Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anti Vaksin dan Etika Komunikasi Scholar Menurut Quran

1 Februari 2022   17:44 Diperbarui: 1 Februari 2022   19:29 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
terbitkanbukugratis.id

Anti Vaksin dan Etika Komunikasi Scholar Menurut Quran

Karena Vaksin Covid-19 adalah produk sains, maka dipastikan Vaksin Covid-19 berkaitan erat dengan Matematika. Kita akan mudah menemukan metode dan istilah Matematika dalam vaksin. Seperti perbedaan antara vaksin booster memakai Pfizer dan Astrazeneca. 

Bila booster Pfizer hanya 0.15 ml, maka booster dengan Astrazeneca adalah 0.25ml. Karena vaksinasi booster hanya mensyaratkan dosis setengahnya dari total dosis tiap vaksin. Sementara total dosis Pfizer adalah 0.3 ml adapun Astrazeneca adalah 0.5 Ml.

Namun yang pasti adalah karena Matematika sendiri adalah dasar sains. Tidak ada sains yang tidak berkaitan dengan Matematika. Fisikawan boleh jumawa mengatakan bahwa Fisika itu "The Rolls-Royce of Science" atau setinggi-tinggi dan seutamanya sains. Tetapi dasar Fisika adalah Matematika.

Seperti gambaran orang, Matematika adalah ilmu pasti, hitam putih atau oposisi binner (berlawanan). Pertambahan antara angka 2 dengan angka 2, pasti menghasilkan angka 4. Bukan angka lain. Bila hasil sebuah proses aritmetika dinyatakan benar, berarti dia tidak salah. 

Begitu juga sebaliknya. Angka-angka dalam mesin komputer bisa menjadi gambaran Matematika sebagai sesuatu yang binner dan rigid. Dalam dunia komputasi, angka yang berlaku hanya 0 dan 1. Bila tidak 0, maka 1. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada yang lain.

Hanya saja ketika berkaitan dengan kehidupan manusia, Matematika berubah. Meski tetap memakai angka, Matematika tidak lagi hitam putih tapi penuh dengan gradasi. 

Bila dalam dunia komputasi istilah yang muncul adalah "Binner" atau berlawanan, maka dalam kehidupan manusia istilah yang muncul adalah "Probability" atau kemungkinan terjadi. Sebuah istilah yang menyiratkan ketidakpastian.

Seperti juga dalam "Binner" angka utama dalam "Probability" adalah 0 dan 1. Bila angka 0 berarti sesuatu yang tidak terjadi, angka 1 adalah sesuatu yang terjadi. Namun berbeda dengan "Binner", dalam "Probability" dibelakang angka 0 selalu ada koma (,) yang mengiringi. 

Lalu di belakang koma masih terdapat deretan angka yang kadang bisa berjumlah belasan digit. Karena banyaknya digit di belakang koma, beberapa soal Matematika kerap meminta jawaban yang sudah dibulatkan. Seperti permintaan untuk "round to the nearest hundredth", "round to the nearest tenth". 

Angka di belakang koma cukup dibulatkan menjadi 2 atau 1 digit saja. Karenanya bila dikatakan bahwa daya sembuh sebuah vaksin itu 0.83, maka ada kemungkinan angka aslinya adalah 0.827340983400839 dan seterusnya.

Hanya saja mesti diingat. Meski dalam "Probalitas" angkanya hanya antara 0 dan 1, angka 0 sendiri bukanlah angka terendah dan angka 1 bukan angka tertinggi. Angka terendah dalam Probabilitas adalah 0.000...1 sementara angka tertingginya adalah 0.9999...9 dimana tiga titik antara angka 0 dan 1 serta antara angka 9 bermakna tak terhingga.

Angka terendah dan tertinggi tersebut muncul karena para Matematikawan sadar tidak ada sesuatu yang betul-betul bisa prediksi terjadi dan tidak terjadi secara mutlak dan pasti. Meski sudah ada hitungan Matematis yang akurat. 

Selalu ada celah yang tidak terkalkulasi yang menyebabkan sesuatu akan terjadi dan tidak terjadi. Meski kemungkinannya hanya nol koma sekian. Sesuatu "Probabilitas" bisa dikatakan bernilai 0 atau 1 ketika kejadian tersebut sudah benar-benar terbukti tidak terjadi atau terjadi.

Pemahaman dasar Matematika inilah yang sepertinya terlupakan oleh orang ketika menghadapi berbagai produk sains. Bahwa produk sains tidak pernah bisa memprediksi bahwa sesuatu akan benar-benar terjadi dan tidak terjadi. 

Tidak ada 0 dan 1 mutlak. Semuanya "Probabilitas" atau kemungkinan. Meski kalkulasi secara matematis mengatakan bahwa sesuatu kemungkinan terjadi, orang mesti menanamkan keyakinan bahwa itu baru kemungkinan besar. Begitu juga sebaliknya ketika sesuatu dikatakan tidak akan terjadi.

Bila Vaksin Covid-19 adalah produk Sains dimana salah satu dasar Sains adalah Matematika, maka seperti itulah sepertinya kita memahami Vaksin. Bahwa hasil dari Sains itu pada akhirnya "Probabilitas". 

Bahwa memakai produk Sains bukan berarti sesuatu betul-betul akan terjadi atau tidak akan terjadi seperti yang diharapkan. Semuanya adalah kemungkinan dimana kemungkinannya bisa besar atau kecil.

Namun dalam masa krisis menghadapi wabah seperti sekarang, sepertinya konsep dasar Matematika ini hilang dalam bayangan beberapa kalangan. Ada banyak pertanyaan dan bantahan mengenai tidak perlunya vaksin yang sulit dijawab bukan karena betul-betul tidak bisa dijawab, namun karena asumsi dasar pertanyaannya yang tidak tepat. 

Siapapun pasti akan kesulitan menjawab pertanyaan "Apa jaminan saya tidak kena Covid bila sudah divaksin?". Atau menjelaskan kekeliruan dari sebuah pernyataan "Saudara saya sudah divaksin tapi tetap saja kena Covid".

Ketika pertanyaan seperti diatas kerap muncul, tidak aneh bila lembaga seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memberikan penilaian bahwa berdasar PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2018 skor kemampuan membaca Matematika orang Indonesia ada di peringkat 72 dari 78 negara.

Sepertinya kemampuan membaca Matematika yang tidak begitu menggembirakan ini, bertautan dengan kebiasaan menulis notasi Matematika dan memahaminya. 

Dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya kita lebih familiar dengan notasi 90% ketimbang notasi 0.9. Dua notasi yang berbeda tapi bernilai namun kesan yang dihasilkan berbeda. 

Kesan yang dihasilkan penulisan 90% dibanding 0.9 seperti berbedanya impresi perempaun mendengar harga tas "Hanya setengah juta" dengan "Harga Rp 500.000". Meski bernilai sama, tapi karena menghasilkan kesan berbeda, ada orang membeli tas tersebut karena merasa berbeda harga.

Namun kekeliruan masyarakat dalam menilai Sains sepertinya tidak bisa dianggap sebagai faktor kesalahan masyarakat semata. Selain karena tanggung jawab terbesar pelaksanaan pendidikan ada pada negara, para sarjana yang banyak berkaitan dengan angka dan Matematika memberikan pendidikan yang keliru pada masyarakat. 

Ketika Demokrasi elektoral yang menstimuli tumbuhnya pollster secara massif, masyarakat dihadapkan dengan berseliwerannya survei politik yang sarat dengan probabilitas.

Pada pemilu lalu, tentunya kita masih ingat sebuah lembaga survei yang berdasar survei-survei yang telah dilakukan, maka dia mengatakan dengan yakin dan percaya diri bahwa esok yang akan terpilih pasti si A. Pasti, bukan mudah-mudahan.

Kalkulasi nya benar karena sesuai dengan kenyataan. Esok hari yang terpilih adalah orang yang sudah dia sebutkan. Hanya saja pernyataan tersebut hanya benar secara politis. Setidaknya menunjukan bahwa survei yang dilakukannya sesuai dengan kenyataan. 

Namun bila kita kembali kepada rumusan Matematika sebelumnya, pernyataan tersebut menjadi bermasalah secara keilmuan. Karena Sains tidak pernah mutlak-mutlakan dalam memberikan prediksi. Apalagi bila pernyataan itu dilihat secara etik komunikasi seorang sarjana.

Al-Quran sendiri mempunyai petunjuk yang sangat menarik ketika menyinggung etika komunikasi para sarjana. Bila Da'wah adalah komunikasi yang dilakukan oleh orang yang berpengetahuan, surat An-Nahl ayat 125 kerap dibahas para penda'i sebagai rujukan bagi mereka ketika berdialog dengan masyarakat. 

Ayat tersebut disebutkan "Serulah ke Jalan Allah dengan hikmah dan contoh yang baik (mauidhah hasanah) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (Jadilhum billatii hiya ahsan)"

Ada tiga kata kunci cara berbicara yang bisa kita garis bawahi dari ayat diatas, yaitu "Hikmah", "Mauidhah Hasanah" (contoh yang baik) dan "Jadilhum billatii hiya ahsan" (adu argumen dengan cara yang baik).

Bila Tuhan tidak menautkan kata "Hikmah" dengan kata lain, dalam ayat berikutnya kalimat "Mauidhah" ternyata ditautkan dengan kalimat "Hasanah" atau baik. Perbedaan pertautan ini seolah bermakna bahwa "Hikmah" itu selalu baik sementara Tuhan mesti mewanti-wanti ketika manusia melakukan "Mauidhah" dengan kata "Hasanah". Karena kadang-kadang ada "Mauidhan" yang buruk.

Namun hal yang menarik adalah ketika Tuhan menyinggung perlunya "Jadal" atau adu argumentasi.  Kata "Jadal" dalam ayat ini, ditautkan dengan "Ahsan". Dalam Bahasa Arab, "Ahsan" itu bermakna superlatif dari kata "Hasan" atau bermakna lebih baik. Karena "Ahsan" itu superlatif, sepertinya Quran sedang mengatakan bahwa ada tingkatan "Jadal" yang dilakukan manusia, yaitu "Jadal" dengan cara yang jelek, "Jadal" dengan cara yang baik dan "Jadal" dengan cara yang lebih baik.

Karena "Jadal" adalah adu argumentasi, maka "Jadal" itu pada dasarnya terjadi dengan orang yang sudah memiliki argumentasi atau pengetahuan. "Jadal" adalah polemik antara orang yang sudah berpengetahuan.

Ketika membahas ayat ini dalam Tafsir Al-Misbah, DR Quraish Shihab (QS) memberikan keterangan menarik yang sepertinya mesti menjadi perhatian. Menurut QS, ayat diatas termasuk dalam kategori ayat Makiyyah atau ayat yang turun di Makkah. 

Masa-masa ketika apa yang disampaikan Nabi mendapatkan resistensi hampir dari semua lapisan masyarakat. Baik itu masyarakat umum maupun masyarakat khusus yang sudah memiliki pengetahuan.

"Hikmah" dan "Mauidhah Hasanah" bisa dikatakan sebagai patokan untuk menyampaikan ajaran Nabi manakala berhadapan dengan masyarakat kebanyakan. 

Namun berkaitan dengan risalah kenabian, di tengah masyarakat juga terdapat orang-orang yang sudah melek dengen pengetahuan ke Tuhanan, mereka itu adalah para ahlul kitab. Ketika berhadapan dengan mereka, lakukanlah "Jadal" atau adu argumen. Karena mereka sudah mempunyai pengetahuan.

Namun "Jadal" nya sendiri mesti dilakukan dengan "Ahsan". Karena menurut QS ada "Jadal" yang buruk, yaitu ketika argumentasi yang dipaparkan tidak valid dan sikap yang ditunjukan tidak etis. Ada juga "Jadal" yang baik, yaitu ketika argumentasi yang dilontarkan valid dan bermutu tapi sikap dan adab yang mengirinya sangat buruk. Terbaik adalah "Jadal Ahsan", yaitu ketika argumentasi yang dilontarkan itu valid dan diiringi sikap saling menghormati.  

Di era Media Sosial seperti sekarang, sepertinya disinilah masalah etika komunikasi para scholars kita. Ketika berhadapan dengan masyarakat banyak yang note benenya belum mempunyai pengetahuan tentang sesuatu hal, pola yang dibangun adalah "Jadal" atau adu argumentasi. Bukan "Hikmah" atau "Mauidhah Hasan". Bahkan kerap terlihat yang terjadi adalah "Jadal" yang jelek. Sebaliknya ketika berhadapan dengan elite dan penguasa yang secara rata-rata berpendidikan dan berpengalaman, pola yang ditunjukan "Hikmah" dan "Mauidhah Hasanah" bukan "Jadal"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun