Si tetangga menggelengkan kepala sambil mengusap air matanya.
"Saya sebetulnya sangat tertekan. Tapi bingung mau cerita sama siapa. Karena ibu sudah melihat sendiri kondisi suami saya. Maka akan saya ceritakan semua biar plong hati ini."
Maka begitulah. Cerita mengalir dari mulai awal perkenalan sampai menikah dan dikaruniai dua anak.Â
"Jadi Mba enggak tahu kalau calon Mba itu punya kelainan jiwa?" tanya saya.
"Ya enggak. Karena memang tidak kelihatan. Semua terlihat normal dan biasa saja. Keluarga nya pun tak ada yang memberitahukan. Jadi bagaimana saya bisa tahu? Saya juga diperkenalkan. Bukan kenalan sendiri. Jadi ada saudara yang mengenalkan. Katanya ada laki-laki yang sedang mencari istri. Orangnya enggak neko-neko. Kerjanya di salah satu instansi pemerintah. Kalau mau dan merasa sreg ya langsung nikah saja. Enggak pakai tunangan atau tukar cincin segala macam."
"Karena saya juga orangnya enggak neko-neko. Jadi begitu kenalan dan merasa sreg, tiga bulan kemudian menikah. Satu tahun pernikahan kami tak ada tanda-tanda yang aneh juga. Barulah setelah saya hamil dan melahirkan mulai terlihat keanehan pada diri suami saya.'
"Oh, ya? Seperti apa tuh Mba?" tanya saya penasaran.
"Ya, marah-marah enggak jelas gitu Bu. Kalau saya dekati dan ajak bicara malah semakin jadi. Saya pernah kena pukul. Anak saya juga nyaris dibantingnya. Saya yang awalnya tidak mau mengadu ke keluarganya, karena takut jadi mengadu. Ternyata suami saya memang memiliki kelainan jiwa. Sudah disembuhkan. Tapi kambuh lagi setelah satu tahun lebih tak kambuh. Siapa yang enggak shock mendengar hal ini? Saya sampai enggak berani cerita ke keluarga sendiri. Takut mereka malu. Dan memang dilarang juga oleh keluarga suami."
"Loh, kok gitu, Mba? Ini bisa membahayakan jiwa Mba dan anak-anak loh," sahut saya agak emosi.Â
"Memang iya, saya juga sempat ketakutan. Tapi diberitahu keluarga suami bagaimana menghadapinya kalau sedang kambuh. Nanti keluarga suami menjemput untuk dilakukan perawatan di rumahnya. Begitu sudah pulih baru diantarkan lagi ke rumah. Dan suami biasa lagi. Sama anak-anak juga sayang. Saya saja yang selalu dihantui perasaan was-was. Karena sudah tahu kondisinya."
Duh, saya prihatin sekali mendengar kondisi si tetangga tersebut. Tidak bisa membayangkan, tinggal bersama orang yang kondisi kejiwaannya terganggu. Yang sewaktu-waktu bisa berubah menakutkan dan mengancam jiwa kita.