Setelah beberapa hari akhirnya sudah tiba Teweraut melahirkan anaknya, namun ternyata ia mengalami kesulitan untuk melahirkan anaknya. Sehingga ia harus meninggal tanpa sempat melahirkan anak dari pernikahannya dengan Akatpits. Hampir semua orang bersedih dengan kematian Teweraut dengan calon anaknya. Bahkan nDesman, ayah Teweraut mengurung diri di rumah adat karena menyesal menikahkan anaknya dengan Akatpits. Dua bulan kemudian nDesman menyusul kematian putrid kesayangannya, Teweraut.
Analisis Namaku Teweraut sebagai Cerminan Masyarakat Asmat
Setelah kita membaca novel namaku Teweraut karangan Ani Sekarningsih ini, kita akan mengetahui bagaimana sebenarnya gambar kehidupan suku Asmat di Irian Jaya. Ternyata ada banyak sekali kehidupan suku Asmat yang dijadikan objek oleh Ani Sekarningsih dalam novel namaku Teweraut ini. Banyak sekali penggambaran ritual-ritual yang terdapat pada suku Asmat dan menghiasi di dalam novel ini, antara lain:
Ritual Kelahiran Anak
Suku Asmat memiliki ritual unik saat proses kelahiran anak. Sebelum proses persalinan, nDiwi berminggu-minggu menjauhi Endew, karena dinilai tabu seorang suami berada dekat istrinya sewaktu persalinan dan masa nifas, yang dapat mengundang bencana bagi dirinya apabila dilanggar.Â
Nantinya nDiwi akan pergi ke ceserasen, yaitu sepetak hutan yang dikeramatkan, untuk memohon kepada leluhur bagi keselamatan Endew, dan agar anak yang dilahirkan mendapat titisan ndat yumus (roh) yang baik. Nantinya anak yang dilahirkan dilarang meminum air, pantang memakan buah, binatang buruan atau ikan jenis tertentu yang berada di dekat ceserasen.
Setelah beberapa hari bayi itu dilahirkan, Endew akan menyerahkan bayinya ke dalam pengamatan nDamero, seorang dukun yang berhubungan dengan dunia para leluhur. Saat itu akan dilakukan prosesi ritual dorwet, yakni pemberian nama bagi bayi berdasarkan suatu kejadian saat itu.
Riatual Pesta mBis
Dalam ritual upacara mbis ini, panglima perang suku akan mengundang para lelaki untuk mengawali pesta besar tersebut. Mereka masing-masing serempak menghias diri dengan kapur, tanah merah dan jelaga serta mengenakan pakaian kebesaran prajurit. Selanjutnya, perahu-perahu dikapuru dan dihias. Kemudian bunyi tiupan lokan dan bumbung bamboo mengantarkan para lelaki berangkat ke hutan untuk menetapkan batang taou yang akan dijadikan patung tonggak leluhur.
Tanpa henti orang memukul-mukul gendering, menari, menyanyi daiso (nyanyian keramat, berupa rintihan kehilangan) membaur dengan lengkingan alat tiup yang menyayat-nyayat langit. Nyanyian daiso mengandung tenaga gaib. Setelah para lelaki pergi ke hutan. Di bawah pimpinan casema cowut, wanita tua yang menguasai ilmu perang dan hokum adat inilah acara menabuh gendering dan menari diteruskan sampai para leluhur pulang.
Sementara itu para lelaki yang pergi ke hutan, dibagi menjadi 3 kelompok. Sebagian berburu dan mencari daun-daun sagu muda untuk dihiaskan pada batang pohon calon patung mbis yang telah disepakati bersama.Â