Dua minggu yang lalu kudapati seorang ayah yang diwawancarai di televisi. Dia mencari keadilan untuk anaknya yang tewas ditabrak oknum Polisi. Aku tahu yang dilakukannya hanyalah sia-sia. Banyak lagi yang ingin kuceritakan padamu. Tentang sendal jepit yang dicuri AAL, tentang buah kakao yang dipungut seorang nenek. Dan banyak lagi yang harus kau tahu. Negeri ini hanyalah untuk orang-orang tertentu. Yang jelas bukan untuk orang-orang seperti kita. Aku sadar, tidak mungkin bagiku untuk mencari keadilan di negeri ini. Kau tahu kenapa? Ya. Keadilan itu mahal. Aku tidak punya banyak uang untuk membelinya.
Kau pernah memintaku untuk bercerita apa sebenarnya yang terjadi pada ayahmu. Kau memaksaku kembali pada masa itu.
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan.” Kataku kala itu. Kau hanya diam mendengar ceritaku. Sesekali kau meneteskan air mata.
“Ayahmu sama sepertimu. Memiliki idealis yang tinggi. Siang sebelum kejadian itu, ayahmu berhasil mengumpulkan ratusan orang. Itu termasuk gabungan buruh, petani dan warga sipil lainnya dari berbagai daerah yang ikut berpartisipasi untuk berdemo. Jumlah itu belum termasuk mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi dan Ormas-ormas yang ada saat itu.” Aku memaparkan semua.
“Lalu, apa peran ayah saat itu?” tanyamu, sembari kau mengusap wajah ayahmu pada potret yang mulai usang.
“Ayahmu ditunjuk sebagai penggerak massa sekaligus orator oleh organisasi penentang pemerintah kala itu. Ayahmu orang hebat dan pemberani. Ia selalu berada di barisan terdepan. Meski pendidikannya hanya tamatan Sekolah Rakyat, Ia mampu menggerakkan massa sebesar itu. Saat matahari tepat di atas ubun-ubun kami semua berkumpul di sebuah lapangan sebelum memulai aksi.”
“Lalu apa yang terjadi pada ayah?” kau mencercahku dengan pertanyaan itu.
“Sudahlah! aku tak ingin lagi mengingat peristiwa itu.” Kataku sedikit membentakmu. Namun kau tetap memaksaku untuk menceritakannya.
“Malam setelah aksi siang itu dibubarkan paksa oleh ribuan Tentara dan Polisi, aku mendatangi rumah ayahmu. Ibumu mengatakan ayahmu pamit ke Masjid untuk sholat. Namun semenjak itu ayahmu tak pernah kembali. Banyak yang mengatakan ayahmu seorang pengecut karena mereka pikir ayahmu melarikan diri sebab takut ditangkap. Namun, ada beberapa orang yang melihat ayahmu dijemput paksa saat beberapa langkah meninggalkan masjid untuk pulang ke rumah.” Aku selalu mengingat pertanyaan yang penuh penasaran dari mu.
“Lalu...”
“Sudahlah, jangan kau tanyakan lagi!” Bentakku. Agar kau berhenti mencercahku dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu.