Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Guru Kehidupanku

17 November 2020   21:13 Diperbarui: 17 November 2020   21:18 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu mau bapak merampok buat nutupin hutang judinya? Lagi pula perhiasan itu ibu beli dari uang pemberian bapak. Tabungan ibu dari uang belanja yang bapak berikan juga. Jadi biarkan saja. Nanti kalau sudah tidak ada yang dijual lagi. Tidak ada yang diminta dari ibu. Bapakmu pasti pulang. Mau kemana lagi kalau enggak kembali ke rumah."

Dan benar saja. Bapak pulang setelah habis-habisan. Namun ibu tetap bersikap baik. Bahkan merawat bapak dengan telaten saat bapak jatuh sakit. Padahal ibu harus memasak dan melayani pembeli. 

Semenjak bapak terjerat judi. Praktis sudah tidak ada pemasukan lagi. Jangankan mengurus pekerjaan, dirinya sendiri saja tak terurus. Bapak lupa segalanya. Lupa makan, lupa hari. Lupa keluarga. Ibu pun segera bertindak. Dengan keahlian memasak yang dimiliki serta pengalaman bekerja di restauran. Ibu membuka warung makan demi kelangsungan hidup kami. 

Meski dulunya ibu adalah nyonya dari seorang kontraktor yang cukup disegani. Namun ketika terpuruk dan berada di titik terbawah dalam hidup. Ibu tidak mengeluh. Tidak malu dengan kondisi yang dihadapinya. Justru aku yang sempat membenci bapak dan malu menghadapi teman-teman. 

Berkat ibu, aku tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah mengeluh. Aku belajar bagaimana bisa memiliki kesabaran yang luar biasa seperti itu. Belajar tentang apa itu mencintai. Dan satu hal yang pasti. Berkat ibu aku tidak menjadi anak durhaka. Padahal aku sudah diliputi perasaan benci terhadap bapak.

"Pepatah boleh saja mengatakan, Akibat Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga. Tapi jangan kau terapkan dalam kehidupan. Jangan karena kesalahan yang sudah bapakmu lakukan hari ini. Kau abaikan semua kebaikan, kerja keras dan pengorbanan yang sudah dilakukannya bagi keluarga. Buang perasaan benci itu. Lihatlah dengan cinta. Maka kau akan iba melihat sosoknya yang kini terkulai tak berdaya."

Begitu nasihat ibu. Tidak mudah. Tapi ibu saja bisa, kenapa aku tidak? Padahal ibu yang lebih tersakiti. Perlahan namun pasti sikapku terhadap bapak mulai melunak. Apalagi setelah bapak menyadari kesalahannya. Kemudian berusaha menebus kesalahannya itu dengan bekerja keras lagi dari bawah. 

Aku yang sudah memiliki penghasilan sendiri tentu tidak membiarkan hal itu terjadi. Apalagi dengan kondisi bapak yang kerap sakit-sakitan. Usia yang semakin bertambah. Ibu saja kuminta menghentikan usahanya. Apalagi bapak yang usianya lebih tua dari ibu. 

Aku meminta mereka untuk beristirahat. Tidak perlu mencari uang lagi. Lebih baik mengisi sisa waktu dengan banyak-banyak beribadah dan berkegiatan yang berhubungan dengan ibadah. Seperti mengaji dan mendengarkan ceramah keagamaan. 

Begitu dikaruniai cucu, hari tua keduanya semakin terlihat bahagia. Aku merasa terharu tiap kali melihat kerut-kerut keriput di wajah keduanya saat tertawa bersama cucu kesayangan. Terutama keriput di wajah bapak. 

"Ya, Tuhan. Betapa tuanya bapak. Sungguh tak berdayanya ia kini. Benar kata ibu. Jika melihat bapak dengan cinta. Yang ada hanya ingin memeluk dan merengkuh tubuh kurusnya yang keriput itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun