah Krayan yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak dan Sabah Malaysia.Â
Lewat coretannya saya membayangkan seperti apa masyarakat Dayak yang tinggal di sepanjang bantaran sungai Krayan. Manusia Sungai Krayan, demikian Matius Mardani menyebut mereka dalam coretannya.
Duh, sungguh menyenangkan bisa berada di tengah-tengah mereka manusia sungai Krayan.Â
Saya bayangkan juga rasanya mengenakan busana adat Dayak berikut ornamennya seperti yang terekam dalam lensa kamera sang phographer Arbain Rambey.Â
Sungguh indah dan memesona. Juga unik pastinya jika saya yang seorang gadis Jawa mengenakan busana adat suku Dayak.Â
Meski hanya mendengar dari para penulis dan mentor BRWC. Juga membaca ceritanya dari buku yang mereka tulis, tapi kisah saya ini bak pucuk dicinta ulam pun tiba.
Saya tertarik dengan kisah mereka yang tinggal di daerah perbatasan. Saya juga tertarik dengan kebudayaan masyarakat suku Dayak. Lha, kok akhir pekan ini saya dipertemukan dengan mereka.
"Ayo tanggung jawab, karena saya jadi ingin menjelahi misteri perbatasan juga."
Dari sisi petualangan dan kuliner sudah jelas saya tergoda oleh bait puisi Herman Syahara. Oleh coretan kak Agustina dan kawan-kawan. Juga penuturan dari pak Yansen.
Dari sisi literasi, ulasan Pepih Nugraha atau biasa disapa Kang Pepih tentang "Ikrar Literasi" yang mereka susun di Batu Ruyud menyadarkan diri akan pentingnya literasi dasar membaca dan menulis.
Bahwa membaca dan menulis, adalah jalan menuju peradaban baru bangsa yang lebih kokoh, kuat dan bermartabat.
Bahwa membaca dan menulis, menjadikan kami bangsa yang memiliki kedudukan sama dan sederajat dengan bangsa-bangsa beradab lainnya di atas muka bumi.
Bahwa pegiat literasi Indonesia berikrar, memerangi kebodohan dan kemunduran di segala bidang, dengan menghasilkan karya tulis berisi segala pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Bahwa pegiat literasi Indonesia bertekad, melawan semua bentuk ketidakadilan,, penindasan, kesewenang-wenangan, dan perampasan terhadap kemerdekaan berpendapat dalam bentuk tulisan.
Wah, cadas bukan isi dari deklarasi literasi di atas? Itulah salah satu hasil dari Batu Ruyud Writing Camp (BRWC).Â
Saya juga mengetahui filosofi "LTJ" dari ulasan Kang Pepih. TLJ (Tahu-lakukan-jadikan).Â
"BRWC adalah ide liar yang terwujud," demikian ujar Kang Pepih.Â
Melalui coretan Arie Saptaji, salah satu peserta BRWC, saya mengetahui tentang bagaimana beratnya medan perjalanan di sana. Umumnya menggunakan pesawat kecil yang tarifnya pun tak murah.Â
Para petualang yang pernah ke sana salah satunya aktor Ibnu Jamil. Ia dan kawan-kawan sampai menangis merasakan beratnya medan perjalanan darat yang mereka lalui.Â
Mereka menggunakan motor melintasi Malinau-Krayan. Motoran di tengah hutan tak menjumpai orang satu pun.
Barulah ketika memasuki wilayah Krayan Tengah mereka bertemu dengan satu orang yang ternyata kepala desa Ba Binuang.
Mereka diajak menginap di rumah biru di Batu Ruyud. Jadi kisah para peserta BRWC selama di Batu Ruyud dialami juga oleh para petualang tersebut.Â
Hal tersebut menunjukkan bahwa begitulah kehidupan di daerah perbatasan Indonesia. Melalui literasi. Lewat tulisan, kita yang tidak tahu menjadi tahu.Â
Kita yang gemar bertualang jadi tertantang. Ibnu Jamil dan kawan-kawan sudah ke Batu Ruyud. Saya kapan dong?
"Ayo tanggung jawab, saya jadi ingin menjelajahi misteri perbatasan juga loh."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H