“Ketahuilah, aku tidak ingin kau pulang tanpa nyawa karena aksi-aksimu itu.” Ucapku suatu waktu saat kau pergi pagi sekali. Katamu kau akan menggalang massa besar-besaran. Aku hanya mentapmu cemas.
Ada sesuatu yang tak sempat kukatakan padamu. Saat kau berangkat dari rumah. Ada dua orang bertubuh tegap mendatangi rumah. Dua orang itu berpesan dengan nada mengancam, agar kau menghentikan aksi-aksimu di jalan. Sama seperti yang diceritakan kakekmu dulu padaku. Sesaat aku dan ayahmu turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Aku semakin cemas memikirkanmu.
***
Semalam aku menyaksikan langsung mahasiswa-mahasiswa yang turun ke jalan untuk menolak kenaikan BBM. Aku teringat padamu. Andai saja kau berada di sini. Aku yakin darahmu akan mendidih menyaksikannya. Kau tahu? Lagi-lagi aksi demonstrasi itu tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menyisakan sampah-sampah dari fasilitas umum yang dirusak. Lalu, kau tahu imbas dari aksi demonstrasi itu? Ya, uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan itu diambil dari uang rakyat dan yang rugi lagi-lagi rakyat. Percuma bukan aksi demonstrasi yang kau lakukan selama ini?
Aku juga melihat banyak orang tua yang mencari-cari anak mereka saat aksi demonstrasi berlangsung. Barangkali anak mereka terlibat dalam aksi demonstrasi itu dan mereka takut anak mereka menjadi korban. Itu sebabnya para orang tua itu sengaja menjemput anak mereka. Seketika rasa sesalku pun datang. Mengapa saat kau turun ke jalan dulu, aku tidak datang menjemputmu. Aku sangat menyesal mengetahui nasibmu hanya lewat pemberitaan di televisi.
Aku pun masih ingat. Dulu, semangat memperjuangkan aspirasi rakyat di awal masa kuliahku sungguh berapi-api. Bagiku, membela dan memperjuangkan rakyat kecil adalah harga mati. Itulah sebabnya, tiap kebijakan pemerintah yang ku anggap salah, membuatku ingin turun ke jalan.
Negeri ini sudah rusak. Sengaja dirusak pejabat bejat berwajah lugu saat pemilu. Mulai dari bawah sampai papan atas. Pikiran itu yang terpatri dalam otakku saat menduduki bangku perguruan tinggi, dulu. Apa yang aku pikirkan itu, nyaris tak ada beda dengan obrolan di warung kopi langganan ku. Obrolan yang terlontar di tiap seruput kopi yang berbau kekecewaan. Seperti aku yang mulai muak dengan ocehan pejabat tinggi saat tampil di televisi. Tidak hanya pejabat daerah, tapi juga orang yang katanya nomor wahid di negeri ini.
“Kita orang kecil cuma bisa nelan ludah,” kata bapak tua di sampingku seraya mengudap ubi rebus yang dihidang pelengkap kopi. “Berganti-ganti pemimpin, kita akan tetap seperti ini,” sambungnya sesekali melirik pemberitaan demonstrasi mahasiswa di media cetak yang dari tadi ku baca.
Pria setengah abad itu juga bercerita. Tentang kerusuhan pendemo yang sempat dia saksikan semasa hidupnya. Tentang kekacauan, tentang mayat-mayat bergelimpangan di jalan. Dia juga bercerita betapa hebatnya kekacauan waktu itu.
“Api dimana-mana. Sulit membedakan mana perang, mana kerusuhan. Selongsong peluru berjatuhan,” dia menggambarkan cukup detail.
“Banyak orang mengira itu terjadi karena isu etnis,” dia menghela nafas sejenak. Jari-jari kekarnya lihai mengutip tiap potong ubi rebus di atas meja.