Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Antara Aku, Bapak dan Es Krim Rasa Cokelat

7 Juli 2019   03:49 Diperbarui: 7 Juli 2019   06:26 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image foto by ediblecommunities.com

Ketika aku kecil, aku pernah menginginkan sesuatu sampai terbawa mimpi. Sesuatu itu adalah es krim. Jajanan yang menurutku paling mewah. Sebab saat itu yang biasa kulihat jajan es krim adalah anak-anak komplek. Anak seorang kuli yang tinggal di perkampungan sepertiku mana pernah jajan es krim seperti itu. Es krim yang iklannya biasa kami  lihat di televisi. Begitu juga dengan teman-teman dilingkungan tempat tinggalku. 

"Sayang-sayang uangnya.," dalih para ibu tersebut.

Sampai akhirnya aku berkata kepada ibu. "Bu, aku boleh beli es krim?"

"Ya besok kalau tukangnya lewat ibu panggil. Ini kan sudah sore," sahut ibu. 

Es krim yang ibu maksud adalah es tung-tung yang biasa aku beli. Tukang es keliling. Ibu bilang itu es krim juga namanya. Cuma es krim keliling.

"Bukan es krim itu, Bu. Es krim yang aku lihat di tv."

Ibu menoleh. Tersenyum padaku. Lalu memelukku dengan penuh kasih. 

"Kalau es krim seperti itu biar bapak yang beli. Nanti ibu bilang sama bapak. Kamu suka rasa apa?"

Wah, betapa senangnya hatiku karena bakal merasakan es krim seperti yang aku lihat di televisi.

"Bilang sama bapak ya, Bu. Aku mau es krim rasa cokelat yang di mangkuk dan ada sendoknya itu."

Ibu tersenyum sambil menuntunku ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangan karena habis bermain di luar. Setelah itu ibu menyiapkan makanan untukku. Aku makan sambil menonton televisi. Sedangkan ibu mengurus adikku yang masih menyusui. Itu rutinitas kami sambil menunggu bapak pulang.

Esok harinya apa yang ibu katakan benar adanya. Bapak pulang membawa es krim cup rasa cokelat yang kuinginkan. Betapa senangnya hatiku.

"Kamu suka?" tanya bapak.

"Iya, Pak. Suka banget," kataku.

Bapak tersenyum.

"Besok bapak belikan lagi. Doakan bapak sehat selalu biar bisa kerja terus ya, Nak."

Aku mengangguk sambil menikmati es krim yang dibelikan oleh bapak. Sejak itu setiap pulang kerja bapak selalu membawa es krim kesukaanku.

Sampai suatu ketika bapak jatuh sakit sehingga tidak berangkat kerja. Bapak memanggilku dari atas pembaringan.

"Iya, Pak. Ada apa?" tanyaku mendekati pembaringan bapak.

"Ini kamu beli sendiri es krimnya ya? Kamu bisa naik sepeda ke toko Baba Ong. Bapak biasa membelinya di sana. Kamu bisa pilih sendiri kalau bosan rasa cokelat," kata bapak sambil menyodorkan lembaran uang kepadaku.

Hati kecilku jadi terharu melihat perhatian bapak. Aku tahu kondisi kami susah tetapi bapak berusaha menyenangkan anaknya. Pun dalam kondisi sakit seperti ini.

"Enggak usahlah, Pak. Uangnya untuk beli obat bapak saja. Nanti saja kalau bapak sudah kerja baru beli es krim lagi," sahutku.

Tetapi bapak menolak uang yang kukembalikan.

"Simpan saja uangnya untuk kamu beli es krim selama bapak belum bekerja lagi."

Kalau sudah begini bisa apa aku selain menurut. Maka begitulah, ketika pulang bersepeda sore hari aku mampir ke toko Baba Ong untuk membeli es krim. Lalu menikmati kelezatan es krim tersebut sambil duduk di dekat pembaringan bapak.

Bapak mengusap-usap kepalaku sambil tersenyum. 

"Semoga kamu bisa mencicipi es krim yang enak-enak di dunia meski tanpa bapak."

Aku hanya mengangguk sambil terus menikmati es krim di tangan ini. Tak memiliki firasat apa-apa. 

Ternyata itu merupakan kebersamaan terakhirku dengan bapak. Esok harinya aku terbangun karena mendengar suara tangis ibu memanggil-manggil bapak. Rupanya bapak muntah darah dan ibu belum sempat berbuat apa-apa, bapak sudah terbujur kaku. Aku kehilangan bapak saat masih sekolah dasar. Kehilangan sosok yang rajin membawakan es krim untukku.

Bertahun-tahun aku lupa rasanya es krim. Sibuk belajar dan membantu ibu berjualan. Setiap kali timbul keinginan membeli es krim, aku teringat bapak. Sehingga tidak jadi membelinya.

Selain itu aku kasihan melihat ibu yang harus berjualan sambil menggendong adik. Daripada uang pemberian ibu kubelikan es krim lebih baik kutabung. Suatu saat pasti berguna.

Benar saja. Ketika takdir membawaku terbang ke negeri pizza melalui bea siswa pelajar berprestasi. Uang tabungan tersebut bermanfaat untuk mengurus segala keperluan.

Kini aku sedang duduk manis di sebuah cafe di Italia. A cup gelato yang kupesan menjadi pengobat rindu kepada bapak dan es krim. 

"Pak, harapan bapak didengar Tuhan. Aku sekarang sedang menikmati es krim gelato di negeri asalnya, Italia. Sayang bapak sudah  tak di sini. Terima kasih ya pak atas doa dan harapan yang telah diberikan," bisikku. (EP)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun