Meranggas pohon demokrasi yang sebelumnya sempat rimbun -- ketika diumumkan presidential threshold sebesar 20% kursi parlemen. Itu pun didasarkan pada pemilu lima tahun silam. Yang diyakini tetap relevan pada lima tahun berikutnya.Â
Sedang lembaga survei saja, sering membangun alasan mengapa jajak pendapat yang dilakukan beberapa hari sebelum hari H, tenyata meleset pada hari pemilihan. Kadang jauh dari margin of error maupun tingkat kepercayaan yang telah dicanangkan.Â
Berbagai alibi diajukan untuk memaafkan kesalahan survei itu. Katakanlah, gagal panen, gagal kampanye, politik identitas pada menit terakhir, atau karena hati voters yang senantiasa berbolak-balik. Sementara hanya Tuhan yang kuasa membolak-balikan hati manusia, maupun lempeng-lempeng kerak bumi yang semakin tua.
Men sana in corpore sano. Jiwa yang sehat terdapat pada raga yang sehat. Pepatah latin yang pernah diserukan guru-guru kita. Namun hari ini harus diteliti apakah pepatah itu juga berlaku pula pada bangunan-bangunan fisik. Untuk body dan roh sebuah gedung parlemen yang menjulang tinggi. Sebab gedung itu dikabarkan miring 7 (tujuh) derajat. Dan pada sebatang pohon ada pula papan miring dengan tulisan kabur "Butuh badut lucu, hubungi senayan".
Semoga di atas tadi hanya ujaran kejenakaan saja.
Lupakan agenda mengumpulkan sejuta KTP agar seseorang dapat dinobatkan sebagai capres independen dari kaum profesional murni. Dengan ambang 20%, para wakil rakyat tengah membangun semacam kartel politik. Dimana hanya dengan restu paguyuban itu, seseorang dapat menjadi presiden.Â
Katanya, demi menguatkan sistem presidensial. Padahal sudah lama konstitusi mengokohkan lembaga kepresidenan, sedemikian hingga ia mustahil dimakzulkan tanpa sebab dan keterangan yang jelas. Harus karena dengan sengaja melanggar UU. Misalnya karena kedapatan maling ayam, melarikan anak ayam atau mencuri telur ayam.
Dengan threshold itu, yang terjadi malah masyarakat sial. Pilihan telah dikunci. Peluang-peluang dipasung. Nilai "kebhinnekaan" sedang diberangus meskipun simbol itu semakin kerap digunakan untuk menguatkan politik (bukan) identitas: saya bhinneka.
Gampangannya, demi makan siang yang menggairahkan, Â di meja perlu beraneka sajian. Tahu, tempe, ayam goreng, ayam rebus, nasi putih, nasi kuning, nasi merah, nasi goreng. Sayur asem, sayur lodeh, sambal terasi, sambal balado, sambal ijo, sambal mercon dan sebutlah segala kebhinnekaan itu. Supaya banyak orang yang antusias berpartisipasi pada sebuah perhajatan.
Coba saja disurvei suatu prasmanan yang hanya menyajikan martabak manis dan jengkol balado. Orang dengan kadar gula tinggi dipastikan enggan hadir dengan margin of error yang rendah. Sedang yang alergi jengkol dipastikan absen dengan tingkat kepercayaan yang meroket.
Demikian pula meja demokrasi selayaknya mengizinkan masyarakat yang berpesta itu, memilih bermacam-macam hidangan politik, sesuai aspirasi masing-masing. Tidak dikunci oleh sekelompok koki yang terpaku pada masakan itu-itu saja. Lagipula pesta demokrasi adalah pesta kita. Yang diongkosi dengan duit kita. Gedungnya pun sahamnya milik kita. Setidak-tidaknya diwariskan dari nenek moyang kita semua.
Bukan nenek moyang para para koki sahaja.
Pernah, kehendak sang koki malah sangat radikal, dengan mendorong adanya demokrasi calon tunggal. Dengan kata lain, pesta satu menu.
Duh, sungguh terlalu, kata Bang Rhoma.
Padahal seapes-apesnya, dengan konfigurasi 20% itu, kita akan mendapatkan dua pasangan capres. Semujur-mujurnya, tiga pasangan capres. Hal baik yang dapat dinikmati seluruh anak negeri. Namun malah dihindari para koki.
Ada suatu teori fisika, yang dapat dikaitkan dengan soal di atas.
THREE BODY PROBLEM (MASALAH TIGA BENDA)
Apabila kita melepas satu bola padat dengan bobot m, dengan kecepatan v, ke ruang angkasa , maka ahli fisika dapat meramalkan posisinya setiap saat.
Apabila ditambah satu bola lagi sehingga ada dua bola berkitaran di ruang angkasa itu, maka dengan rumus-rumus masih dapat diperoleh kedudukannya dari waktu ke waktu.
Tetapi bila ada tiga bola di ruang angkasa itu, maka secara matematis itu menjadi misterius.
Upaya pemecahan soal itu harus menggunakan metode numerik. Yakni suatu variabel diubah diubah sedikit demi sedikit. Dihitung hasil-hasil akhir dari setiap perubahan sedikit itu. Maka posisi benda-benda dapat "didekati", walaupun tidak ditentukan dengan pasti.Â
Supaya perhitungan ini cepat, biasanya dimasukkan dalam program dan diserahkan pada komputer untuk menghitungnya.
Masalah Tiga Benda, adalah subset dari masalah umum yang dinamakan n-body problem. Ketika n lebih besar atau sama dengan tiga, masalah itu menjadi rumit dan perlu bantuan komputasi/metode numerik.
Apa kaitannya dengan pemilihan umum ?
DEMOKRASI ADALAH MEMELIHARA "n"
Walaupun analogi ini tidak apel ke apel, kondisi politik dapat dianalogikan dengan masalah fisika di atas.
Sesuai dengan masalah n-body di atas, maka apabila dalam suatu pemilu terdapat:
- satu kubu, maka hasil akhir akan jelas
- dua kubu, maka hasil akhir dapat dihitung
- tiga kubu atau lebih, hasil akhir akan misterius
Jadi dengan keadaan tiga kubu, semua pihak baik petahana maupun para penantangnya, lebih minim kendali terhadap hasilnya. Dengan kata lain, keabsolutan kekuasaannya menjadi berkurang.
Sedangkan ada hukum:
Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan cenderung menyimpang. Kekuasaan absolut pasti menyimpang.
Dengan kata lain,
Semakin tidak absolut, kekuasaan akan lebih lurus.
Bila suatu pemilihan diikuti oleh tiga atau lebih kubu, masing-masing kubu tidak mudah "mengontrol". Kekuasaan mereka kurang absolut. Jadi dapat diharapkan prosesnya akan relatif lebih tulus, ketimbang pemilihan dengan satu kontestan atau dua kontestan saja.
2019 TIGA PASANG CAPRES
Kenyataan di atas hanya satu dalil bahwa lebih baik pada tahun 2019 yang dirindukan itu, warga disuguhi dengan kompetisi 3 pasangan capres.
Argumen-argumen lain yang dapat dilihat di antaranya,
Pertama, tidak akan ada polarisasi yang ekstrim di masyarakat.Â
Dua calon akan mengakibatkan provokasi ini dadaku mana dadamu. Seperti yang terjadi pada tahun 2014. Dimana dikatakan bahwa "masyarakat terbelah". Kalau calonnya tiga, selain inidadaku dan itu dadamu, ada pula dimana dadanya. Kontestan diserang dan menyerang ke kiri dan ke kanan. Tidak fokus ke depan yang menajamkan konflik, membelah masyarakat.
Di tahun 2004 dan 2009, telah terbukti ketika kontestan lebih dari dua kubu, suhu politik relatif aman.
Kedua, meningkatkan partisipasi warga dalam berdemokrasi. Seperti analogi prasmanan tadi, dengan bermacam hidangan maka akan lebih banyak tamu yang datang.
Ketiga, meningkatkan ketersediaan saksi pemilu. Karena saksi disediakan (dan dibiayai) oleh tiga kubu, jumlah saksi yang terlibat lebih banyak. Yang mengamankan hasil perhitungan.
Dan lain-lain.
Hanya saja, ada kenyataan lain yang pasti tidak disukai pihak petahana (Jokowi). Karena dengan konfigurasi tiga kubu ini, peluang ganti presiden lebih besar. Mengapa?
Seperti pada Pilkada DKI 2017 yang lalu, dengan skenario tiga kubu, suara petahana akan tertinggi. Â Tetapi tidak melampaui 50%. Karena dua kandidat lain juga berusaha meraih marketshare. Dan gabungannya dapat melampaui 50%. Memaksa pemilu berlangsung dua putaran.
Lalu di putaran tiga, pihak yang tersingkir akan mendukung penantang satunya yang lolos, dan petahana dikalahkan oleh suara gabungan itu.
Bila hanya dua kubu, akan lebih mudah bagi petahana meraih 50% plus satu. Bagaimanapun ia memiliki "fasilitas" yang secara  langsung atau tidak, dapat mempengaruhi opini masyarakat. Misal dengan  BLT, THR, bantuan beras, blusukan politik, menurunkan BBM menjelang pemilu dan seterusnya.
Maka pada papan catur ini, kubu petahana akan berupaya mengurangi jumlah kontestan. Dengan menggalang dan mengunci dukungan parpol sehingga tidak memungkinkan dua kontestan di kubu lawan.
Sementara itu, pihak oposisi akan berusaha menggulirkan dua pasang calon. Karena dengan timbulnya dua pasangan calon, salah satu kubu dari oposisi memiliki kans untuk menjadi pemenang.
KESIMPULAN
Agar judul artikel ini bukan hanya klikbait saja, pertanyaan pada judul mesti dijawab.
Sebetulnya kesimpulan ini sudah menjadi rahasia umum. Jadi kalau di koran ada politisi yang mencoba membuat pernyataan yang sebaliknya, mungkin dia sedang mencoba menjaga rahasia umum tersebut.
Yaitu,
2019 mungkin ganti presiden jika terdapat 3 pasang capres.Â
Dan sebaliknya,
2019 mungkin tidak ganti presiden jika hanya ada 2 pasang capres.
Tetapi siapa pun pemenangnya, lebih bagus bila ia melewati kompetisi tiga kubu. Karena si kandidat terbukti hebat, legitimasi kuat, dan masyarakat tak terbelah tajam.
Dan untuk menghilangkan kata "mungkin" dan mendapat jawaban yang pasti, dapat dinyatakan,
2019 ganti Presiden jika ...
... Tuhan menghendaki. Sekian. [DMD 27MEI2018]
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H