Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelisik Stigma "Biaya Daftar Nikah di KUA Mahal!"

10 Juli 2020   15:01 Diperbarui: 11 Juli 2020   13:18 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN via KOMPAS.com)

Di antara pengaduan masyarakat tentang KUA yang sering sampai kepada penulis adalah soal membengkaknya biaya daftar nikah di KUA. 

Mereka membandingkan antara tarif yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Agama, yakni sebesar Rp 600 ribu per-peristiwa nikah/rujuk, dengan fakta di lapangan yang berkisar antara Rp. 1 Juta s.d Rp 2 Juta. Bahkan, boleh jadi lebih dari itu.

Melalui tulisan singkat ini, penulis ingin mendudukkan persoalan biaya daftar nikah tersebut secara proporsional, sehingga masyarakat pengguna layanan KUA menjadi jelas dibuatnya. 

Karena setelah ditelisik, setidaknya ada dua mispersepsi di masyarakat soal biaya nikah yang pada akhirnya mengkonstruksi stigma mahalnya biaya daftar nikah di KUA.

***

Tarif PNBP Nikah versus "Pekah" 

Menyimak pengaduan masyarakat sebagaimana diceritakan di atas, Penulis menjadi mafhum, pengaduan itu bersumber dari mispersepsi mereka yang menganggap sama antara tarif PNBP Nikah dengan Pekah. 

Sebelumnya, penting diluruskan di sini bahwa tarif PNBP Nikah yang Rp 600 ribu tersebut bukan biaya pencatatan nikah, melainkan biaya transportasi dan jasa profesi penghulu dalam hal nikah/rujuk dilaksanakan di luar KUA.

Sebab, merujuk Pasal 5:(1) PP No.59/2018, setiap warga negara yang melaksanakan nikah/rujuk, baik di KUA Kecamatan atau di luar KUA Kecamatan sama-sama tidak dikenakan biaya pencatatan nikah. 

Sehingga kalau pelaksanaan nikah/rujuknya itu di KUA pada hari dan jam kerja, maka yang bersangkutan tidak dikenakan tarif PNBP Nikah sama sekali.

Sedangkan Pekah awalnya adalah istilah yang digunakan oleh UU No. 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk untuk menyebut "ongkos nikah" yang diberikan oleh orang yang hendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah/PPN (lihat Paragraf 5 Penjelasan Umum UU No.22/1946). 

Namun, kini Pekah lazim diartikan sebagai biaya yang dibayarkan oleh calon mempelai kepada Amil (sering juga disebut dengan istilah "Pembantu Pegawai Pencatat Nikah"/P3N) untuk membantu mengurus proses pencatatan pernikahan mereka di KUA, mulai dari hulu (pendaftaran) sampai ke hilirnya (penyerahan Buku Nikah).

Dalam konteks tersebut, amil berkedudukan sebagai "wakil" atau "kuasa" dari calon mempelai yang menyewa jasanya. Boleh jadi, si penyewa jasa amil tersebut tidak memiliki keleluasaan waktu untuk mengurus berkas nikahnya, atau tidak mau repot mengurus berkas nikahnya itu ke desa/kelurahan (bahkan, kecamatan) dan kemudian mendaftarkannya ke KUA. 

Dan memang, keberadaan "wakil" calon mempelai untuk mendaftarkan nikah tersebut tidak terlarang, karena menurut Pasal 4 PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang memberitahukan kehendak nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah adalah: calon mempelai, atau oleh orangtua atau wakilnya.

Amil: Pegawai KUA?

Mispersepsi lain yang juga timbul di kalangan masyarakat adalah soal kedudukan amil yang dianggap sebagai pegawai KUA. Sehingga saat amil menerima pekah dari warga yang menyewa jasanya itu diartikan sebagai pungutan liar (pungli) oleh pihak KUA, karena nominal pekah yang diterima amil tersebut melebihi tarif PNBP Nikah yang telah ditentukan dalam regulasi. 

Padahal, amil adalah pegawai desa/kelurahan yang membantu warga di dusunnya untuk mengurus berkas persyaratan nikah dan mendaftarkannya ke KUA Kecamatan setempat. 

Bahkan, di beberapa tempat, selain membantu mengurus pernikahan, amil juga diberi tugas tambahan lainnya, seperti pemulasaraan jenazah dan penghimpunan serta pendistribusian zakat fitrah.

Adanya salah tanggap di atas bisa dimaklumi, karena tugas dan fungsi Amil sebagai P3N banyak bersentuhan dengan KUA. Terlebih lagi, dulu, sebelum terbitnya Instruksi Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/113/2009 tentang Penggunaan Dana PNBP NR dan Penataan P3N, amil sebagai P3N diangkat dan di-SK-kan oleh Kementerian Agama (Kemenag) atas dasar usulan dari Kepala Desa/Lurah kepada Kepala KUA. 

Namun, setelah Instruksi tersebut terbit dan kemudian dikukuhkan dengan Instruksi dari Dirjen yang sama No.DJ.II/1/2015 tentang Pengangkatan P3N, maka yang diangkat oleh Kemenag itu hanya P3N untuk KUA dengan Tipologi D.1 (KUA yang secara geografis berada pada daerah terdalam, terluar, dan daerah perbatasan di daratan) dan D.2 (KUA yang secara geografis berada pada daerah terdalam, terluar, dan daerah perbatasan di kepulauan). 

Sedangkan untuk P3N di wilayah KUA dengan Tipologi A, B, dan C seperti di Jawa Barat ini tidak lagi diangkat dan di-SK-kan oleh Kemenag, melainkan oleh Kepala Desa/Lurah.  

***

Penjelasan soal mispersepsi di atas menjadi penting disampaikan kepada masyarakat secara luas, agar KUA tidak selalu dijadikan "kambing hitam" membengkaknya biaya nikah. 

Karena hasil penelisikan Penulis di lapangan, biaya daftar nikah yang melebihi Rp 600 ribu itu adalah Pekah yang diberikan calon mempelai kepada Amil (bukan kepada Pegawai KUA !) untuk membantu mengurus pendaftaran nikahnya di KUA. 

Dan hal tersebut wajar saja bila diminta oleh amil, mengingat jasanya disewa oleh calon mempelai. Namun, bila ada oknum pegawai KUA yang mengutip melebihi tarif PNBP Nikah maka jelas hal itu adalah pungli. Masyarakat tidak perlu sungkan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib/Satgas Saber Pungli setempat.

'Alaa kulli haal, pada akhirnya, semua itu berpulang kepada pilihan calon mempelai, apakah mau mengurus berkas nikahnya sendiri ataukah mau menggunakan jasa amil? Tentu, kedua pilihan tersebut ada plus-minusnya. 

Bila mau mengurus sendiri, sisi plusnya, ia bisa membayar flat sesuai tarif PNBP Nikah, yakni Rp 600 ribu. Namun, minusnya ia harus bisa meluangkan waktu yang cukup untuk mengurus berkas nikah di sela-sela kesibukan aktivitasnya. 

Tapi kini, dengan adanya pendaftaran nikah secara daring (online) melalui simkah.kemenag.go.id, waktu yang diperlukan untuk mendaftar nikah akan jauh lebih efisien daripada sebelumnya. Karena bisa dilakukan melalui gadget dari mana saja dan kapan saja. 

Namun, bila ia tidak mau repot mengurus berkas nikah ke sana ke mari, maka dipersilahkan menggunakan jasa amil. Tapi ia harus paham konsekuensi logisnya, yaitu harus rela merogoh koceknya lebih dalam.

Sebab selain membayar tarif PNBP Nikah, ia juga harus membayar jasa amil yang disewanya itu sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh keduanya. Wallahu a'lam bis showab.

Deni Firman Nurhakim
Kepala KUA Kecamatan Cilebar / Sekjen. Asosiasi Penghulu Republik Indonesia Kabupaten Karawang

***

Referensi:
UU Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk;
UU Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya UU RI Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk;
UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
PP Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama;
PMA Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan;
Keputusan Dirjen. Bimas Islam No. 473 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencatatan Pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun