Bicara Hari Raya Waisak, saya memiliki kenangan bersama seorang kawan yang beragama Budha. Darinya saya banyak belajar tentang arti sabar dan mengalah.
Padahal kami seusia. Sama-sama muda dan lekas emosi. Namanya juga anak putih abu-abu. Egonya masih tinggi. Tapi kawan saya ini beda. Sungguh, jika mengingat hal tersebut saya jadi maluÂ
"Kok bisa-bisanya dulu gue begitu ya?"
Jadi saya dan si kawan ini sering pulang bareng usai berlatih karate. Kami satu perguruan tapi beda sekolah. Masih sama-sama di Jakarta. Jalur yang kami lalui juga sama. Waktu itu masih zamannya naik metromini.
Bedanya si kawan turun duluan sedangkan saya masih lanjut sampai metromini tersebut masuk ke wilayah Tangerang. Karena tempat tinggal saya di Tangerang.
Nah, metromini itu kan terkenal banyak copet dan premannya. Saya paling tidak suka melihat preman petentang-petenteng menggoda penumpang perempuan yang naik. Emosi saya cepat tersulut dan ingin segera menegur para preman tersebut.
Apalagi saya merasa memiliki basic beladiri. Jadi tidak merasa gentar. Tapi si kawan tersebut yang selalu menahan aksi saya.
"Sudah jangan cari perkara. Toh yang digodain juga diam saja."
"Itu karena dia takut. Harusnya preman macam gitu dilawan biar tidak seenaknya. Aku enggak sabar melihat hal begitu di depan mata."
"Ya sudah jangan dilihat kalo gitu. Liatin aku aja."
Kalau sudah begitu si kawan yang jadi sasaran ocehan dan omelan saya. Terkadang dia menarik saya untuk turun di sembarang halte. Agar tidak berisik di dalam metromini.