Gulai nangka. Salah satu makanan kesukaan saya. Berhubung tidak bisa membuatnya sendiri, jadi kalau ingin makan gulai nangka beli saja di warung nasi Padang.
Untuk itu saya mesti jalan dulu keluar rumah. Warung nasi Padangnya sih tidak jauh dari rumah. Tapi dalam suasana puasa mager ya? Jangankan keluar rumah. Di rumah saja malas mau melakukan aktivitas.
Terkadang terjadi keributan kecil dengan adik gara-gara mager ini.
"Elo sih Mba yang keluar. Gantian. Tadi gue udah belanja ke warung," sungut adik saya.
"Gue males nih. Panas. Lagian gue banyak DL tulisan," dalih saya.
"Ah, dasar Lo. Katanya pengin makan gulai nangka. Tapi males keluar. Ya udah buka yang ada aja di meja."
Begitulah efek mager. Tertunda keinginan hati. Menjelang waktu berbuka, saya menyiapkan makanan yang ada. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk.
"Ya, sebentar."
Saya bergegas membuka pintu. Di sana berdiri pak tuo penghuni rumah depan dengan sebuah mangkuk di tangan.
"Ini untuk buka puasa. Saya sendiri yang membuatnya."
"Ya, ampun bapak. Terima kasih banyak ya?" sahut saya.
"Mangkuknya besok-besok saja," ujar pak tuo. Kemudian ia pun pamit.
Saya melongo memandangi isi mangkuk tersebut. Gulai nangka yang sedang saya inginkan.
"Siapa Mba tadi itu?" tanya adik saya.
"Itu, bapak depan rumah. Ngasih gulai nangka. Pas banget ya."
"Elo sih tadi kencang-kencang ngomongin gulai nangka. Denger kali si bapak. Terus bikin buat Elo."
"Ah, masa iya begitu?"
"Bisa aja," sahut adik saya sambil ngeloyor ke dalam.
Saya memandangi mangkuk di tangan masih dengan tatapan tak percaya. Kebetulan banget. Rezeki bulan Ramadan.
Pak Tuo adalah panggilan si bapak tua yang tinggalnya persis di depan rumah saya. Hanya dibatasi kebun kecil tempat si pak tuo beraktivitas.
Saya tidak tahu kenapa orang-orang tidak terlalu menyukainya. Saya baru beberapa bulan menempati rumah yang sekarang. Jadi belum paham karakter tetangga sekeliling.Â
Apa mungkin karena pak tuk ceriwis ya? Sebab ia memang akan bercerita tentang segala hal jika didekati.
Saya merasakan hal tersebut ketika usai berolahraga pagi dan melihat pak tuo sedang memetik buah rasbery. Sebagai tetangga tentu saya menyapanya. Maka begitulah. Pak tuo bercerita segala macam terutama tentang tanaman.
Kebetulan saya juga senang tanaman. Jadi nyambunglah. Ujungnya saya diberi satu tanaman dan buah rasbery yang baru dipetiknya. Sebagai gantinya saya memberi pak tuo kopi. Kebetulan saya kurang suka kopi. Jadi oleh-oleh kopi asli dari berbagai daerah saya berikan pada pak tuo. Karena ia penggemar kopi.
Selama bulan Ramadan saya tetap memberinya kopi. Hanya saja waktunya ketika sahur menjelang imsak. Biasanya pak tuo duduk di teras atau di saung kecil yang ia buat di kebun.
Saya tak merasa terganggu ketika ia bercerita segala hal. Saya pikir ia butuh kawan untuk bercerita. Karena sepanjang hari kerjanya bercocok tanam di kebun.Â
Kalau terkadang agak ceriwis mengomentari sesuatu. Saya pikir wajar juga. Namanya juga orang tua.
Begitulah. Jika saya sedang di rumah dan melihat pak tuo di kebun. Saya hampiri untuk memberinya kopi. Kemudian berbincang-bincang tentang tanaman.
Maka ketika tiba-tiba pak tuo memberi semangkuk gulai nangka hasil kebun sendiri, di saat saya sedang ingin makan gulai nangka. Itu tuh mengharukan sekali.
Apapun alasannya. Saya sangat berterima kasih sekali. Semoga bapak senantiasa diberikan kesehatan. Sebungkus kopi versus gulai nangka berkah Ramadan tiada tara. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H