Mohon tunggu...
Deni Arisandy
Deni Arisandy Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Penulis lepas, penyuka kopi hitam asli Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kenikmatan, Tradisi dan Manfaat Adukan Bubuk Hitam

27 Juli 2022   20:45 Diperbarui: 29 Juli 2022   10:18 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, mertua saya tiba-tiba ingin mencoba kopi yang diseduh istri tercinta buat saya. "Waduuh, pahit banget. Jamu aja kalah pahitnya sama kopi ini!" ungkap mertua. Hehe padahal, kopi itu sebetulnya masih dikasih gula, tapi sedikit sekali.

Sesekali, kadang kalau lagi bosan dengan kopi tanpa gula, saya atau kadang meminta istri untuk menyeduh kopi dengan sedikit gula. Lebih seringnya pakai gula aren yang katanya juga lebih sehat dibandingkan gula pasir.

Beberapa kawan sering berkelakar dan mengatakan bahwa hidup ini sudah pahit, jadi jangan ditambah pahit lagi dengan kopi tanpa gula. Saya memang belum sepenuhnya konsisten meninggalkan gula saat menyeduh segelas kopi. Malah kadang-kadang kalau lagi mau, saya mencampurnya dengan susu atau sesekali creamer.

Tetapi, sudah banyak teman-teman ataupun kerabat dekat yang "nekat" sudah "hijrah". Meninggalkan kenikmatan manisnya gula dalam racikan segelas kopi. Mereka tak lagi tergoda merasakan manisnya segelas kopi dengan gula.

Dulu waktu di kantor lama, rata-rata teman-teman penyuka kopi yang sering berbagi segelas kopi beramai-ramai, akan menghindari kopi saya dan seorang teman saya lainnya. Rasa pahit yang kata mereka masih terasa di lidah saat pernah "terjebak" menyeruput kopi kami.

Boleh dibilang, saya mencoba kopi pahit karena terinspirasi dengan seorang kawan yang memang anti gula. Awalnya, saya merasa ketiban musibah. Ketika ingin menikmati kopi manis, eh malah mengecap rasa kopi yang menurut saya waktu itu sudah keterlaluan pahitnya.

Ternyata, setelah saya baca sejumlah informasi mengenai kopi, ternyata kopi tanpa gula justru sangat menyehatkan.

Informasi saya dapat ini, juga ditambah dengan fakta seorang kawan yang justru sudah tidak pernah lagi merasakan tingginya kadar gula darahnya. Padahal, sebelumnya dia selalu bermasalah dengan kadar gulanya yang tinggi. Sempat dirawat juga karena soal gula darah ini. Dan sekarang, kawan ini sudah menjadi duta sukarela untuk mengajak minum kopi tanpa gula.

Pengalaman saya secara pribadi, ketika meminum kopi dengan gula, pernah merasakan sembelit dan seperti merasakan dehidrasi. Tetapi karena terasa ada yang kurang tanpa kopi, saya tetap melanjutkan ngopi, tetapi tanpa gula. Hasilnya, sembelit dan dehidrasi itu justru berkurang dan sembuh sendiri.

Pengalaman saya menyeruput kopi tanpa gula, kopi robusta tanpa gula buat saya cenderung lebih pahit dibandingkan dengan kopi arabika. Malah dari beberapa jenis arabika yang pernah saya coba--karena saya memang tak identik dengan satu jenis kopi arabika tertentu, dalam satu seruputan ada sedikit rasa manisnya.

Dan dari informasi yang saya dapat, katanya karena kadar kafein pada robusta itu lebih tinggi dari kopi arabika. Makanya rasa di lidah ketika saya menyesap kopi robusta, cenderung lebih pahit. Tetapi bagi penyuka kopi robusta dengan gula, rasa kopi arabika justru cenderung asam.

Saya sendiri merupakan  penikmat kopi sejak lama. Ada rasa penasaran, ketika saya sering mampir ke toko penggilingan kopi untuk mencoba beberapa jenis kopi dari berbagai daerah. Takjub, ternyata kopi lokal kita ini sangat-sangat banyak.  Banyak daerah dari Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, NTT dan NTB, Kalimantan sampai Papua, ternyata masing-masing memiliki ragam kopi dengan kekhasan masing-masing.

Dari ujung Pulau Sumatera, Aceh memiliki beragam jenis kopi, kopi robusta maupun kopi arabika. Penamaan kopinya biasanya dikenal sesuai nama daeahnya. Yang paling banyak dikenal tentu kopi Gayo (arabikanya) dan Ulee Kareng (robusta dari Ulee Kareng).

Di Sumatera Utara juga dihasilkan kopi berkualitas seperti Kopi Sidikalang baik robusta maupun arabika, juga ada kopi Mandailing. Lalu di Sumatera Barat juga ada kopi arabika dan robusta, salah satunya dari Solok.

Jambi, Riau, Bangka-Belitung, Bengkulu, hingga Sumatera Selatan,  juga memiliki beragam jenis kopi yang tak kalah diminati para pecinta kopi. Baik jenis robusta maupun arabika. Yang berasal dari masing-masing daerah ini pasti sudah tau jenis-jenis kopinya.

Lalu, di ujung Sumatera ada Lampung yang pastinya sudah cukup dikenal sebagai daerah penghasil kopi, seperti dari lampung Barat, ataupun Tanggamus.

Di Pulau Jawa juga demikian, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, hingga Jawa Timur juga menghasilkan ragam kopi yang tak kalah rasa dan aromanya. 

Sulawesi apalagi,  terutama kopi arabika Toraja yang sudah melegenda. Meskipun sejumlah daerah lain di Sulawesi juga memiliki ragam jenis kopi yang nikmat. Mulai dari Sulsel, Sultra, Sulbar, hingga Gorontalo juga punya kopi andalan. Demikin juga dengan kopi dari Maluku.

Bali? Ini sudah banyak dikenal.  Bali punya kopi arabika yang sudah terkenal, terutama dari Kintamani. Pun demikian dengan NTB, dan NTT yang juga memiliki kopi lokal robusta dan arabika yang banyak diminati.

Demikian juga dengan Pulau Kalimantan baik dari Kalteng, Kalbar, Kaltim, Kaltara, hingga Kalsel juga memiliki kopi lokal yang disukai masyarakat setempat. Juga dari  tanah Papua yang dikenal sebagai salah satu penghasil kopi arabika terbaik dari Indonesia.

Dari beberapa jenis kopi dan asal daerahnya, Saya tak menyebutkan kopi mana yang paling enak buat saya. Pertama, karena belum mencicipi semua jenis kopi dari berbagai daerah Tanah Air. Kedua, kaena menurut saya, semua rasa dan aroma kopi dari berbagai daerah yang sudah pernah saya nikmati itu, enak dan enak sekali. Menurut saya, masing-masing punya kekhasan sendiri-sendiri. Tidak ada yang tidak enak, semuanya terasa nyaman di lidah.

Setiap orang penikmat kopi, mungkin punya pendapat dan kecenderungan untuk suka pada jenis kopi tertentu, misalnya arabika atau robusta. Juga mungkin cenderung pada kopi dari daerah tertentu.

Racikan Kopi

Tetapi, mungkin pendapat saya bahwa semua kopi itu nikmat, tidak terlalu salah. Soalnya, ketika ngobrol dengan pemilik toko penggiling biji kopi, dia mengatakan bahwa rasa kopi itu tegantung racikannya. Jadi bagaimana cara kita menyeduh dan komposisi kopinya, itu akan sangat menentukan rasa segelas kopi yang kita nikmati.

Sekali lagi, semua tetap saja tergantung selera. Selain jenis kopi, komposisi, cara menyeduhnya, tingkat kehalusan bubuk kopi, semua tergantung selera masing-masing.

Saya sendiri, cenderung menyukai kopi yang kental. Suatu saat, saya pernah berkunjung ke rumah teman yang berasal dari salah satu kabupaten di Aceh dan tinggal di Tangerang. Dia tau saya suka kopi.

Disuguhkanlah segelas kopi kental buat saya. Pertama saya hirup, langsung saya berkata, ini kopi paling enak yang pernah saya rasakan. Dan saya otomatis berpikir, pasti ini kopi Gayo karena dia orang Aceh.

Ternyata saya salah. Itu bukan kopi Gayo. Penasaran, saya bertanya, itu kopi apa? Jawabannya membuat saya kaget. Itu ternyata kopi yang umumnya ada dijual dari toko kelontong sekalipun. Malah, saya sendiri sering mengonsumsinya kalau kopi yang biasa saya minum lagi tak ada. Hanya kalau saya yang bikin, rasanya tak seenak itu.

Jadi, kesimpulan sang penjual kopi giling tadi, memang tepat. Tergantung bagaimana meracik kopinya. Mungkin karena teman ini asli dari Aceh, yang tradisi ngopinya sangat kental, dia tau bagaimana meracik kopi dengan jenis kopi apapun juga untuk menghasilkan rasa yang luar biasa di lidah penikmat kopi kental seperti saya.

Teman saya itu dan beberapa teman lain yang dulu pernah satu kantor, memang acap berkisah soal tradisi nongkrong di warung kopi di Aceh. Sebuah tradisi untuk sekadar ngobrol sampai bicara soal bisnis dan pekerjaan di warung kopi.

Tradisi Ngopi di Aceh

Ada keinginan untuk jalan dan membuktikan sendiri mengenai tradisi ngopi di warung kopi di Aceh. Tahun lalu saya beruntung dapat kesempatan melakukan perjalanan tugas ke Aceh. Akhirnya, kesampaian juga harapan itu. Aceh besar dan Banda Aceh, ternyata memiliki tradisi ngopi di warung kopi.

Saat sampai di sana, oleh teman di Aceh Besar, menjelang siang, saya diajak ke warung kopi. Kecil saja warungnya. Setelah mencari tempat duduk, saya dikenalkan dengan beberapa kenalannya di warung kopi tersebut.

Ternyata di warung kopi kecil itu, berkumpul kenalannya dari mulai anggota DPRD, sampai pihak pemda yang bertemu di warung kopi itu. Menarik, karena warung kopi kecil itu biasa menjadi tempat berkumpul pejabat dan masyarakat biasa.

Demikian juga malamnya. Sepulang rekan saya dari tempat kerjanya, dia langsung mengajak saya ke warung kopi. Kali ini ngopinya di Banda Aceh, karena memang lokasi kunjungan saya di perbatasan antara Aceh Besar dan Bandar Aceh.  

Kali ini tempatnya lebih luas dan berkumpul beragam masyarakat. Mulai dari rombongan keluarga, muda-mudi, dan rombongan lain yang mungkin juga membicarakan soal bisnis di sana.

Teman saya ini mengatakan, keluarganya sudah paham soal kebiasaan mereka pulang kerja yang mampir dulu ke warung kopi. Tak salah memang, ngopi atau nongkrong di warung kopi memang sebuah tradisi bagi masyarakat di sana. Mungkin istilahnya---maaf kalau salah mengasumsikan, "Pantang Pulang Sebelum Nongkrong di Warung Kopi."

Karena itu menjadi tradisi, sudah lumrah kalau banyak pekerja yang sebelum sampai di rumah pulang kerja. Nongkrong dulu di warung kopi. Atau, pulang dulu ke rumah dan kemudian nongkrong di warung kopi.

Pun demikian paginya. Saya penasaran, apakah setelah sholat shubuh sudah ada pengunjung di warung kopi? Kebetulan lokasi menginap di sekitar Kutaraja, Banda Aceh. Jadi setelah sholat shubuh di masjid dekat tempat menginap, beberapa kali saya mampir ke warung kopi yang memang gampang ditemui di sana. Tempat duduk di warung kopi sederhana itu, sesudah sholat shubuh, ternyata sudah penuh dengan orang-orang ngopi.

Ada dua jenis kopi yang ditawarkan, kopi hitam dan kopi sanger atau kopi susu. Keduanya saya coba di waktu yang berbeda. Kopi saring Aceh ini memang mantap. Rasanya sesuai selera saya, penyuka kopi kental dan ditambah cemilan khas Aceh. Dan saat membayar, saya pun kaget. Satu gelas kopi nikmat tersebut hanya saya bayar Rp3 ribu segelas.

Woow. Kopi itu menurut saya tak kalah dengan racikan coffee shop terkenal di Jakarta atau Jabodetabek. Malah buat saya, lebih "nendang". Tapi harganya, jauh lebih murah. Saya membayangkan, kalau warung kopi seperti ini banyak ada di Jabodetabek, mungkin masyarakat akan lebih memilih nongkrong di sana.

Saya yakin, di beberapa daerah lain, ada juga tradisi ngopi seperti di Aceh. Kompas.com (17/9/2017) pernah menulis soal "9 Tradisi Unik Ngopi di Indonesia".  Ternyata selain di Aceh, beberapa daerah lain di Indonesia punya tradisi ngopi. Mulai dari Flores, Sumatera Barat, Medan, serta Yogyakarta ada tradisi ngopi yang unik. Andrea Hirata dalam salah satu novelnya juga pernah menceritakan tradisi ngopi di warung pada masyarakat Belitung.

Konsumsi Kopi Di Indonesia

Soal saya dan sebagian besar masyarakat kita yang senang minum kopi, didukung dengan jumlah konsumsi kopi masyarakat kita. Melansir dataindonesia.id, berdasarkan data International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di Indonesia pada periode 2020/2021, tercatat sebanyak 5 juta kantong berukuran 60 kilogram.  

Artinya, dalam periode tersebut, konsumsi kopi di Indonesia mencapai 300 juta kilogram atau setara 300 ribu ton. Dan berdasarkan analisa katadata(31/7/2018), setiap tahunnya, diperkirakan konsumsi kopi di Indonesia periode 2016-2021 tumbuh 8,22% per tahun.

Jadi, jumlah peminum kopi di Indonesia setiap tahunnya berdasarkan data tersebut cenderung meningkat. Gaya hidup kaum muda urban, dan kaum pekerja mungkin ikut memengaruhi kenaikan konsumsi kopi di Indonesia.

Melansir tempo.co (18/9/2019), berdasarkan hasil survei yang dilakukan HonestDocs terhadap 9.684 orang Indonesia,  mayoritas orang menikmati 1 gelas kopi per hari (21,6 persen). Tetapi, sekitar 10,5% responden mengaku minum kopi sebanyak 2-3 gelas per hari. Malah, ada yang mengonsumsi kopi sebanyak lebih dari 11 gelas setiap harinya (1,9 %).

Laki-laki berdasarkan survei itu, disebut lebih banyak meminum kopi dibandingkan perempuan. Sedangkan peminum kopi terbanyak disebutkan survei tersebut berasal dari Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara.

Rasakan Manfaat Kopi

Dari pengalaman saya dan teman yang sudah hijrah minum kopi tanpa gula, kopi ternyata cukup banyak manfaatnya. Beberapa manfaat kopi yang dikutip dari website Asosiasi Kopi Nasional AS, diantaranya: penurunan risiko kematian;  mengurangi risiko diabetes (tentunya kopi tanpa gula), beberapa jenis kanker, dan mengurangi risiko stroke.

Kompas.com (16/02/2021) dan kompas.com (07/11/2021) juga menyebut beberapa manfaat minum kopi. Diantaranya dapat membangkitkan rasa bahagia; menurunkan risiko penyakit; bisa mengurangi risiko diabetes tipe 2; tidak menyebabkan dehidrasi; dapat menjadi  sumber antioksidan utama; dapat menurunkan berat badan; melindungi organ hati.

Tentunya, ada juga beberapa efek tak baik jika minum kopi secara berlebihan. Terutama dengan asupan segelas kopi dengan campuran gula yang banyak sebagai pemanis.  Mungkin ada baiknya, mengurangi campuran gula dalam segelas kopi atau pelan-pelan minum kopi tanpa gula. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun