Sebelumnya;
Berbeda dengan Indonesia di masa sebelum Presiden Jokowi, pekerja asing yang datang ke Arab Saudi bukan hanya datang sebagai white collars, tapi juga blue collars.
Dalam kehidupan keseharian, sangat familiar melihat orang Bangladesh yang bekerja di sektor kebersihan, Pakistan dan Afghanistan di bidang konstruksi serta Indonesia sebagai asisten rumah tangga, supir pribadi dan Philipina sebagai baby sitter dan tenaga kesehatan.
Untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pekerja asing ini, pemerintah Saudi membuat kebijakan saudinisasi lapangan pekerjaan. Penerapan kuota pekerja lokal bagi setiap perusahaan yang akan merekrut pekerja asing.
Baca juga;
Kebijakan ini efektif memaksa warga Saudi bekerja dan menekan angka pengangguran.
Pada 3 Maret lalu, arabnews memberitakan bahwa angka pengangguran di Saudi turun mencapai angka dibawah 8%. Sementara pada 3 April lalu, arabnews membuat headline bahwa Riyadh berhasil memecahkan rekor dengan menurunkan angka pengangguran sampai 6.7%
Kebijakan ini juga membawa situasi baru yang tidak ditemukan di tiga atau empat tahun sebelumnya.
Baca juga;
Khutbah Jumat di Arab Saudi dan di IranÂ
Di Kota utama seperti Riyadh, sudah mulai terlihat warga lokal Arab Saudi yang bekerja sebagai kasir supermarket atau penjaga mini market. Bidang pekerjaan yang biasanya dipegang oleh warga pendatang dari Asia Selatan.
Dalam konteks ini juga sebetulnya kita bisa melihat kebijakn tentang bolehnya peremuan mengendarai mobil.
Kebijakan ini memang membuat jalanan Riyadh menjadi lebih sesak dan macet. Karena bertambahnya pengendara mobil. Namun dalam waktu panjang, diyakini akan berhasil menekan ketergantungan pekerja asing yang bekerja sebagai supir keluarga.
Baca juga;
Diri'yyah dan Gap Imajinasi Muslim Indonesia
Hal yang tidak bisa diindahkan adanya pemberlakuan dependent fee bagi warga asing yang cukup tinggi. Bila sebelumnya warga asing hanya mengeluarkan ratusan riyal untuk membayar izin tinggal di Saudi, sekarang dependent fee naik sampai 4.500 SAR/tahun/orang.
Cukup tinggi hingga banyak warga asing yang kembali ke negara asal. Atau mengirim keluarganya ke tanah air lalu dia bekerja sendirian di Saudi.
Anggaran lain yang juga cukup besar dikeluarkan pemerintah Arab Saudi adalah anggaran militer. Belanja militer untuk Perang Yaman juga perang Suriah cukup menguras keuangan Arab Saudi. Disamping memakan ratusan ribu korban.
Baca juga;
Cerita Dari Arab Saudi, Masjid Dan Orang Kelebihan Berat BadanÂ
Menurut data World Bank yang diambil dari SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) disebutkan bahwa anggaran militer Arab Saudi ketika terjadi krisis ekonomi tahun 2015 adalah sebesar $ 87.19 Triliun atau 13.33% dari PDB nya.
Setelah itu Arab Saudi terihat terus menurukan anggaran militernya.
Pada tahun 2021 anggaran militer Arab Saudi turun menjadi $ 55.56 Triliun atau 6.59% dari PDB. Angka ini pun sebetulnya masih tinggi. Karena Arab Saudi berada di urutan ke-5 negara dengan belanja militer tertinggi dunia. Setelah Amerika, Inggris, Prancis dan Jerman.
Baca juga;
Dalam situasi ini juga bisa dipahami munculnya upaya diplomasi yang intens untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Setelah berhasil mewujudkan perjanjian damai dengan Iran, Arab Saudi juga berhasil membuka dialog dengan Suriah.
Pilihan diplomasi dengan Russia dan China sambil meninggalkan Amerika pun menarik. Karena bagaimanapun Amerika bukan hanya pangkal kericuhan di Timur Tengah, tetapi juga mendapat keuntungan dari kericuhan itu. Amerika adalah supplier utama senjata Arab Saudi.
Terakhir...
Baca juga;
Hira Cultural District, Cara Orang Arab Saudi Jualan Ke Orang IndonesiaÂ
Jejak Arab Saudi yang memberikan subsidi besar dan tidak menerapkan pajak pada warganya sampai saat ini masih bisa kita rasakan.
Bila kita berkeliling Kota Riyadh, setidaknya ada dua hal yang sulit ditemukan di Ibu Kota Arab Saudi ini, yakni jembatan penyebrangan dan zebra cross. Untuk mengatakan tidak akan kita temukan.
Bukan karena Arab Saudi tidak peduli apalagi tidak sanggup membangun. Tapi jalan lebar dan mulus, tidak adanya pajak pertambahan nilai serta murahnya BBM adalah kombinasi sempurna penggunaan mobil pribadi. Sekitar 90% warga Arab Saudi memiliki mobil pribadi.
Baca juga;
Asykar, Penjaga Ketertiban Masjidil Haram Makkah dan Lelaki Arab Saudi
Hal ini juga sepertinya tidak luput dari cermatan MBS yang meluncuka visi 2030.
Arab Saudi sudah mulai memperhatikan transportasi publik untuk memfasiltiasi kebutuhan mobilitas warganya. Supaya mulai lepas dari mobil pribadi yang menyedot BBM cukup tinggi.
Setelah berhasil membuat kereta cepat yang menghubungkan Makkah-Madinah, Arab Saudi juga sedang membuat Metro Riyadh. Disamping Metro Makkah dan Metro Madinah.
Baca juga;
Umrah sebagai sebuah pengalaman keberagamaan
Metro Riyadh akan menjadi transportasi publik utama di Riyadh yang terintegrasi dengan jalur Bus. Proyek yang sempat terhambat karena wabah covid, akan selesai pada akhir tahun 2023.
Menurut egis group yang menjadi pemegang kontrak proyek ini, Metro Riyadh adalah salah satu proyek Metro terbesar dunia.
Bila Metro Riyadh beroperasi, Arab Saudi bukan hanya mulai melepaskan diri dari ketergantungan pekerja asing yang bekerja sebagai supir, tetapi juga akan memaksa warganya berjalan kaki dalam aktivitas sehari-harinya.
Baca juga;
Arab Saudi Dan Tempat-Tempat Suci Bersejarah
Bila berjalan kaki menjadi kebiasaan baru, ini akan membantu problem obesitas yang dialami warganya.
Menurut catatan wisevoter, sekitar 35.4% warga Arab Saudi mengalami problem obesitas. Ketiga terbesar di negara-negara Arab setelah Kuwait dan Jordan. Atau ranking ke-12 dunia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H