David Garrow, penulis biografi King, menyebut pidato itu "pencapaian retorika seumur hidup, bunyi keras pidato itu menyampaikan gerakan kekuatan moral kepada jutaan orang yang menyaksikan langsung di jaringan nasional". Tiga bukti retoris Aristoteles dapat membantu kita memahami bagaimana ia menjadikan pemisahan status quo sebagai opsi yang jelek untuk moral pendengar.
Bukti logis: Argumen yang Masuk Akal
Aristoteles berfokus pada dua bentuk logos yaitu enthymeme dan example. Dia menganggap enthymeme sebagai "bukti terkuat." Enthymeme sendiri hanyalah sebuah versi tidak lengkap dari silogisme deduktif formal. Sebagai ilustrasi, ahli logika membuat silogisme berikut dari salah satu alur pemikiran King:
Premis utama atau umum: Semua manusia diciptakan setara.
Premis minor atau spesifik: Saya manusia.
Kesimpulan: Saya setara dengan manusia lain.
Tipe enthymeme, meninggalkan premis yang sudah diterima oleh penonton yaitu : Semua manusia diciptakan setara. . . . Saya setara dengan manusia lain. Dengan gaya, enthymeme lebih artistik daripada argumen silogistik yang kaku.
Ahli retorika Lloyd Bitzer menyatakan Aristoteles punya alasan yang lebih besar bagi pembicara untuk menekan pernyataan premis bahwa pendengar sudah percaya.
Karena mereka diproduksi bersama oleh audiens, enthymeme secara alami mempersatukan pembicara dan audiens dan memberikan bukti sekuat mungkin. . . . Penonton itu sendiri membantu membangun bukti yang membujuknya.
Sebagian besar analisis retoris mencari enthymeme yang tertanam dalam satu atau dua baris teks. Dalam kasus "I Have a Dream," seluruh pidato adalah satu enthymeme raksasa. Jika logika pidato itu dinyatakan sebagai silogisme, alasannya akan menjadi sebagai berikut:
Premis utama: Tuhan akan memberikan hadiah jika tanpa kekerasan.