Seperti pada Pilkada DKI 2017 yang lalu, dengan skenario tiga kubu, suara petahana akan tertinggi. Â Tetapi tidak melampaui 50%. Karena dua kandidat lain juga berusaha meraih marketshare. Dan gabungannya dapat melampaui 50%. Memaksa pemilu berlangsung dua putaran.
Lalu di putaran tiga, pihak yang tersingkir akan mendukung penantang satunya yang lolos, dan petahana dikalahkan oleh suara gabungan itu.
Bila hanya dua kubu, akan lebih mudah bagi petahana meraih 50% plus satu. Bagaimanapun ia memiliki "fasilitas" yang secara  langsung atau tidak, dapat mempengaruhi opini masyarakat. Misal dengan  BLT, THR, bantuan beras, blusukan politik, menurunkan BBM menjelang pemilu dan seterusnya.
Maka pada papan catur ini, kubu petahana akan berupaya mengurangi jumlah kontestan. Dengan menggalang dan mengunci dukungan parpol sehingga tidak memungkinkan dua kontestan di kubu lawan.
Sementara itu, pihak oposisi akan berusaha menggulirkan dua pasang calon. Karena dengan timbulnya dua pasangan calon, salah satu kubu dari oposisi memiliki kans untuk menjadi pemenang.
KESIMPULAN
Agar judul artikel ini bukan hanya klikbait saja, pertanyaan pada judul mesti dijawab.
Sebetulnya kesimpulan ini sudah menjadi rahasia umum. Jadi kalau di koran ada politisi yang mencoba membuat pernyataan yang sebaliknya, mungkin dia sedang mencoba menjaga rahasia umum tersebut.
Yaitu,
2019 mungkin ganti presiden jika terdapat 3 pasang capres.Â
Dan sebaliknya,
2019 mungkin tidak ganti presiden jika hanya ada 2 pasang capres.
Tetapi siapa pun pemenangnya, lebih bagus bila ia melewati kompetisi tiga kubu. Karena si kandidat terbukti hebat, legitimasi kuat, dan masyarakat tak terbelah tajam.