Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Embun di Ujung Dedaunan (Perempuan Berkerudung Jingga)

23 Januari 2022   09:18 Diperbarui: 23 Januari 2022   09:23 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Embun di Ujung Dedaunan

; Perempuan Berkerudung Jingga

(A. Deni Saputra)

 

 

Cahaya itu belum memantulkan bayang hari ini, hanya tampak bulan separuh sisa tadi malam. Aku tarik selimut kembali setelah kuintip di balik jendela, masih berembun.

"Sena, apakah tidak bekerja hari ini?"

Ibu mengetuk pintu kamar. Setelah tak ada sahutan dariku, Ibu membuka pintunya.

"Sen, bangun. Sebelum bekerja bisa antar Ibu ke rumah Tante Tasia?"

"Baik, Bu," jawabku.

Padahal aku masih butuh kehangatan di ruang yang tak ber-AC. Kupaksa raga ini untuk bisa beranjak dari atas kasur. Kota Bogor yang selalu diguyur hujan deras setiap hari, tetapi kemarin hanya rintik syahdu yang menemani.

"Bu, aku tunggu di depan, ya." Aku ambil sepotong roti yang sudah disediakan Ibu di atas meja.

Udara segar yang kuhirup pagi ini dengan tetesan embun di ujung dedauanan menambah aroma kesejukan.

"Yuk, berangkat!" ajak Ibu mengejutkanku di saat kumemejamkan mata untuk menikmati pagi.

Sesampainya di rumah Tante Tasia, Ibu mengenalkanku pada seorang perempuan berkerudung jingga. Perempuan bernama Naura itu adalah adik dari Tante Tasia. Paras cantik alami dan penampilan sederhana membuat jantungku berdebar.

"Sena." Aku mengulurkan tanganku untuk memperkenalkan diri. Naura meladeni jabatan tanganku dengan hangat,

"Naura."

"Ia calon diplomat loh," kata Tante Tasia menjelaskan sosok Naura.

"Hebat Naura, cantik, pintar, baik, sederhana pula." Sahut Ibu dengan senyum merekah.

Sejak awal Ibu dan Tante Tasia sengaja memperkenalkanku dengan Naura. Perempuan yang berkerudung jingga, sederhana tetapi elegan. Alami tetapi berisi, sosok perempuan idaman menjadi pasangan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Suasana sejuk, embun yang masih menggantung, membuat hati ini beku setelah aku melihat Naura.

Perkenalan di rumah Tante Tasia aku lanjutkan dengan usah untuk menghubungi Naura. Aku beranikan diri meneleponnya untuk mengajak bertemu.

"Besok aku ke kampus, boleh setelah selesai kuliah," kata Naura.

"Aku jemput ya," ucapku.

Pagi yang kutunggu telah tiba. Ibu melihat tingkahku yang tak biasa. Aku bersemangat bangun, merapikan diri dengan wajah berseri. Aku lekas berpamitan untuk menjemput Naura. Ibu tak banyak bertanya, ia memberikan kunci mobilnya untuk dibawa.

"Tidak usah bawa motor hari ini," kata Ibu.

 Di kampus aku ceritakan perempuan berkerudung jingga itu kepada Rino dan Alvin. Mereka penasaran dengan mahasiswi jurusan Hubungan Internasional yang cantik dan sederhana. Sebelum aku menjemput Naura untuk pergi jalan-jalan, sengaja ku ajak berkenalan dengan teman-temanku. Mereka sepakat bahwa apa yang aku sampaikan sesuai dengan kenyataan.

Aku dan Naura pergi untuk makan siang. Naura tampak biasa saja ketika aku bersikap berlebihan. Apakah ia tak ada rasa terhadapku? Pertanyaanku terkuak dalam hati. Namun, baru bertemu dua kali sepertinya belum cukup untuk menumbuhkan rasa ini. Aku terlalu percaya diri untuk bisa mendapatkan hatinya.

"Nau, kamu akan menyelesaikan kuliah dua semester lagi. Apa rencanamu ke depannya?" Tanyaku untuk menjawab penasaranku.

"Setelah lulus aku akan bekerja pastinya, menikah, dan memiliki keluarga," jawab Naura.

"Untuk rencana kedua, apakah sudah ..."

Naura mengangkat telepon sebelum pertanyaanku selesai. Wajah bahagia tampak dipancarkan setelah ia menutup telepon genggamnya.

"Telepon dari siapa?" Rasa penasaran tak bisa dipungkiri.

"Sebentar lagi juga kamu akan tahu," jawab Naura.

Seorang laki-laki berjas tetapi masih muda menghampiri meja kami. Naura tersenyum lebar dan dibalas senyuman laki-laki itu. Deg! Jantungku terkejut dengan pemandangan di depan mataku.

"Sen, kenalkan ini Nirman, kekasihku."

Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Ingin rasanya langsung meninggalkan meja itu. Mengapa Naura tidak menceritakan dirinya sejak awal. Mengapa Ibu dan Tante Tasia tidak mengatakan apa-apa tentang Naura.

"Aku belum memperkenalkan Nirman pada keluargaku."

Ah patah hati sebelum terbangun. Hilang kembali rasa semangatku. Embun pun mulai mentes kembali, membekukan hati ini. Cinta ini. Perempuan berkerudung jingga itu milik Nirman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun