Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Guru Kehidupanku

17 November 2020   21:13 Diperbarui: 17 November 2020   21:18 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana perasaanmu? Ketika melihat sosok yang selama ini kau kagumi dan hormati tiba-tiba bersikap brutal menyerang orang yang kau sayangi, yaitu ibu. Marah dan membenci sosok itu bukan? Lalu bagaimana jika sosok itu adalah ayahmu sendiri?

Benci. Kata yang mencuat begitu saja dalam benak ini manakala menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bapak melempar piring yang disodorkan oleh ibu. Kemudian mencengkeram lengan ibu seraya berteriak.

"Kowe kan ngerti aku iki senenge opo? Mosok kon mangan koyok ngene. Ora sudi aku?" (1) 

"Sampean wes seminggu ora bali. Ora ngekei duit belonjo. Lho, kok moro-moro teko terus ngamuk koyok ngene. Mbokyo mikir, Pak!" sahut ibu. (2)

"Wes ojo kakean cangkem. Aku njaluk duite. Utangku akeh," teriak bapak. (3)

Kemudian bapak menghampiri kotak uang di warung kami. Mengambil semua uang dagangan ibu yang belum sempat dirapikan. 

"Ojo Pak! Kuwi duit dagangan. Aku wes ora duwe duit maneh!" teriak ibu sambil mengejar bapak. (4)

Namun bapak yang sudah kerasukan setan malah mendorong ibu lalu segera pergi sambil membawa semua uang dari dalam kotak dagangan.

Aku hanya bisa terisak menyaksikan semua dari pojokan. Lalu segera menghambur memeluk ibu begitu bapak pergi. 

"Ibuuuuu," teriakku sambil menangis .

"Husss, huss, jangan menangis. Nanti didengar tetangga jadi pada ke sini ingin tahu ada apa. Malu jadi tontonan orang," sahut ibu sambil memeluk dan mengusap rambutku. 

Tak ada air mata yang keluar dari kelopak mata ibu. Meski rambut dan pakaian ibu berantakan. Hanya raut wajah ibu yang terlihat menahan perasaan. Tertekan.

Ibu justru berusaha menenangkan diriku. Aku yang terus saja menangis. Tiba-tiba aku merasa benci luar biasa terhadap bapak.

"Udah sih cerai saja bu dari bapak. Aku enggak rela melihat ibu diperlakukan seperti ini oleh bapak. Ini bukan sekali dua kali tapi sudah sering kali. Aku benci sama bapak."

Aku bukan anak kecil lagi. Kelas satu SMP tentu sudah bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam keluarga kami. Oleh karenanya aku ingin ibu bercerai saja dari bapak. Untuk apa mempertahankan suami yang tak berguna semacam itu. Aku juga tidak masalah tak memiliki bapak. Pikirku saat itu. Tapi apa jawaban ibu?

"Ngawur. Kamu itu ngomong apa? Memangnya enak enggak punya bapak? Kalau enggak mikirin kamu, sudah sejak kemarin ibu pergi ninggalin bapakmu."

"Aku enggak apa-apa kok enggak punya bapak. Daripada punya banyak seperti itu. Aku benci bapak," kataku lagi.

Tapi ibu malah memarahiku.

"Kamu ini. Jangan sekali-kali benci sama bapakmu. Tanpa bapakmu, kamu enggak bakalan ada di dunia ini. Lantaran bapakmu kamu ada."

"Tapi Bu. Bapak kan..."

"Dengar...."

Lalu mengalirlah cerita dari mulut ibu sambil mengusap-usap rambutku. Aku yang rebahan di pangkuan ibu.

"Bapakmu seperti itu karena sedang kerasukan setan. Setan judi. Orang kalau sudah kecanduan judi seperti itu. Jadi kamu jangan heran kalau setiap hari ada yang datang mengambil barang-barang di rumah. Itu artinya sudah dijual oleh bapak karena kalah judi dan tidak punya uang untuk membayarnya."

Aku mendengarkan cerita ibu sambil ingatan ini melayang ke beberapa peristiwa sebelumnya. Bagaimana barang-barang elektronik yang kami miliki satu per satu digotong orang. Mulai dari televisi, kulkas, meja dan kayu jati sampai tempat tidur yang terbuat dari kayu jati. 

"Toh, dulu bapakmu tidak seperti ini. Kamu ingatkan? Bagaimana bapak selalu membelikan jajanan terbaru untukmu. Pokoknya anak lain belum tahu, tapi kamu sudah tahu duluan."

Ya, aku ingat. Dan tidak akan pernah melupakan semua itu. Masa-masa kejayaan bapak. Di mana kami hidup berkecukupan. Bahkan bisa dibilang orang yang cukup berada di kampung tempat tinggal kami. Bagaimana tidak? Kalau setiap sore sebagian besar warga kampung sudah duduk manis di rumah kami. Mereka ingin menonton televisi. Benda yang saat itu masih sangat langka. Hanya segelintir orang yang bisa memiliki televisi.

Melalui televisi aku mengetahui produk-produk makanan terbaru. Tanpa kuminta, bapak membelikannya untukku. Hati siapa yang tak senang? Belum lagi mainan dan perlengkapan sekolah. Bapak membelikan yang terbaik dan paling bagus. 

Semua berubah ketika kawan lama bapak datang bertandang. Sebagai kontraktor sukses banyak orang yang mendekati bapak. Sejauh ini ibu tidak terlalu mempersoalkan juga. Namun saat kawan lama ini datang, ibu kerap mewanti-wanti bapak supaya berhati-hati. 

"Hati-hati Pak ambe de'e. Sampean kan wes tahu cerito ne uwong iki licik. Wes suwe ora ngerti ngon'e moro-moro muncul mesti duwe maksud tertentu. Opo meneh wes ngerti kahanan sampean." (5)

Awalnya nasihat ibu masih didengar oleh bapak. Namun karena kelihaian si kawan tersebut akhirnya bapak terjebak di meja judi. Pekerjaan berantakan. Barang-barang habis terjual. Bahkan uang dan perhiasan ibu juga ludes diminta bapak. 

Ibu tidak marah atau melawan. Diserahkan begitu saja sampai semua benar-benar habis di meja judi. Aku yang geram melihatnya. Rasanya ingin melawan melihat kelakuan bapak. Namun ibu selalu melarang.

"Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata kasar terhadap bapakmu. Walau bagaimana dia adalah bapakmu. Salah atau benar tetap harus dihormati. Kamu itu anak. Berani melawan adalah kesalahan besar. Meski kamu di posisi yang benar. Ingat kata-kata ibu ini."

"Ibu, kenapa sabar banget sih ngadepin bapak? Uang, perhiasan diminta diam saja. Itu kan milik ibu," protesku.

"Kamu mau bapak merampok buat nutupin hutang judinya? Lagi pula perhiasan itu ibu beli dari uang pemberian bapak. Tabungan ibu dari uang belanja yang bapak berikan juga. Jadi biarkan saja. Nanti kalau sudah tidak ada yang dijual lagi. Tidak ada yang diminta dari ibu. Bapakmu pasti pulang. Mau kemana lagi kalau enggak kembali ke rumah."

Dan benar saja. Bapak pulang setelah habis-habisan. Namun ibu tetap bersikap baik. Bahkan merawat bapak dengan telaten saat bapak jatuh sakit. Padahal ibu harus memasak dan melayani pembeli. 

Semenjak bapak terjerat judi. Praktis sudah tidak ada pemasukan lagi. Jangankan mengurus pekerjaan, dirinya sendiri saja tak terurus. Bapak lupa segalanya. Lupa makan, lupa hari. Lupa keluarga. Ibu pun segera bertindak. Dengan keahlian memasak yang dimiliki serta pengalaman bekerja di restauran. Ibu membuka warung makan demi kelangsungan hidup kami. 

Meski dulunya ibu adalah nyonya dari seorang kontraktor yang cukup disegani. Namun ketika terpuruk dan berada di titik terbawah dalam hidup. Ibu tidak mengeluh. Tidak malu dengan kondisi yang dihadapinya. Justru aku yang sempat membenci bapak dan malu menghadapi teman-teman. 

Berkat ibu, aku tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah mengeluh. Aku belajar bagaimana bisa memiliki kesabaran yang luar biasa seperti itu. Belajar tentang apa itu mencintai. Dan satu hal yang pasti. Berkat ibu aku tidak menjadi anak durhaka. Padahal aku sudah diliputi perasaan benci terhadap bapak.

"Pepatah boleh saja mengatakan, Akibat Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga. Tapi jangan kau terapkan dalam kehidupan. Jangan karena kesalahan yang sudah bapakmu lakukan hari ini. Kau abaikan semua kebaikan, kerja keras dan pengorbanan yang sudah dilakukannya bagi keluarga. Buang perasaan benci itu. Lihatlah dengan cinta. Maka kau akan iba melihat sosoknya yang kini terkulai tak berdaya."

Begitu nasihat ibu. Tidak mudah. Tapi ibu saja bisa, kenapa aku tidak? Padahal ibu yang lebih tersakiti. Perlahan namun pasti sikapku terhadap bapak mulai melunak. Apalagi setelah bapak menyadari kesalahannya. Kemudian berusaha menebus kesalahannya itu dengan bekerja keras lagi dari bawah. 

Aku yang sudah memiliki penghasilan sendiri tentu tidak membiarkan hal itu terjadi. Apalagi dengan kondisi bapak yang kerap sakit-sakitan. Usia yang semakin bertambah. Ibu saja kuminta menghentikan usahanya. Apalagi bapak yang usianya lebih tua dari ibu. 

Aku meminta mereka untuk beristirahat. Tidak perlu mencari uang lagi. Lebih baik mengisi sisa waktu dengan banyak-banyak beribadah dan berkegiatan yang berhubungan dengan ibadah. Seperti mengaji dan mendengarkan ceramah keagamaan. 

Begitu dikaruniai cucu, hari tua keduanya semakin terlihat bahagia. Aku merasa terharu tiap kali melihat kerut-kerut keriput di wajah keduanya saat tertawa bersama cucu kesayangan. Terutama keriput di wajah bapak. 

"Ya, Tuhan. Betapa tuanya bapak. Sungguh tak berdayanya ia kini. Benar kata ibu. Jika melihat bapak dengan cinta. Yang ada hanya ingin memeluk dan merengkuh tubuh kurusnya yang keriput itu."

Aku ingat betul. Bagaimana ibu dengan sabar dan penuh cinta merawat bapak yang terkena stroke. Tidak secuil pun terlontar keluhan dari bibir ibu. Telaten sekali ibu merawat bapak sampai bapak tiada. Meski tak terucap. Aku tahu ibu merasa kehilangan. 

Dengan tegar ibu melepas kepergian bapak. Aku yang justru sempat limbung dan berkali-kali menangis. 

"Sudah jangan menangis terus. Nanti perjalanan bapak jadi berat karena ditangisi seperti ini," bisik ibu kala itu.

"Bagaimana aku tidak sedih, Bu? Waktuku untuk membahagiakan bapak masih terasa kurang. Apalagi aku sempat membenci bapak,"ujarku sambil tersedu.

 "Ambil hikmah dari semua kejadian ini. Jangan pernah membenci siapa pun. Terutama orang yang kita cintai. Pasangan yang kita pilih sendiri sebagai pendamping hidup. Baik atau buruk harus diterima. Selama kesalahan yang dilakukan bukan sesuatu yang fatal. Maafkan. Agar hatimu lapang."

Nasihat itu selalu kuingat betul. Tak akan pernah kulupakan sampai kapan pun. Meski kini ibu juga sudah menyusul bapak di alam keabadian. 

Terima kasih ibu. Kau adalah madrasah pertamaku. Hatimu seluas samudera. Aku bangga memiliki ibu sepertimu. Guru kehidupanku. (EP)

Catatan:

1. "Kamu kan tahu aku sukanya apa? Masa disuruh makan beginian. Aku enggak mau."

2. "Kamu (bapak) itu sudah seminggu enggak pulang. Tidak memberi uang belanja. Lho, kok tiba-tiba datang dengan marah-marah seperti ini. Coba mikirlah."

3. "Sudah jangan kebanyakan ngomong. Aku minta uangnya. Hutangku banyak."

4. "Jangan Pak! Itu uang dagangan. Aku sudah tidak punya uang lagi."

5. "Hati-hati Pak dengan orang itu. Bapak kan sudah pernah cerita kalau orang itu licik. Lama tak tahu kabar beritanya. Tiba-tiba datang pasti punya maksud tertentu. Apalagi sudah tahu keadaan bapak sekarang ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun