Jadi, CSR adalah komitmen perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan. Definisi CSR merujuk pada definisi yang disampaikan European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam Haniffa & Cooke, 2005 dan Sayekti & Wondabio, 2007)
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Pengungkapan secara kontekstual adalah bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara teknis pengungkapan adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen (1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil
aktivitas suatu unit usaha (Ghozali & Chariri, 2007).
Tujuan pengungkapan secara umum adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda (Suwardjono, 2005). Security Exchange Committee (SEC) menuntut lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan publik. Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan kuantitatif, baik yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela) (Chrismawati, 2007).
Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi produk dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu) (Nurlela & Islahudin, 2008).
REFLEKSI
Sebegitu gamblang dan jelas tentang arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah entitas ekonomi. Bukan hanya teori tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti dari duni bisnis di berbagai Negara. Tetapi, sayangnya di Indonesia bisnis dan aktivitas ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi, pemberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak pada profit masih belum menjadi perhatian. Bahkan, telah banyak instrumen hukum dan peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat mengikat dan masih bersifat sukarela. Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi hanya bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.
Dari banyak sumber dan analisis penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi meningkatkan investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan utama. Pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen dan tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan energy ramah lingkungan masih tidak dipertimbangkan. Akhirnya, banyak investor dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya hanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bukan hanya tidak memperhatikan manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena melakukan eksploitasi manusia sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen dengan produk yang tidak bermutu. Perlikau menghancurkan alam dengan alasan sumberdaya alam yang melimpah serta penanganan limbah yang serampangan menjadikan planet bumi sebagai tempat tinggal manusia satu-satunya rusak dengan sangat cepat.
Bisnis atau aktivitas ekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana. Konsep bisnis triple bottom line menawarkan metoda dan cara berbisnis yang arif dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan. Walau telah diterapkan diberbagai Negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di Asia belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di Indonesia. Bahkan, masih cenderung menjadi arus pinggiran yang sering kali diremehkan dan ditertawakan oleh pemangku kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil kebijakan seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor maupun industrialis, bahkan oleh kalangan akademisi sendiri. Pemangku kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan keuntungan, walau bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan satu-satunya tujuan berusaha dan pembangunan ekonominya.
Sosialisasi, edukasi, dan advokasi harus terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya bumi sebagai satu-satunya tempat manusia bisa hidup. Kerja keras dari setiap orang yang telah sadar untuk menjaga lestarinya bumi demi lestarinya kehidupan, memanusiakan manusia sebagai makhluk yang berdaya dan bermartabat, serta entitas ekonomi yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk terus dan terus mengabarkan kebenaran walau seringkali pahit dan menyakitkan. Pekerjaan berat menanti di depan kita, tetapi kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat, dan usaya yang bertanggung jawab lagi bijaksana harus dikabarkan.