Mohon tunggu...
Muhammad Dendy
Muhammad Dendy Mohon Tunggu... Seniman - menulis adalah obat hati

"saya adalah orang yang selalu ingin belajar dan selalu ingin mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri saya"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bicara Masalah Pengelolaan Ibu Kota, Indonesia Perlu Belajar dari Tokyo

27 Agustus 2019   13:13 Diperbarui: 27 Agustus 2019   13:49 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin tanggal 26 Agustus siang Jokowi telah memutuskan Ibukota Indonesia akan pindah ke Kalimantan Timur atau lebih tepatnya di kabupaten kutai kartanegara. Memang dari awal saya sudah menduga kalau Kaltim akan jadi lokasi Ibukota baru, selain bocoran yang sempat tersiar beberapa hari lalu kalau Ibukota Indonesia akan berada di Kalimantan Timur.

Keseriusan Jokowi dalam memindahkan Ibukota ke pulau Kalimantan tentu saja meraup perhatian besar jutaan rakyat Indonesia baik pro maupun kontra, karena secara logika pemindahan ibukota bukan soal perpindahan saja, tetapi bagaimana memindahlan system yang sudah terbangun selama ini.

Loh kok saya bicara system? Iya karena Jakarta selama ini sudah melekat di hati masyarakat Indonesia sebagai Ibukota Negara, meskipun banyak permasalahan didalamnya saya rasa sulit untuk dalam waktu dekat mengganti peran Jakarta sebagai Ibukota nusantara yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya.

Jadi ibaratnya memidahkan ibukota dari Jakarta ke pulau Kalimantan sudah berbicara perpindahan system yang sudah tertanam pada kota Jakarta ratusan lamanya sejak Belanda menetapkan kota Jakarta sebagai pusat dari hindia belanda.

Memang secara logika daya dukung kota Jakarta yang sudah padat sebagai pusat aktivitas baik politik, bisnis, perdagangan dan budaya tersebut sudah tidak memadai dalam beberapa puluh tahun kedepan, tetapi jika memang pemerintah ingin tetap serius memindahkan ibukota, maka harus dengan perencanaan yang matang karena ini menyangkut migrasi ratusan ribu atau bahkan jutaan manusia yang akan terjadi ke ibukota baru nantinya.

Belajar dari Brazil dan Amerika Serikat

Sub judul diatas saya rasa adalah alasan utama pemerintah untuk memindahkan ibukota jauh dari aktivitas perdagangan dan bisnis. Seperti Amerika Serikat dan Negara Brazil kedua Negara tersebut adalah contoh keberhasilan kedua Negara ferderasi raksasa tersebut untuk memisahkan mana Ibukota politik dan mana ibukota bisnis, perdagangan maupun ekonomi.

Saya ambil contoh pertama adalah Brazil yang berhasil memindahkan Ibukota dari Rio De Janeiro ke Brasilia memang brazil termasuk berhasil karena Rio sdah terlalu padat tetapi saya rasa dampak tersebut tidak terlalu signifikan karena meskipun pemerintah federal Brazil telah memindahkan administrasi pemerintah pusatnya di Brasilia, tetapi Rio De Janeiro tetap padat dimana kini populasi Rio De Janeiro adalah 6,5 juta jiwa.

Jadi meskipun ibukota tidak lagi di Rio Jeneiro tetapi populasi dan kepadatan Rio tetap makin bertambah,begitu juga dengan amerika serika. Mungkin ga apple to apple ya membandingkan Antara Indonesia dengan Amerika, tetapi saya rasa amerika juga patut saya jadikan contoh karena meskipun ibukota amerika adalah Washington D.C tetapi New York tetap berkembang sebagai kota terpadat di amerika serikat, hingga kini populasi new York 8 juta jiwa.

Dari contoh kedua Negara besar diatas saya tahu kenapa pemerintah belajar dari Brazil dan Amerika Serikat, menurut analisa saya karena dengan semakin berkembangnya Washington dan Rio tetap menjadi kota termaju meskipun bukan ibukota Negara.

Rio De Janeiro Brazil dan New York amerika serikat telah membuktikan kepada dunia bahwa mereka sukses melakukan pemindahan ibukota tanpa meredupkan kota terbesar mereka yang tidak mereka anggap sebagai ibukota.

Itu berarti Rio dan New York tetap menjadi kota termaju meskipun bukanlah ibukota kota Negara, tetapi ada yang pemerintah lupakan jika saya diperkenankan memberikan masukan, yaitu Brazil dan usa adalah Negara federasi bukan Negara kesatuan seperti Indonesia.

Jadi sebagai Negara federasi proses pemindahan ibukota di Brazil dan usa tidak sepenuhnya bisa disamakan dengan Indonesia, karena Negara federasi itu sendiri adalah Negara yang mana kekuasaan pemerintah pusat di bagi kepada pemerintah daerah.

Baiklah saya jelas secara lebih gampang, jika di Negara kesatuan kekuasan pemerintah pusat itu lebih menyeluruh alias lebih kuat, sedangkan jika di Negara federasi kekuasaan pemerintah pusat itu ditentukan oleh pemerintahan daerah.

Saya ambil contohnya AS, pada system federasi AS setiap provinsi adalah disebut Negara bagian dan dalam Negara bagian tersebut ada system hukum sendiri, lambang sendiri, bendera sendiri, bahkan ada yang membentuk Kabinet pemerintahan Negara bagian sendri.

Jadi ibaratnya pemerintahan Negara bagian tidak terlalu sepenuhnya bergantung kepada pemerintah pusat di mana perizinan setiap perusahaan cukup dengan legislagi di tingkat Negara bagian. Sedangkan pemerintah pusat hanya mengurusi hal-hal bersifat nasional seperti fiskal, militer dan hungan luar negeri.

Jadi meskipun ibukotanya di pindah, ibukota yang lama masih bisa berkembang karena memang system federasi itu mengutamakan kedaulatan pemerintahan daerah dalam hal ini Negara bagian atau provinsi jika di Indonesia.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Tentu kita semua sudah paham bahwa Indonesia semenjak dahulu sudah sepakat kita adalah Negara kesatuan dan tentu saja semua birokrasi harus ke pemerintah pusat. Sehingga pemerintah pusat adalah penentu segara kebijakan di daerah meskipun sudah  memasuki era otonomi daerah tetapi tetap saja kewenangan pusat tetap yang paing tinggi.

Jika ibukota di pindah itu berarti akan ada mirgrasi perpindahan jutaan manusia ke ibukota baru dan tentu saja para pengusaha dan pemilik perusahaan akan ikut pindah juga ke ibukota baru dengan tujuan agar urusan perizinan dengan pemerintah pusat jadi lebih gampang.

Intiya di system Negara kesatuan dimana letak pusat pemerintah pusat disitu akan ada aktivitas ekonomi dan dagang karena berbeda dengan Brazil dan usa yang menggunakan system federasi. Kondisi system federasi di brazil dan usa akan berbeda dengan Indonesia yang bersistem Negara kesatuan.

Memang tidak sepenuhnya salah jika pemerintah mengacu kepada keberhasilan Negara Brazil dan usa menempatkan ibukotanya tidak di kota terbesarnya, tetapi sebagai Negara kesatuan Indonesia dalam hal ini pemerintah harus memikirkan kelangsungan perkembangan kota Jakarta yang sudah terbangun sejak lama tersebut.

Karena jika Jakarta tidak lagi sebagai ibukota, apakah Jakarta akan bisa seperti Rio De Janeiro dan New York atau bahkan Jakarta akan meredup karena berbagai aktivitas akan bermigrasi ke ibukota baru nantinya.

Mungkin Indonesia perlu Belajar dari Kota Tokyo

Ini adalah inti dari artikel ini, saya rasa Indonesia perlu belajar dari Tokyo,mungkin pembaca sudah tidak asing dengan kata Tokyo karena selain sebagai Metropolitan terbesar di dunia Tokyo adalah ibukota Negara jepang yang merupakan Negara pusat dari Indsutri otomotif dan inovasi dunia. Perlu di ketahui wilayah Megapolitan Tokyo memiliki populasi 30 juta jiwa yang dengan jumblah populasi tersebut itu berarti wilayah megapolitan Tokyo memiliki populasi penduduk yang lebih banyak dari penduduk Malaysia yang berjumblah 28 juta jiwa

Jepang juga memiliki system Negara keatuan seperti Indonesia, makannya itu tak heran Tokyo sebagai ibukota Negara di anggap terlalu gemuk. Karena seperti yang sudah saya sebut di awal didalam Negara kesatuan itu dimana pusat pemerintahan pusat disitu juga pusat ekonomi, perdagangan serta bisnis.

Menurut saya Tokyo lebih padat dari Jakarta, padahal pemerintah pusat Jepang bisa saja memindahkan ibukota ke Sapporo, hokaido atau kota-kota lain di Jepang. Dalam hal ini pemerintah jepang tetap mempertahankan Tokyo sebagai ibukota Jepang.

Pertanyaannya mengapa jepang masih bisa mempertahankan Tokyo sebagai ibukotanya dan mengapa jepang masih mempertahankan Tokyo sebagai ibukotanya?

Sebagai Negara yang masuk kategori Negara maju dan Negara ekonomi terbesar ke tiga, Jepang telah lama memperkuat angkutan massalnya sejak tahun 70 -an jepang sudah memiliki moda transportasi massal yang cukup memadai.

Meskipun Jepang adalah Negara otomotif terbesar di dunia tetapi Jepang sudah lama meninggalkan ketergantungan akan kendaraan pribadi. Mungkin jika para pembaca pernah memperhatikan setiap menonton film-film Jepang kita akan lihat jika orang-orang di desa umumnya menggunakan kendaraan pribadi, sedangkan di perkotaan khususnya Tokyo mayoritas masyarakatnya menggunakan angkutan massal seperti kereta listrik, mrt dan lrt.

Jika para pembaca pernah menemukan hal-hal tersebut dalam film Jepang, itu bukanlah hanya cerita fiktif dalam film belaka itu adalah gambaran kehidupan nyata masyarakat Jepang, bahwa di Jepang yang menggunakan angkutan pribadi adalah mayoritas orang-orang desa sedangkan orang Tokyo memilih menggunakan kendaraan massal.

Sehingga dengan merubah kebiasaan masyarakatnya, maka Tokyo dapat dipertahankan sebagai ibukota negaranya, pemerintah Jepang memberlakukan harga parkir mobil serta tarif tol yang mahal dan memperkuat jaringan angkutan massal.

Seperti kita ketahui di kota Tokyo jaringan angkutan massal hampir meliputi seluruh wilayah megapolitan Tokyo, Jepang adalah contoh dimana selain membenahi Tokyo agar tetap layak jadi ibukota Negara, alasan Jepang tetap mempertahankan Tokyo adalah karena Tokyo adalah kota yang penuh dengan sejarah dalam perjalannan kebudayaannya.

Jika kita bandingkan dengan Jakarta, Tokyo hampir memiliki kesamaan dengan kepadatan penduduk dan kompleksnya permasalahan ibukota yang telah lama menggerogoti kota, meskipun berbeda secara tata kota dengan Tokyo.

Jakarta bisa mencontoh Tokyo, dimana dengan memperluas jaringan massalnya serta membatasi kendaran pribadi yang beredar. Akan tetapi dengan catatan kendaraan massal harus mencakup keseluruh wilayah jabodetabek.

Jakarta sudah sejak lama menjadi pusat peradaban budaya, politik,ekonomi serta perdagangan, maka dari itu memindahkan ibukota dari Jakarta perlu pertimbangan yang matang dan menyeluruh.

Memang tidak ada yang salah dari keputusan pemerintah untuk memindahkan ibukota ke Kalimantan, saya sebagai anak daerah yang berasal dari pulau sumatera sebenarnya setuju-setuju saja, akan tetapi akankah lebih baik pemerintah memikirkan secara matang, menyeluruh dan perlahan sebelum memutuskan untuk benar-benar melakukan pemindahan ibukota nantinya.

Sekarang pilihan ada di tangan pemerintah, mengobati Jakarta yang sudah lama akrab sebagai pusat peradaban Indonesia speerti yang dilakukan Jepang pada Tokyo, ataukah memindahkan Ibukota ke Kalimantan seperti yang di umumkan jokowi pada 26 Agustus 2019 kemarin?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun