"Aku jemput ya," ucapku.
Pagi yang kutunggu telah tiba. Ibu melihat tingkahku yang tak biasa. Aku bersemangat bangun, merapikan diri dengan wajah berseri. Aku lekas berpamitan untuk menjemput Naura. Ibu tak banyak bertanya, ia memberikan kunci mobilnya untuk dibawa.
"Tidak usah bawa motor hari ini," kata Ibu.
 Di kampus aku ceritakan perempuan berkerudung jingga itu kepada Rino dan Alvin. Mereka penasaran dengan mahasiswi jurusan Hubungan Internasional yang cantik dan sederhana. Sebelum aku menjemput Naura untuk pergi jalan-jalan, sengaja ku ajak berkenalan dengan teman-temanku. Mereka sepakat bahwa apa yang aku sampaikan sesuai dengan kenyataan.
Aku dan Naura pergi untuk makan siang. Naura tampak biasa saja ketika aku bersikap berlebihan. Apakah ia tak ada rasa terhadapku? Pertanyaanku terkuak dalam hati. Namun, baru bertemu dua kali sepertinya belum cukup untuk menumbuhkan rasa ini. Aku terlalu percaya diri untuk bisa mendapatkan hatinya.
"Nau, kamu akan menyelesaikan kuliah dua semester lagi. Apa rencanamu ke depannya?" Tanyaku untuk menjawab penasaranku.
"Setelah lulus aku akan bekerja pastinya, menikah, dan memiliki keluarga," jawab Naura.
"Untuk rencana kedua, apakah sudah ..."
Naura mengangkat telepon sebelum pertanyaanku selesai. Wajah bahagia tampak dipancarkan setelah ia menutup telepon genggamnya.
"Telepon dari siapa?" Rasa penasaran tak bisa dipungkiri.
"Sebentar lagi juga kamu akan tahu," jawab Naura.