"Enggak usahlah, Pak. Uangnya untuk beli obat bapak saja. Nanti saja kalau bapak sudah kerja baru beli es krim lagi,"Â sahutku.
Tetapi bapak menolak uang yang kukembalikan.
"Simpan saja uangnya untuk kamu beli es krim selama bapak belum bekerja lagi."
Kalau sudah begini bisa apa aku selain menurut. Maka begitulah, ketika pulang bersepeda sore hari aku mampir ke toko Baba Ong untuk membeli es krim. Lalu menikmati kelezatan es krim tersebut sambil duduk di dekat pembaringan bapak.
Bapak mengusap-usap kepalaku sambil tersenyum.Â
"Semoga kamu bisa mencicipi es krim yang enak-enak di dunia meski tanpa bapak."
Aku hanya mengangguk sambil terus menikmati es krim di tangan ini. Tak memiliki firasat apa-apa.Â
Ternyata itu merupakan kebersamaan terakhirku dengan bapak. Esok harinya aku terbangun karena mendengar suara tangis ibu memanggil-manggil bapak. Rupanya bapak muntah darah dan ibu belum sempat berbuat apa-apa, bapak sudah terbujur kaku. Aku kehilangan bapak saat masih sekolah dasar. Kehilangan sosok yang rajin membawakan es krim untukku.
Bertahun-tahun aku lupa rasanya es krim. Sibuk belajar dan membantu ibu berjualan. Setiap kali timbul keinginan membeli es krim, aku teringat bapak. Sehingga tidak jadi membelinya.
Selain itu aku kasihan melihat ibu yang harus berjualan sambil menggendong adik. Daripada uang pemberian ibu kubelikan es krim lebih baik kutabung. Suatu saat pasti berguna.
Benar saja. Ketika takdir membawaku terbang ke negeri pizza melalui bea siswa pelajar berprestasi. Uang tabungan tersebut bermanfaat untuk mengurus segala keperluan.