Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Prajurit

19 September 2021   14:44 Diperbarui: 19 September 2021   14:45 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PRAJURIT

 

"Sudahlah bu, jangan menangisi ayah" kataku ketika melihat ibu melinangkan air matanya dengan pilu.

Aku bukannya membenci ayah tetapi aku tidak menginginkan ayah menyakiti ibu. Karena semenjak ayah tidak pernah pulang, ibu selalu mengurung diri di kamar bahkan ia setiap hari tak henti-hentinya berdoa agar ayah kembali. Aku selalu membesarkan hati ibu. Aku pun terkadang tidak tahan melihat penderitaan ibu.

Sekarang ayah kembali dengan berseragam TNI. Katanya, dia sudah menjadi anggota TNI yang menjadi aparat pemerintahan. Setahu aku, ayah hanya pergi untuk mencari nafkah, itu pun kata ibuku. Entahlah, kebohongan apa lagi yang akan ayah utarakan untuk menyakiti hati ibu. Begitu bahagianya hati ibu dengan melihat kedatangan ayah ke rumah. Segala sesuatunya dipersiapkan selayaknya isteri melayani suami. Memang aku akui, ayah masih menjadi suami ibuku. Tetapi apa tidak salah jika ayah tiba-tiba datang malam hari dan tidak kemungkinan akan pergi lagi pagi hari.

"Ibu senang ayah kembali. Lihat Rino, selalu menanyakan keadaanmu."

"Maafkan ayah bu. Ini 'kan demi bangsa dan negara. Ayah harus bertugas ke sana kemari sesuai perintah." Ayah bergelumit.

Ya, seperti yang aku kira ayah tiba-tiba harus pergi lagi setelah mendapatkan panggilan dari telepon genggamnya. Mungkin itu dari isteri keduanya, pikirku. Ibu begitu mempercayainya. Apa ibu tidak mencurigainya kalau-kalau ayah main dengan perempuan lain. Malah ibu begitu sopan mengantar ayah untuk pergi ke depan rumah.

"Rino, jaga ibumu baik-baik." Pesannya.

Selalu. Aku selalu menjaga ibu dari kebohonganmu ayah. Aku selalu menghapus air mata ibu ketika ibu harus mengenang bualan ayah.

"Ayah kapan pulang?"

"Entahlah."

Sudah aku duga jawabannya. Dengan alasan bahwa ayah harus dikirim ke luar negeri untuk tugas tertentu. Aku percaya pada ayah. Ayah akan pergi ke luar negeri bukan untuk bertugas melainkan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Jalan-jalan ke New York, Paris, mungkin ke ujung Afrika. Aku sudah besar,  jadi aku tahu gerak-gerik laki-laki seperti ayah. Meski kekayaan yang kami miliki berlimpah tetapi keutuhan keluarga tidak ada, maka tidak akan menjamin kebahagiaanku ataupun ibu.

"Sudahlah bu. Ibu menunggu apa lagi? Ceraikanlah ayah."

Suatu waktu aku mengatakan seperti itu.

"Anak durhaka."

Ibu malah memukulku. Dan aku pun beradu argumen dengan ibu mengenai ayah. Kata ibu, meski ayah tidak pernah pulang, ibu akan seta menunggunya.

"Dengan air mata?"

"Ya. Sampai mati."

Dasar keras kepala. Apa ibu tidak sadar. Meski aku punya ayah tetapi aku merasakan seperti tidak punya ayah. Seperti ayah sudah mati saja. Begitu pun dengan keadaan ibu. Ibu tidak pernah merasakan kepuasan lahir bathin. Apa ibu akan selamanya seperti itu?

Ibu memiliki kegiatan mengurus sebuah usaha mengenai garmen. Setiap hari ibu mencoba untuk mengisi kekosongan waktunya. Hanya itulah yang selalu mengobati kekhawatiran diriku mengenai ibu. Jadi ibu tidak akan selalu mengingat ayah yang biadab. Di rumah pun aku jarang berbincang dengan ibu. Semenjak aku menyuruh ibu untuk menceraikan ayah. Aku sudah meminta maaf dan bersujud pada ibu. Tetapi sikap ibu tetap berbeda denganku.

Mungkin perkataanku terlalu menyakitkan untuk ibu. Aku tidak habis pikir, apa yang diharapkan ibu dari ayah. Dari kecil hingga saat ini aku tidak pernah merasakan perubahan dari ayah. Ayah sama seperti dulu. Tidak pernah pulang, sekali pulang hanya semalam saja. Aku mencoba untuk mencari tahu tentang kegiatan ayah di luar rumah tetapi aku selalu mengalami kegagalan. Karena aku tidak pernah tahu pekerjaan ayah dan kalau aku menanyakan hal itu kepada ibu, ibu selalu mengatakan ayah sedang mencari nafkah untuk kita.

"Bu, aku ingin ibu bahagia. Aku ingin tahu apa pekerjaan ayah hingga tidak pernah pulang."

"Jika kamu ingin ibu bahagia, jangan menanyakan apa-apa tentang ayah. Kamu diam saja. Ayah adalah ayah terbaik untuk kita."

Ayah terbaik? Banyak yang dirahasiakan ibu tentang ayah. Mengapa aku tidak boleh tahu keadaan ayahku sendiri. Seperti misteri yang harus aku ungkap. Jangan-jangan ayah mempunyai isteri kedua tetapi ibu dilarang ayah untuk tidak menceritakannya padaku. Ah, selalu saja pikiran negatif yang keluar dari kepalaku tentang ayah.

***

Di sudut ruang seorang tentara sedang terdiam dengan pandangan kosong kearah luar jendela. Melihat teman-temannya sedang beraktivitas pagi. Lari dengan senyuman, baris berbaris, atau bercanda dengan tentara lainnya.

"Marko!!"

"Marko!! Siap di tempat!!"

Tentara itu pun langsung berdiri tegap menghadap tentara yang memanggilnya.

"Sialan loh. Ada apa?"

"Kamu dipanggil atasan. Sekarang juga harus menghadap."

Marko langsung merapikan seragamnya untuk menghadap atasannya dengan mengeluarkan semua kebingungan dan lamunannya. Mengikat tali sepatunya, meluruskan penutup kepalanya, dan melangkah tegap kedua kakinya menuju ruang komandan.

"Marko, Anda siapkan seluruh pasukan yang akan diberangkatkan ke Irak besok pagi."

"Baik, pak!"

Sebagai anggota TNI kami harus siap untuk ditugaskan di mana saja. Karena ini sudah menjadi tanggung jawab dan resiko kami sebagai pembela bangsa. Kelompok TNI kami selalu memlihara kesiapan parjurit untuk siap diberangkatkan kapan saja. Marko adalah salah satu dari prajurit itu. Pola penggelaran Marko merupakan pasukan TNI yang disebut PPRC yaitu Pasukan Pemukul Reaksi Cepat. Jadi ketika Irak sedang gencar-gencarnya ditindas Amerika, maka kami harus siap turun untuk membantunya.

"Semuanya cek! Dan nanti siang kumpulkan semua anggota di lapangan."

"Baik, pak!"

"Anda hubungi Yonif Linud 328 sekarang juga. Tanyakan kesiapan pesawat yang akan membawa kalian besok."

"Baik, pak!"

***

Malam pun mengundang rembulan untuk bertamu. Disuguhi suasana dingin yang mengerutkan kulit-kulitku. Aku tarik selimut tebal untuk meluruskan bulu-bulu romaku yang sempat kedinginan pula. Namun, aku seperti mendengar lekikan pintu yang terbuka dari ruang kamar ibu. Lalu aku pun keluar kamar secara diam-diam. Tetapi pintu kamar ibu tertutup dan lampu neonnya pun meredup.

Sudah dua minggu ayah pergi dari hitungan waktu ketika dia menengok ibu terakhir kali. Tidak ada kabarnya sama sekali. Yang aku lihat kekhawatiran ibu tentang ayah. Murung dan berdiam diri.

"Ibu, mengapa ibu selalu menangisi hal yang sudah biasa?"

"Apa maksud kamu, Rino?"

"Iya, kita 'kan sudah biasa ditinggal ayah, mengapa ibu seperti yang baru pertama kali ditinggal ayah?"

"Ah kamu tidak tahu apa-apa."

"Oleh sebab itu ibu, apa yang sebenarnya terjadi pada ayah?"

"Nanti juga kamu akan tahu."

Ya, hanya sepenggal pembicaraan yang sudah bosan aku perbincangkan dengan ibu. Yaitu mengenai masalah ayah. Sudah dua minggu pula ibu tidak mengurusi garmennya. Ibu hanya diam di kamar dengan memandangi foto ayah. Jatuh bangun aku mencoba menghibur ibu dan aku mencari tahu tentang ayah. Nihil. Aku seperti anak kecil yang baru bisa berjalan sendiri. Menghampiri susu di balik kutang ibu jika aku haus. Dan ibu pun dia saja.  Aku tidak tahu apa-apa.  

"Rino, apa ibu Royani sedang sakit? Kok tidak pernah kelihatan?"

"Tidak. Ibu sedang malas keluar rumah. Mungkin agak sedikit kelelahan, dia hanya butuh istirahat saja."

"Ayah kamu sekarang sedang tugas di mana lagi? Ya sudah salam saja buat ibu kamu. "

Bertugas? Apa mungkin para tetangga sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Apa ibu tidak malu jika orang-orang membicarakan tentang ayah yang jarang pulang?

Aku pandangi seisi rumahku. Dan aku ambil sebuah senjata api yang menjadi hiasan dinding rumahku. Begitu banyak koleksi ayah dalam hal persenjataan. Itu hanya sebagai hobi saja, kata ibu. Ayah selalu membeli senjata api yang unik. Ayah sangat menyukai hal-hal yang berbau tentara. Senjata Steyr Mannlicher MOD SSG 69 kaliber 7,62 x 51 mm tulisan di kertas yang berada di dekat senjata yang aku ambil tadi. Ayah sepertinya sangat hafal tentang senjata api. Apa mungkin benar ayah itu seorang TNI.

Aku pun ketiduran di atas kursi dengan memegangi senjata itu. Lepas landas pikiranku dalam dunia lain. Tergusur ruhku dari raga ini. Menembus alam mimpi yang penuh dengan keharuan. Mencipta naskah hidup yang akan aku perankan dalam mimpi. Aku menjadi seorang tentara. Berperang melawan diriku sendiri. Aku pun tertembak dan jasadku pun berlumur darah. Ibu hanya menangis begitu pun dengan ayah. "Ayah aku menyayangimu." Lalu ayah memelukku.

"Rino, bangun nak."

"Ibu?"

"Kamu bermimpi tentang ayah? Ibu tahu kamu sebenarnya mencintai ayahmu."

"Tidak. Aku sangat membencinya. Aku benci ayah"

Aku lari ke kamar dengan bantingan pintu. Tak pernah aku berbuat seperti itu di hadapan ibu. Lekas aku membuka lagi pintu kamar dan langsung memeluk ibu.

"Maafkan aku bu!"

Waktu menikam rasa. Rasa pun menjadi hampa bersimbah gelisah. Matahari dipaksa untuk turun dan bulan disuruh diam di balik awan. Malam pun begitu cepat datang dengan gelap yang membawa kisah. Duduk di depan jendela. Berhamburan angin malam saling dorong untuk memasuki kamarku. Dan aku dengar selentingan suara televisi yang memberitakan bahwa Amerika terus membordir rakyat Irak. Berita itu pun memberikan kabar bahwa Amerika sudah menguasai wilayah-wilayah vital di Irak. Dan entah apa lagi. Oh ya, kabar terakhir aku mendengar bahwa pasukan tentara Indonesia yang dikirim ke Irak telah terkepung dan terkena pemboman pasukan Amerika hinga tewas. Yang aku dengar kemudian hanya separuh bulan yang berteriak ingin bebas untuk menerangi malam.

"Skenario Amerika-Zionis lagi yang akan memenangi peperangan di Timur Tengah." Gumamku.

"Rino, kamu sudah tidur?"

"Masuk bu. Ada apa?"

Sepertinya ibu kelihatan gelisah dan berada di alam kecemasan. Wajahnya pucat.

"Ibu sakit?"

"Tidak nak. Ada yang ingin ibu bicarakan pada kamu. Ibu sudah tidak tahan lagi dengan rahasia yang ibu pendam tentang ayah. Kamu sudah besar dan akan memahami keadaan ayah sebenarnya. Tapi..."

"Tapi kenapa bu? Aku sudah punya firasat kalau ibu menyembunyikan sesuatu tentang ayah dariku sejak dulu. Ceritakanlah bu, aku sudah siap untuk mendengarkannya." Desakku.

Segerombolan angin yang masuk tadi tiba-tiba ke luar kamarku semuanya. Sepertinya mereka memahami suasana antara aku dan ibu di kamarku yang akan membicarakan hal penting tentang ayah. Namun ibu hanya diam. Tertunduk dan menangis.

"Maafkan aku, mas. Aku langgar sumpahmu."

"Ibu menangisi ayah lagi? Ibu mengharapkan ayah pulang tiba-tiba? Mengapa bu?"

"Ayahmu seorang tentara. Ayahmu adalah ayah terbaik dan ibu sudah berjanji pada ayahmu tidak akan menceritakan tentang dirinya kepadamu. Ayahmu takut sewaktu-waktu dia benar-benar tidak kembali ke rumah ini. Jadi kita sudah siap untuk ditinggalkan kalau ada apa-apa dalam tugasnya."

"Jadi...  Mengapa ibu merahasiakannya dariku?"

"Itu permintaan ayahmu dan ibu sudah berjanji. Tapi sekarang ibu tidak tahan lagi melihatmu membenci ayahmu sendiri."

"Lalu ayah?"

"Ayahmu rela dibenci anaknya sendiri dari pada menangis dalam pemakamannya nanti."

"Ayah..."

Dan ibu pun menceritakan semuanya tentang ayah. Aku pun terseguk menangisi penyesalan. Tak ada pertanyaan lagi untuk ibu. Aku tak patut membenci ayah. Ayahku seorang prajurit. Tegas dan bertanggung jawab. Benci pun melumer dari hatiku untuk ayah. Benci berubah warna menjadi cinta. Aku mengagumi ayah. Aku sangat menyayangi ayah.

"Pada perekrutan anggota satuan  Gegana* yang diadakan di Markas Brimob Indonesia ayahmu ikut daftar, ternyata ayah termasuk kriteria untuk menjadi seorang tentara Gegana. Yang akhirnya harus siap untuk ditugaskan ke mana pun dan kapan pun. Oleh sebab itu, ayah selalu pergi secara tiba-tiba dan pulangpun secara tiba-tiba pula." Ibu mengakhiri sambil memelukku.

Beberapa saat kemudian telepon berdering, mengabarkan bahwa ayah telah meninggal dunia dalam tugasnya di Irak. Prajurit Marko telah meninggal dunia dalam tugasnya. Aku dan ibu tak kuasa menahan tangis dalam pelukan untuk ayah.

"Biadab kau Amerika. Biadab kau Bush."

oooOOOooo

*Satuan Gegana adalah pasukan khusus di bawah institusi kepolisisan dan merupakan bagian dari brimob yang berfungsi sebagai bantuan tempur taktis baik dalam rangka operasi keamanan dalam negeri, operasi pertahanan, hingga berbagai operasi keamanan internasional.

(ADS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun