Mohon tunggu...
Deden Firdaus
Deden Firdaus Mohon Tunggu... Buruh - pecinta kearifan

Sang Rajawali..Pengarung Kesunyian..Pecinta Kehampaan...!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Real dan Cinta Metafora

23 Maret 2018   00:14 Diperbarui: 23 Maret 2018   00:39 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Refleksi ontologis eksistensial tentang "Cinta"

Cinta 1) adalah kehidupan. Membicarakan cinta adalah membicarakan  kehidupan . Cinta adalah tema sentral karya seni, kesusasteraan, puisi dan peradaban manusia sejak dulu hingga sekarang. 

Kisah abadi Romeo dan Juliet, Romantisme Laila majnun, cita rasa artistik lukisan Monalisa, dan mahakarya arsitekur nan megah Taj Mahal adalah beberapa contoh nyata betapa cinta senantiasa menjadi inspirasi abadi  sepanjang masa. Cinta tak dapat didefinisikan. Mendefinisikan cinta berarti membuat batasan dan mempersempit eksistensi cinta.

Cinta yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini bukanlah cinta  romantis yang umum difahami yaitu  relasi dua manusia yang berlawanan jenis :laki laki dan perempuan. Relasi ini  adalah jenis cinta juga namun dalam konteks terbatas. 

Penulis ingin membahas cinta dalam tingkatannya yang lebih tinggi dan melampaui relasi tersebut. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mengalir pada semua realitas, baik alam material (seperti manusia, hewan, tumbuhan serta benda benda tak hidup), maupun pada entitas entitas  immaterial bahkan Tuhan.  Cinta yang penulis maksud adalah cinta dalam sudut pandang ontologis- eksistensial.

Cinta Menurut Plato

Siapapun yang hendak melihat cinta dari sudut pandang filosofis, maka paradigma Plato tentang cinta perlu menjadi referensi penting. Dalam Diotima 2)  yang nampaknya merupakan gagasan Plato sendiri, Ia menjelaskan pandangan gurunya Socrates tentang cinta pada sebuah jamuan makan malam yang dihadiri oleh para tokoh dan Filsuf Yunani. 

Menurut beberapa cendekiawan Yunani, Cinta bertendensi lazim pada fakta sosial bangsa Yunani yaitu mengarah pada insting seksual dan keindahan lawan jenis.Bagi mereka cinta (eros) adalah Dewa yang dipuja keindahan dan ketuhanannya. Keyakinan mainstream bangsa Yunani ini sejak semula telah ditentang oleh Socrates,.

Ia berpendapat bahwa secara eksistensial, cinta dalam dirinya tak pernah baik atau indah, cinta tak bisa indah karena ia merupakan hasrat untuk memiliki keindahan, dan seseorang tak bisa menghasratkan sesuatu yang telah dimilikinya.

Cinta tak memiliki kebaikan dalam dirinya, namun ia adalah sarana untuk mencapai kebaikan.Pada akhir pidatonya ini, Socrates mengatakan bahwa "manusia tak akan pernah menemukan penolong yang lebih baik daripada cinta"

Plato berusaha menemukan elemen yang sama dalam semua jenis cinta, selama tak ada perbedaan nilai yang dibuat terhadap berbagai jenis cinta tersebut.Dengan cara tersebut, berbagai jenis cinta yang berbeda ini dipandang secara hirarkis. Salah satunya dianggap lebih unggul dari yang lain, karena tujuannya lebih baik secara hakiki. 

Kemudian hirarki tujuan cinta ini melibatkan pemikiran Non-Socratik yang lain, bahwa ada tujuan tertinggi yang menjadikan cinta- cinta yang lain cenderung kepadanya, agar pada gilirannya mereka juga bisa menjadi tujuan dari cinta itu sendiri.

Bagi mereka yang memahami cinta, keindahannya yang mutlak yang terpisah dan menyendiri adalah tujuan puncak dari usahanya selama ini. Untuk memperoleh pemahaman tentang keindahan yang absolut , manusia harus bergerak dari kecintaan terhadap hal-hal fisikal yang dimiliki  menuju kecintaan terhadap seluruh keindahan fisikal.  

Berikutnya, kecintaan pada keindahan yang ada dalam jiwa akan menuntun manusia untuk menyadari keindahan aktivitas mereka, institusi dan ilmu pengetahuan. Saat menelaah semua keindahan ini manusia akan dituntun untuk menuju secercah pengetahuan yang tujuannya adalah keindahan mutlak . Oleh karena itu bagi Plato, kecintaan kita terhadap manusia secara jasmaniah adalah "cinta dengan derajat rendah", yang harus digunakan untuk mencapai keindahan dan kebaikan mutlak. 3)

Dalam pandangan penulis,untuk menemukan elemen fundamental dalam bahasan kita tentang cinta, pertama kita harus mempertimbangkan elemen etis dari  'kebaikan cinta'. Jika tidak, maka kurang tepat rasanya jika kita menisbahkan kepada Plato, pandangan bahwa manusia tak bisa mencintai seseorang secara individu atau bahwa kita hanya bisa mencintai seseorang hanya sebagai alat. 

Jika kita beranggapan bahwa Plato menyatakan cinta terhadap seseorang berada di tingkat yang jauh lebih rendah daripada cinta yang lain, maka cinta itu sendiri apapun tujuannya jadi tak punya nilai intrinsik bagi Plato. Nilai cinta jadi tergantung pada tujuannya.

Problem yang muncul kemudian adalah bahwa sebagus apapun logika maupun argumentasinya, Pengetahuan, kebijakan, dan keindahan nampaknya secara otomatis jadi lebih tinggi daripada kecintaan kita terhadap mereka.

Disaat mereka semua bernilai baik, maka kecintaan kita hanya nampak baik jika cinta itu membantu untuk mecapai mereka. Pertanyaan besarnya adalah apakah ada keindahan atau kebaikan dalam kecintaan sesorang kepada orang yang lain. Maksudnya adalah apakah rasa cinta kepada kekasih misalnya tanpa melihat tujuannya hanyalah perasaan yang tak berharga?ataukah ada semacam kebijakan dan keindahan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya?

Menurut hemat penulis, tidak tepat rasanya jika kita berasumsi bahwa satu satunya alternatif untuk memahami konsep Plao tentang cinta sebagai alat adalah mengamini pandangan umum bangsa yunani yang ditentang oleh Socrates.Pandangan itu memandang bahwa Cinta itu bernilai semata mata karena mendatangkan kesenangan dan bisa mengahasilkan sesuatu.

Tidak adakah nilai hakiki dalam cinta yang lebih tinggi dari kesenangan semata?, Jawabannya adalah dengan pendapat bahwa eksistensi cinta sebagai  cermin jiwa merupakan tahapan wajib untuk menuju  tingkat yang lebih tinggi. 

Dengan demikian kedudukan cinta jadi bernilai ketika kedudukan jiwa juga bernilai.Klaim semacam ini sudah tentu bukanlah pengabaian para filsuf yunani tentang cinta.Bukan pula bagian dari pemujaan cinta yang disuarakan oleh para pembicara di symposium di hadapan Socrates.

Dari uraian Plato diatas, penulis dapat menarik sebuah pemahaman bahwa cinta pada dasarnya adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, berupa keindahan, kebaikan, kesempurnaan dan lainnya. Karena itu maka cinta secara eksistensial bertingkat dan berhirarki dari cinta yang tingkatannya paling rendah sampai yang paling tinggi. 

Cinta kepada keindahan fisikal adalah jenis cinta yang paling rendah karena ia terbatatas pada alam material.Sedangkan cinta yang paling tinggi adalah cinta pada sesuatu yang mutlak baik itu keindahan mutlak dan kebaikan mutlak, yang  bersifat immaterial dan spiritual. Pada fakta kehidupan ini, umumnya kita terjebak pada jenis cinta pertama, yaitu cinta pada keindahan fisikal seperti: kecantikan wanita,ketampanan, kekayaan, harta, pangkat dan sebagainya. 

Kita acapkali lalai dan terlena dengan cinta material dan tak melanjutkan pada tingkatan cinta yang lebih tinggi yaitu cinta eksistensial kepada Tuhan muara para pecinta sang dan sumber segala keindahan universal. 

Cinta Menurut Sadra

Penulis mencoba mencari solusi perdebatan tentang cinta diatas,dalam prinsip ontologis seorang filsuf muslim terkenal yaitu Mulla Sadra. Filsafat Eksistensialisme Islamnya mampu memetakan dan memadukan konsepsi tentang cinta dalam bingkai paradigma mistis filosofis yang agung. Interpretasi Sadra tentang cinta merupakan titik temu dari dua samudera: mistis dan filosofis. 

Ia memiliki cara pandang yang komprehensif tentang cinta, sehingga histeria romantika yang mungkin muncul dari pembahasan tentang cinta tidak diabaikan begitu saja. Ia mengemukakan pendapatnya tentang cinta dan kasih sayang beserta tipe tipe, sifat sifat dan karakteristiknya dalam jilid ketujuh karya terbesarnya Al asfar Al arba'a dalam delapan bab. 

Ia memandang cinta sebagai sesuatu yang bersamaan (musawiq) dengan eksistensi,  Dia percaya bahwa cinta itu hadir dalam setiap tingkatan eksistensi. Katanya:

Sebagian orang menganggap cinta sebagai penyakit psikologis karena efek samping yang dialami para pecinta.Efek itu bisa berupa gangguan tidur, badan kurus, mudah marah, lesu, mata cekung, pucat, dan denyut nadi tak menentu. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa cinta adalah penyaki ketuhanan, karena tak seorangpun yang mampu menyembuhkannya. Sekelompok filsuf yunani berkata bahwa satu satunya obat cinta hanyalah ibadah, doa-doa, dan pasrah 4)

Berdasar keluasan pembahasan serta  penjelasan Shadra tentang cinta dan karakteristiknya penulis akan mengemukakan beberapa hal penting disini.

Pertama Problem Cinta dan hasrat, Kedua Cinta dalam sudut pandang tingkatan eksistensial ( Gradasi ) dan Ketiga Tuhan sebagai muara semua pecinta

a.Cinta  dan Hasrat

Untuk memahami pemikiran Sadra  tentang cinta, kita perlu melihat pada kajian penting para filsuf dan mistikus tentang hal ini, mereka berkeyakinan bahwa cinta menyebar pada seluruh eksistensi yang ada, baik yang bersifat material maupun immaterial. Bahkan kebenaran tertinggi menikmati karunia cinta.Terdapat perbedaan antara hasrat  dan cinta,cinta lebih umum dari hasrat dan hasrat merupakan bagian darinya. 

Cinta disertai nurani sedangkan hasrat disertai oleh rasa kekurangan. Setiap eksisten melindungi eksistensinya melalui cinta dan mencari sesuatu yang hilang melalui hasratnya yang tersembunyi

Jadi cinta dapat sematkan pada semua eksisten , bahkan pada kebenaran tertinggi. Karena cinta merupakan sifat eksistensi sedangkan hasrat bukan. Dalam komentarnya terhadap hadist yang dikutip Sadra dalam As syawahid Ar Rububiya  berbunyi ' Barangsiapa mencari-Ku,akan menemukan-Ku, dan barangsiapa menemukan-Ku akan mencintai-Ku' Sabzawari berusaha membuktikan bahwa menyematkan sifat cinta kepada Tuhan diperbolehkan, karena Tuhan pun memiliki sifat  Al Hubb yaitu pecinta.

Hasrat dipergunakan ketika berurusan dengan eksisten yang bersifat material yang memiliki sifat dan watak dan bermasalah dengan berbagai jenis kehilangan dan kekosongan material. Jadi hasrat  terhadap kesempurnaan terdapat dalam eksisten.

Oleh karenanya hasrat untuk mewujudkan potensi menjadi aktual dimiliki oleh semua eksisten yang bersifat material. Gerak kualitatif sebuah apel untuk mengubah rasanya yang asam dan tak enak menjadi manis dan lezat berasal dari hasratnya untuk mecapai kesempurnaan dan memperbaiki kekurangan. 

Migrasi  burung dari tempat yang tidak kondusif ke tempat yang lebih baik untuk kelangsungan habitatnya pun adalah hasrat mereka untuk menuju kesempurnaan.Bahkan Gerak alam semesta dan benda benda planet juga berasal dari hasrat yang sama.

Sadra menyimpulkan bahwa hadirnya cinta dalam semua eksisten berasal dari premis dan dasar pemikiran yang sama.Ia menyatakan bahwa cinta adalah semangat dan intuisi intelektual bawaan yang menyebabkan eksistensinya menjadi subsisten (hidup).Kebijakan ilahiah yang memestikan agar cinta intrinsik ini hadir sebagai karunia didalam semua keberadaan di alam kontingen ini, sehingga mereka bisa bergerak dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, menghindari keburukan dan beralih kepada kebaikan.

b. Cinta dan Gradasi Eksistensial

Dengan menggunakan istilah potensialitas dan aktualitas, Sadra berkata bahwa semua "kebaikan" berasal dari fakta bahwa mereka aktual, sedangkan "keburukan " berasal dari fakta bahwa mereka bersifat potensial.Ia menyatakan bahwa mahluk adalah realitas , kesempurnaan, kemewahan eksistensial, kelengkapan, keparipurnaan, kehidupan, keajegan, cahaya, kejelasan, kebaikan dan keteraturan. 

Sebaliknya adalah ketidaksempurnaan, kebingungan, kegelapan, kefanaan dan ilusi. Sifat sifat pertama dipandang berasal dari aktualiatas mahluk dan sifat sifat terakhir dipandang sebagai sifat potensialitas mahluk yang perlu menjadi aktual dan berubah menuju kesempurnaan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan, kebijakan, cinta dan aspek aspek yang lain dalam jiwa manusia tidak hanya dipandang sebagai sarana dan alat untuk menata kehidupan saja, melainkan sebagai instrumen nyata bagi kesempurnaan eksistensi jiwanya.

Sadra menyatakan bahwa membicarakan cinta secara eksistensial tak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang gradasi eksistensi (altashkik al wujud). Dia berpendapat bahwa sesuatu itu tunduk pada penguatan (tashaddud) dan penyusutan (tadhauf),sesuai dengan keadaan ontologisnya. Prinsip gradasi ini menghasilkan  sebuah tata hirarki mahluk, dimana substansi bisa menempuh perjalanan keatas maupun kebawah.Ketika substansi mengalami penyempurnaan maka kediriannya mengalami penguatan.dan begitupun sebaliknya.

Berikut adalah tingkatan teofani yang ada dalam diri manusia dan sifat sifatnya.Mula mula adalah Akal Aktif, kemudian jiwa umat manusia,sifat sifat hewani,sifat sifat tumbuhan dan akhirnya sifat benda tak bergerak.Eksisten eksisten itu mencari kesempurnaan eksistensial berdasarkan tingkat eksistensinya. Setiap penampakkan ini berhasrat u ntuk mencapai tingkatan kebaikan lebih tinggi.Gerak naik menuju kesempurnaan akan mengakibatkan eksisten menjadi lebih sempurna dan kediriannya meningkat secara eksistensial.

Tuhan berada di puncak rantai eksistensi ini . Tuhan adalah eksisten wajib dengan ketuhanan yang mutlak. Eksistensinya berasal dari essensi Nya.Karena dia adalah sumber kebaikan dan kesempurnaan maka tingkatan tingkatan eksistensi yang lain menunjukkan cara berbeda  menerima penampakkan (tajalli ) Tuhan dan semuanya bergerak menuju Tuhan.

Ibn Sina dalam Rislat Al isq4)juga memiliki pendapat yang sejalan, Ia membagi sifat sifat manusia dan kesempurnaan untuk masing masing tingkatan:Ketika sifat unggul dan mulia menyertai salah satu sifat jiwa manusia maka sifat sifat manusia itu akan terpengaruh oleh kemuliaan dan kesucian dari sifat yang lebih tinggi. Misalnya sifat binatang dan hasrat seksual mengimbangi sifat tumbuh, Di sisi lain sifat yang lebih tinggi mempekerjakan sifat yang lebih rendah. Pada gilirannya kemampuan ini mengarah kepada penyucian dan penyempurnaan sifat sifat rendah tadi.

Karena itu dalam realitas sosial kita akan melihat bahwa relasi sosial, perang dan konflik, emosi, imajinasi, hubungan badani dan lain sebagainya adalah berasal dari watak binatang yang ada pada manusia.Sesekali kecenderungan tadi kalah oleh kemampuan rasional yang dalam hal ini adalah nilai nilai moral.Hal ini tidak terjadi pada binatang atau tumbuhan.Hanya ada pada manusia. Shadra menyatakan bahwa:Pertama, dorongan menuju kesempurnaan (Al kamal Al laiq) ada dalam diri manusia. Kedua, seluruh Ciptaan karena mereka diciptakan Tuhan, adalah bagus, indah dan mengagumkan, oleh karenanya semua tahap kesempurnaan manusia pada tahapannya sendiri, adalah bagus, indah dan mengagumkan.Sebagai contoh Keganasan Singa adalah sesuatu yang mengagumkan pada dirinya, namun jika hal ini mewujud dalam diri manusia maka dianggap bukan kesempurnaan, karena penilaian etis hanya berlaku pada manusia.

Sadra menjelaskan tentang alur tingkatan jiwa manusia dan kesempurnaannya: Tingkatan pertama jiwa manusia adalah sensualitas (nash'at al hiss) dan kesempurnaan bagi tingkat ini adalah mengambil manfaat secara layak dari hasrat jasmani ah dan seksual. Ketika dia bergerak ke tingkat yang lebih tinggi kemampuan akal praktis dan imajinasinya tercipta dalam jiwanya, pada tahap ini kesepurnaan jiwa berupa pencarian urusan akhirat, menjalani kebijakan moral, melakukan tindakan religius dan perbuatan positif lainnya.

Tingkatan yang lebih rendah selalu jatuh cinta kepada tingkat yang lebih tinggi dan tingkat yang lebih tinggi mendominasi dan mengatur tingkat yang lebih rendah. Demikian dan seterusnya sehingga hirarki ini sampai kepada eksistensi Wajib.Kesempurnaan materi adalah wujud alamiahnya, sehingga ia pun mencari bentuk nya,Kesempurnaan bentuk alamiah adalah jiwa,sehingga diapun mencari bentuk jiwa, kesempurnaan jiwa adalah akal, sehingga diapun mencari pencapaian kesempurnaan akal dan seterusnya sehingga sampai kepada sumber segala kesempurnaan dan kebaikan yaitu Tuhan.

Sadra juga membagi cinta kepada dua bagian:cinta metafor dan cinta yang real.Cinta yang Real adalah Cinta kepada keindahan dan kesempurnaan mutlak yang dimiliki Tuhan,Ia bersikukuh bahwa cinta apapun yang ditujukan kepada selain Tuhan adalah Cinta metafor.

Ada Beberapa jenis cinta metafor menurutnya , yaitu: Pertama Cinta Seksual,Kedua Cinta manusia terhadap politik dan kekuasaan,Ketiga cinta manusia terhadap kepemilikan harta  dan aktivitas ekonomi, Keempat Cinta manusia kepada ilmu pengetahuan dan kelima cinta manusia  kepada seni dan budaya .Semua jenis cinta metafor ini adalah kelaziman yang ada. Kita tentu jangan berhenti pada jenis cinta, namun harus beranjak jenis cinta yang derajatnya lebih tinggi yaitu cinta real.

Sadra menjelaskan kegunaan cinta Ia berkata : "Waspadalah bahwa tujuan akhir dan tertinggi dibalik eksistensi cinta di jiwa yang baik ini , dibalik rasa sayang mereka terhadap keindahan jasmaniah dan dibalik kekaguman mereka pada benda benda, semuanya berfugsi untuk membangunkan jiwa yang terlelap dalam kebodohan,dan membawa mereka dari potensialitas menuju aktualitas, membuat mereka melangkah maju dari benda benda jasmaniah menuju spiritualitas dan dari sana melangkah ke wujud universal terbaik yang pernah ada dan untuk mendorong mereka agar berhasrat mencari Allah dan mengalami kesenangan akhirat"

Dari penjelasan Mull adr tersebut, kita melihat ada beberapa kegunaan cinta yaitu:
a. Membangunkan jiwa yang terlelap dalam kebodohan dan ketidakpedulian
b. Melatih manusia agar bergerak dari potensialitas menuju aktualitas
c. Melangkah maju dari benda benda jasmaniah menuju spriritualitas
d. Mendorong berhasrat bersatu dengan Tuhan dan mencari kesenangan akhirat.

Tuhan Muara Para Pecinta

Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk mencapai kesempurnaan, jiwa manusia mengalami revolusi dan bergerak naik dari tingkatan rendah ke tingkat yang lebih tinggi.Selama mereka berada dalam jalur yang benar (shirat al mustaqim) dalam proses revolusi substansial jiwa menuju alam immaterial dan spiritual, maka tahap tersebut adalah kebaikan dan keindahan. 

Dalam proses menuju alam immateri (tajarrud) ini karakter setiap manusia bisa berubah secara intrinsik. Karena manusia memiliki dua dimensi :jasmani dan spiritual, manusia dikelilingi oleh alam dunia (mulki) dan langit (malakuti) dan karenanya ia ditarik oleh dua kekuatan , antara hasrat hewani (shahwa) dan kemampuan unik manusia untuk menggunakan nalar (aql). Jika manusia konsisten mengikuti petunjuk yang diberikan akalnya dia akan sampai ke alam ilahiah (Tuhan), namun jika dia lebih banyak mengikuti hasrat hewani dan menjadikan akal sebagai pelayannya maka dia akan sampai ke derajat yang paling rendah bahkan lebih rendah dari hewan .

Menurut hemat penulis dengan meilhat berbagai fakta sosiologis dan antroplogis kontemporer, berbagai hikmah dan pendapat Plato maupun Sadra tentang cinta patut kita jadikan  refleksi bersama. Tingginya angka bunuh diri, wajah dunia yang penuh teror dan konflik, peperangan,penindasan serta  berbagai fenomena kekerasan sosial lainnya menunjukkan  manusia telah kehilangan hakikat dari cinta . Kita memerlukan spirit cinta untuk mengubah wajah dunia yang seram dan menakutkan menjadi ramah dan penuh kasih sayang.

1)Kata cinta setara dengan 'isyq dalam bahasa arab, yang berasal dari Ashaqah. Ia adalah nama tanaman yang disebut luhlab, dan ketika dia melilitkan dirinya di sebuah pohon maka pohon itu akan mongering. Perasaan inilah yang diciptakan oleh cinta. Ketika ia memasuki hati manusia, maka pemiliknya akan memudar dan menjadi pucat. Lihat Dekhoda Dictionary XX, Tehran University Press, 14024

2)Diotima adalah filsuf perempuan kuno dan guru Sokrates. Dia memainkan peran penting dalam symposium Plato, Lihat Plato The Symposium  terjemahan dan pendahuluan oleh Bernadette, Seth , Chicago , University of Chicago , 2001

3)Lihat Plato's Republic,  Bab XXIII dan XXIV

4)Sebuah karya Ibn Sina yang membahas tema khusus tentang cinta,Lihat Risalat Al Isq,Bidar Press tanpa tahun, 396

 

REFERENSI

Bernadette, Seth, Plato's Symposium , Chicago University of Chicago 2001

Shirazi, Mulla Shadra, Al Hikmat Al Mutaaliyah fi al Asfar Al Aqliyyat Al Arbaa  ed R Luthfi, 9 jilid , Beirut : Dar Ihya Al Turath Al 'Arabi , 1990

Shirazi, Mulla Shadra, Al Syawahid al Rububiyya ed,sayyid jalal al Din Ashtiyani, Mashad University Press , 1360

Jurnal Mulla Shadra, Volume 1 No 3, 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun