Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Arab Saudi dan Kesultanan Ottoman Turki

25 Juni 2023   14:30 Diperbarui: 25 Juni 2023   14:59 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain Idul Fithri dan Idul Adha, ada dua hari lain lagi yang diperingati dengan rutin dan meriah oleh masyarakat Arab Saudi. Keduanya yaitu Foundation Day setiap tanggal 22 Februari dan National Day setiap tanggal 23 September.

Sebagaimana namanya, foundation day juga disebut masyarakat Arab Saudi dengan yaumut ta'sis atau yaumul bina. Hari dibangunnya dasar-dasar berdirinya Arab Saudi modern oleh Muhammad bin Saud.

Karena pada 22 Februari 1727 Masehi (30 Jumadil Tsani 1139 Hijriah) Muhammad bin Saud mendirikan sebuah entitas politik pertama di Dir'iyyah Riyadh. Entitas inilah yang menjadi cikal bakal Arab Saudi sekarang.

Baca juga; Jazan, Kota Di Arab Saudi Yang Dibangun Ketika Perang

Adapun National Day, atau Yaumul Wathani, adalah hari ketika pada 23 September 1932 Masehi Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Faisal Al-Saud berhasil menyatukan kabilah-kabilah di Najd dan Hijaz. Setelah itu menyatakan berdirinya Kerajaan Arab Saudi modern.

Dari sisi penamaan, dua hari penting ini menyiratkan bahwa Arab Saudi menyatakan mereka bukanlah negara yang pernah mengalami kolonialisme alias penjajahan. Hari utamanya adalah Foundation Day dan National Day. Bukan Independence Day atau hari kemerdekaan.

Kesimpulan ini kerap menjadi cibiran beberapa kalangan. Karena wilayah Hijaz dan Najd yang menjadi Arab Saudi sekarang, tercatat dalam sejarah pernah berada dalam kekuasaan Kesultanan Ottoman Turki. Karenanya Arab Saudi dianggap sama dengan negara dunia ketiga lainnya. Negara yang juga mengalami penjajahan.

Baca juga; Manuver Mohammed Bin Salman Mempercepat Perkembangan Sepakbola Arab Saudi 

Mengenai anggapan ini, adalah hal menarik bila kita mengunjugi, Almuthaf Wathani As Suud atau The National Meseum. Meseum mengenai Saudi yang berada di kawasan King Abdul Aziz Historical Centre, Batha, Riyadh.

Di salah satu sudut gallery"First and Second Saudi State" terdapat tulisan yang mengungkap hubungan antara Arab Saudi dengan Kesultanan Ottoman Turki.

Menurut catatan tersebut, bahwasannya Kesultanan Ottoman Turki pada tahun 1517 dibawah Sultan Salim berhasil menundukan Kesultanan Mamluk di Mesir dan Syria. Setelah itu pada 1524 mereka bergerak ke Hijaz dan menjadikan wilayah itu berada dalam kekuasaan Ottoman.

Baca juga;Batu-Batu Berdiri Di Arab Saudi Bagian Selatan 

Hanya saja disebutkan bahwa penguasaan itu dilakukan dengan cara damai.

Al-Sharif Barakat yang ketika itu memerintah Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah, dipersilahkan Sultan Salim untuk melanjutkan kepemimpinannya sebagai Gubernur Hijaz.

Sultan Salim mengeluarkan "A Faraman" (Dekrit Kerajaan) yang menetapkan Al Sharif Barakat sebagai penguasa Hijaz dan Ottoman sebagai penjaga dua Masjid Suci di Makkah dan Madinah.

Baca juga;Arab Saudi Dan Kebutuhan Kaca Mata Anti Ultra Violet 

Dua diksi penting dalam keterangan ini adalah "Presence" dan "Peace." Adanya Ottoman Turki di tanah Hijaz lebih dikaitkan dengan kehadiran yang lebih positif. Bukan kedatangan, penguasaan atau penjajahan yang bernuansa negatif.

Kesimpulan tidak terjadinya kolonialisme Turki atas Hijaz dan Najd ini juga sejalan dengan pendapat para pengkaji studi Pasca Kolonalisme. Sebuah studi yang melihat situasi negara-negara setelah mengalami kolonialisme Barat

Para pengkaji pasca kolonialisme melihat kolonialisme sebagai penguasaan suatu negara atas negara lain. Namun mereka melihat bahwa yang melakukan kolonialisme itu adalah negara-negara Eropa. Karena kolonialisme yang mereka lakukan bersamaan dengan kapitalisme.

Baca juga;Khutbah Jumat di Arab Saudi dan di Iran 

Dalam penguasaan negara-negara Eropa Barat terhadap negara lain, terdapat perpindahan modal dari negara yang dikuasai ke negara yang menguasai. Seperti ketika Portugis dan Belanda menguasai Indonesia.

Belanda memaksa orang Indonesia menanam komoditi yang menjadi incaran perdagangan internasional. Seperti teh, gula dan kopi. Ketika tanam paksa berhasil, keuntungan dari tanam paksa itu dibawa ke Belanda untuk memperkaya mereka. 

Para pengkaji pasca kolonialisme tidak memasukan penguasaan ala Ottoman Turki terhadap Arab Saudi sebagai kolonialisme. Karena tidak ada perpindahan kapital dari negara yang dikuasai ke negara yang menguasai.

Baca juga;Diri'yyah dan Gap Imajinasi Muslim Indonesia

Mungkin karena tidak mempunyai riwayat kolonialisme Barat, ada hal yang berbeda dari Arab Saudi bila dibandingkan dengan negara-negara Arab atau teluk lainnya. Misalkan saja dalam pengenalan dan penguasaan bahasa asing.

Bagi negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia atau Aljazair,  masyarakatnya bukan hanya berbahasa Arab, tapi juga familiar dengan bahasa Prancis. Sebagai imbas dari penjajahan Prancis atas negara-negara tersebut.

Sehingga tidak aneh bila banyak kalangan menyarankan penguasaan bahasa Prancis bagi yang ingin mengerti dinamika di negara-negara tersebut.

Hal ini berbeda dengan situsi di Arab Saudi. Selain Bahasa Arab, tidak ada jejak adanya bahasa asing yang familiar dan digunakan di tengah masyarakat. Semuanya berbahasa Arab dengan berbagai dialek yang berbeda-beda.

Masyarakat kelas menengah yang fasih berbahasa Inggris, bukan hasil dari kolonialisme. Sebagaimana yang dialami India atau Malaysia yang dijajah Inggris. Tapi hasil kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang mengirimkan anak-anak mudanya belajar ke Amerika.

Amerika style inilah juga yang menjadi pembeda Arab Saudi dengan negara-negara teluk atau Arab lainnya. Bila kebanyakan negara teluk atau Arab meniru sistem Eropa dalam menata negaranya, Arab Saudi lebih banyak meniru Amerika. Kecuali sistem politiknya.

Bila dirunut, Amerika minded Arab Saudi ini sepertinya berkaitan dengan pengelolaan minyak di Arab Saudi pada masa awal.

Setelah mendeklarasikan berdirinya Arab Saudi modern, Raja Abdul Aziz melihat air sebagai variable yang sangat penting untuk kesejahteraan warganya. Air akan mendorong pertanian dan perternakan. Maka dimulailah pencarian akan sumber air.

Namun di pertengahan Raja Abdul Aziz meyakini bahwa jazirah Arab ini kaya akan sumber daya mineral. Maka pencarian air berubah menjadi pencarian minyak.

Maka pada 29 Mei 1933 dimulailah kerjasama dengan SOCAL, Standard Oil of California, untuk pencarian minyak. Sampai kemudian pada 3 Maret 1938 ditemukan ladang minyak pertama di Damam Saudi Arabia.

Temuan minyak di Damam ini bukan hanya mencatatkan temuan ladang minyak mentah terbesar di dunia, tetapi juga meyakinkan banyaknya ladang minyak lain di Arab Saudi yang belum terungkap.

Setelah temuan itu, interaksi Arab Saudi dengan Amerika menjadi semakin erat. SOCAL bertransformasi menjadi Aramco, Arabian American Oil Company. Melalui Aramco, Amerika bukan hanya mengelola minyak Saudi, tapi juga pemilik saham nya.

Setelah itu, Amerika yang sedang diatas angin paska kemenangan Perang Dunia II, juga banyak melakukan kerjasama politik dengan Arab Saudi. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun