Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Peribahasa yang menerangkan tentang adat kebiasaan suatu daerah yang berbeda-beda tersebut sangat saya rasakan ketika pertama kali hijrah ke Jakarta.
Sebagai remaja ABG yang sedang senang-senangnya bergaul. Maka di daerah yang baru dijajaki ini, saya pun bergaul dengan remaja dilingkungan sekitar yang kebanyakan masyarakat Betawi.Â
Banyak hal-hal baru yang saya jumpai dalam pergaulan tersebut. Hal-hal yang menarik hati sekaligus mencengangkan. Mencengangkan? Iya. Sebab untuk pertama kalinya saya melakukan hal tersebut. Yakni mandi merang.Berawal dari kedekatan saya dengan seorang kawan dari keluarga Batawi. Hampir setiap hari saya diajaknya main ke rumah. Jadi sepulang sekolah atau setelah beres dengan pekerjaan rumah, saya mendatangi rumah si kawan ini yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah saya.
Berhubung hampir setiap hari main bersama, saya sudah dianggap keluarga oleh mereka. Sehingga sedikit banyak saya mulai mengenal bahkan terlibat dalam tradisi-tradisi adat Betawi yang mereka jalankan. Seperti mengadakan selamatan atau pengajian, dua hari sebelum bulan Ramadan. Tujuannya mengirim doa bagi orang tua atau sanak sedulur yang sudah meninggal.
Untuk acara ini mungkin tidak jauh beda dengan tradisi yang ada di Jawa. Kenduri, bapak biasa menyebutnya. Menjelang bulan Ramadan banyak undangan untuk menghadiri kenduri. Namanya anak-anak, saya paling senang kalau bapak banyak mendapat undangan kenduri. Artinya besek yang bapak bawa jadi banyak.Â
Dalam hal ini saya tidak terlalu asing lagi jika kemudian menemukan acara serupa dalam masyarakat Betawi. Namun ada satu tradisi yang membuat saya tercengang. Yaitu mandi merang.
"Besok sore elu ke sini Neng. Jangan lupa bawa baju untuk ganti."
"Untuk apaan bawa baju ganti, Nyak?" Kata saya tak mengerti.
"Lha, bocah. Die kagak tahu. Besok itu wayahnya mandi merang. Pan besoknya mau puasa. Jadi kita kudu mandi keramas pakai merang. Biar bersih jiwa dan raga kita pas puasa nanti."
Saya yang belum pernah merasakan mandi merang tentu penasaran. Setelah minta ijin orang tua dan diperbolehkan. Maka saya datang ke rumah si kawan tersebut. Saya, si kawan dan beberapa perempuan muda lain berkumpul di belakang. Tepatnya di dekat pancuran dari bambu.
Hanya dengan mengenakan kemben, kami diberi wadah berisi air berwarna kehitaman. Itulah air merang yang sudah disaring. Air itu akan kami gunakan untuk mandi keramas. Setelah siap, kami mandi dan keramas bersama menggunakan air merang tersebut.Â
Sejujurnya saat itu saya merasa agak gimana gitu. Membayangkan merangnya yang habis dibakar. Dalam bayangan saya kala itu, kita sama juga mandi air sampah dong. Tapi demi menghormati tradisi yang ada, saya pun berusaha abaikan perasaan tersebut. Apalagi tujuannya juga baik.Â
Usai keramas menggunakan merang, kami bergantian diguyur atau dibilas dengan menggunakan air pancuran. Seru sekali mengingat peristiwa tersebut. Peristiwa yang sempat saya jalani hingga usia dewasa.
"Kalau rumah kite deket sama sungai Cisadane, gue suruh lo pada mandi di sana, Neng," ujar Nyak-nya kawan saya.
Wah, saya bisa bayangkan keseruan mandi di sungai tersebut. Ternyata tradisi tersebut masih ada sampai sekarang. Dilakukan menjelang datangnya bulan suci Ramadan. Kecuali Ramadan tahun ini. Karena adanya Wabah Corona.
Tradisi ini menjadi kearifan lokal kota Tangerang yang terjaga kelestariannya sampai saat ini. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H