Kemudian hirarki tujuan cinta ini melibatkan pemikiran Non-Socratik yang lain, bahwa ada tujuan tertinggi yang menjadikan cinta- cinta yang lain cenderung kepadanya, agar pada gilirannya mereka juga bisa menjadi tujuan dari cinta itu sendiri.
Bagi mereka yang memahami cinta, keindahannya yang mutlak yang terpisah dan menyendiri adalah tujuan puncak dari usahanya selama ini. Untuk memperoleh pemahaman tentang keindahan yang absolut , manusia harus bergerak dari kecintaan terhadap hal-hal fisikal yang dimiliki  menuju kecintaan terhadap seluruh keindahan fisikal. Â
Berikutnya, kecintaan pada keindahan yang ada dalam jiwa akan menuntun manusia untuk menyadari keindahan aktivitas mereka, institusi dan ilmu pengetahuan. Saat menelaah semua keindahan ini manusia akan dituntun untuk menuju secercah pengetahuan yang tujuannya adalah keindahan mutlak . Oleh karena itu bagi Plato, kecintaan kita terhadap manusia secara jasmaniah adalah "cinta dengan derajat rendah", yang harus digunakan untuk mencapai keindahan dan kebaikan mutlak. 3)
Dalam pandangan penulis,untuk menemukan elemen fundamental dalam bahasan kita tentang cinta, pertama kita harus mempertimbangkan elemen etis dari  'kebaikan cinta'. Jika tidak, maka kurang tepat rasanya jika kita menisbahkan kepada Plato, pandangan bahwa manusia tak bisa mencintai seseorang secara individu atau bahwa kita hanya bisa mencintai seseorang hanya sebagai alat.Â
Jika kita beranggapan bahwa Plato menyatakan cinta terhadap seseorang berada di tingkat yang jauh lebih rendah daripada cinta yang lain, maka cinta itu sendiri apapun tujuannya jadi tak punya nilai intrinsik bagi Plato. Nilai cinta jadi tergantung pada tujuannya.
Problem yang muncul kemudian adalah bahwa sebagus apapun logika maupun argumentasinya, Pengetahuan, kebijakan, dan keindahan nampaknya secara otomatis jadi lebih tinggi daripada kecintaan kita terhadap mereka.
Disaat mereka semua bernilai baik, maka kecintaan kita hanya nampak baik jika cinta itu membantu untuk mecapai mereka. Pertanyaan besarnya adalah apakah ada keindahan atau kebaikan dalam kecintaan sesorang kepada orang yang lain. Maksudnya adalah apakah rasa cinta kepada kekasih misalnya tanpa melihat tujuannya hanyalah perasaan yang tak berharga?ataukah ada semacam kebijakan dan keindahan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya?
Menurut hemat penulis, tidak tepat rasanya jika kita berasumsi bahwa satu satunya alternatif untuk memahami konsep Plao tentang cinta sebagai alat adalah mengamini pandangan umum bangsa yunani yang ditentang oleh Socrates.Pandangan itu memandang bahwa Cinta itu bernilai semata mata karena mendatangkan kesenangan dan bisa mengahasilkan sesuatu.
Tidak adakah nilai hakiki dalam cinta yang lebih tinggi dari kesenangan semata?, Jawabannya adalah dengan pendapat bahwa eksistensi cinta sebagai  cermin jiwa merupakan tahapan wajib untuk menuju  tingkat yang lebih tinggi.Â
Dengan demikian kedudukan cinta jadi bernilai ketika kedudukan jiwa juga bernilai.Klaim semacam ini sudah tentu bukanlah pengabaian para filsuf yunani tentang cinta.Bukan pula bagian dari pemujaan cinta yang disuarakan oleh para pembicara di symposium di hadapan Socrates.
Dari uraian Plato diatas, penulis dapat menarik sebuah pemahaman bahwa cinta pada dasarnya adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, berupa keindahan, kebaikan, kesempurnaan dan lainnya. Karena itu maka cinta secara eksistensial bertingkat dan berhirarki dari cinta yang tingkatannya paling rendah sampai yang paling tinggi.Â