Saya merasakan hal tersebut ketika usai berolahraga pagi dan melihat pak tuo sedang memetik buah rasbery. Sebagai tetangga tentu saya menyapanya. Maka begitulah. Pak tuo bercerita segala macam terutama tentang tanaman.
Kebetulan saya juga senang tanaman. Jadi nyambunglah. Ujungnya saya diberi satu tanaman dan buah rasbery yang baru dipetiknya. Sebagai gantinya saya memberi pak tuo kopi. Kebetulan saya kurang suka kopi. Jadi oleh-oleh kopi asli dari berbagai daerah saya berikan pada pak tuo. Karena ia penggemar kopi.
Selama bulan Ramadan saya tetap memberinya kopi. Hanya saja waktunya ketika sahur menjelang imsak. Biasanya pak tuo duduk di teras atau di saung kecil yang ia buat di kebun.
Saya tak merasa terganggu ketika ia bercerita segala hal. Saya pikir ia butuh kawan untuk bercerita. Karena sepanjang hari kerjanya bercocok tanam di kebun.Â
Kalau terkadang agak ceriwis mengomentari sesuatu. Saya pikir wajar juga. Namanya juga orang tua.
Begitulah. Jika saya sedang di rumah dan melihat pak tuo di kebun. Saya hampiri untuk memberinya kopi. Kemudian berbincang-bincang tentang tanaman.
Maka ketika tiba-tiba pak tuo memberi semangkuk gulai nangka hasil kebun sendiri, di saat saya sedang ingin makan gulai nangka. Itu tuh mengharukan sekali.
Apapun alasannya. Saya sangat berterima kasih sekali. Semoga bapak senantiasa diberikan kesehatan. Sebungkus kopi versus gulai nangka berkah Ramadan tiada tara. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H