Teori stakeholder dalam pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan kinerja dan mencapai laba.
Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007).
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder seperti sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees, customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts, 1992).
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007).
Roberts (1992) memaparkan bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility. Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali & Chariri, 2007).
Teori stakeholder secara eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk., 1995).
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen dengan principal. Principal adalah pemegang saham atau investor sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh principal yaitu manajemen untuk mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik keagenan antara principal dan agen. Teori agensi ini muncul untuk mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Di dalam teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak (principal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak ini agen berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan principal (Jensen & Meckling, 1976).
Principal ingin mengetahui segala informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan pertanggungjawaban pada agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal sebagai landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik. Manajemen seringkali melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu dengan memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings management).
Tindakan manajemen laba ini dapat menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi yang salah. Gray, dkk., (1995) berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/ corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor. Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.