Berawal dari publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan adanya alokasi APBN untuk membiayai influencer. Temuan ini menguatkan temuan sebelumya yang tentang influencer.
Seperti temuan Oxford yang mengurai cara-cara kampanye digital negatif dan masif yang dilakukan banyak negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Lain dari itu adalah kejengahan terhadap para influencer yang dianggap memecah belah masyarakat dan kebal hukum.
Di samping besaran rupiah serta debat etika dan efektivitas influencer, muncul isu yang juga menyita perhatian. Dalam keterangan tertulisnya kepada media, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menyatakan bahwa influencer adalah Key Opinion Leader yang mempunyai peran penting dalam komunikasi kebijakan publik.
Sebagai bagian dari aktor digital, influencer adalah aktor penting dalam masyarakat berjaringan sebagai perkembangan era tranformasi dan pembentuk demokrasi digital. Mereka mempunyai peran penting perubahan paradigma top down strategy ke participative strategy.
Berangkat dari pernyataan ini, muncul dua pertanyaan penting. Pertama, apakah influencer itu opinion leader? Kedua, apakah betul juga influencer itu aktor pembentuk demokrasi digital? Karena influencer sudah mengubah paradigma top down ke paradigma partisipatif.
Dalam khazanah komunikasi massa, bila kita membicarakan istilah opinion leader, maka secara tidak langsung kita sedang membicarakan teori two-steps flow of communication dari Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz.
Menurut Everert M Rogers dalam buku klasiknya "Communication Technologi; The New Media in Society" Paul Lazarsfeld beserta Laswell, Lewin, dan Hovland adalah "The Four Founder". Intelektual kunci dalam pengembangan Ilmu Komunikasi dengan disiplin keilmuan yang mereka tekuni.
Bila Laswell, Lewin, dan Hovland berturut-turut adalah pakar politik, pakar psikologi sosial, dan pakar psikologi eksprimental, maka Lazarsfeld (1901-1976) adalah sosiolog. Di antara keempatnya, Lazarsfeld dianggap yang paling berpengaruh dalam penelitian-penelitian komunikasi.
Lazarsfel adalah peneliti di Social Science Research, Universitas Viena Austria. Sebuah lembaga yang mencoba mempertemukan kepentingan akademis dengan kepentingan pemerintah dan dunia industri.Â
Pada tahun 1933 Lazarsfeld pindah ke Amerika dan menjadi direktur pada Kantor Penelitian Radio di Princeton. Karena pada waktu itu radio sebagai media baru mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Enam tahun kemudian Lazarsfeld pindah ke Universitas Columbia dan menjadi direktur di Bureau of Applied Social Research.
Lazarsfeld adalah tool maker penelitian sosial. Pengetahuannya dalam bidang matematika yang teknis, dikolaborasikan dengan para sosiolog sehingga menghasilkan riset-riset yang melegenda sampai beberapa dekade ke depan.
Sementara Elihu Katz, partner-nya dalam merumuskan teori Two-steps Flow Communication adalah sosiolog yang juga guru besar komunikasi dari Annenberg School for Communication dari Pennsylvania University.
Ketika membicarakan teori Two-steps Flow Communication, Ruben dan Stewart dalam "Communication and Human Behavior" mengatakan bahwa ada banyak orang yang mengambil keputusan tidak berdasar informasi media. Mereka mengambil keputusan terhadap sesuatu berdasar orang berpengaruh yang ada di sekeliling mereka.
Suami atau istri dipengaruhi oleh pasangan mereka, anggota sebuah klub dipengaruhi oleh anggota klub lain, pegawai dipengaruhi koleganya atau anak-anak dipengaruhi orang tua mereka. Dari pola inilah kemudian lahir konsep opinion leader.
Menurut Ruben "Their research also indicated that some people were consistently more influential than others, leading them to conclude that 'Ideas often seems to flow from radio ad print to opinion leaders and from them to the less active sections of the population'".
Temuan Katz dan Lazarsfeld ini berpengaruh sangat panjang dan mengkaitkan kesinambungan antara komunikasi massa dan komunikasi langsung secara tatap muka.
Karenanya opinion leader bukanlah orang yang aktif menyampaikan informasi dan melalui komunikasi massa. Namun dia adalah orang yang menyaring informasi dari media kemudian menyampaikannya ke khalayak sekeliling mereka. Mereka adalah pencerna informasi media, untuk disampaikan kembali ke masyarakat.
Dari segi urutan waktu, komunikasi dua langkah ini juga adalah revisi dari pola komunikasi satu langkah yang berlaku sebelumnya. Dalam komunikasi satu langkah, media adalah institusi yang berperan besar mempengaruhi masyarakat. Apa yang disampaikan media, itulah yang diikuti masyarakat.
Pada masa Orde Baru, di antara pemanfaatan opinion leader untuk kebijakan publik terlihat ketika Menristek BJ. Habibie menyosialisasikan rencana pembangunan Jembatan Suramadu.
Meski pemerintah sudah mengontrol media, tetapi supaya rencana pembangunan ini diterima masyarakat, BJ. Habibie masih harus berkomunikasi secara tatap muka dengan para kyai dan ulama di Madura karena merekalah yang menjadi opinion leader masyarakat Madura. Kepada merekalah masyarakat Madura merujuk apakah kebijakan ini mereka terima atau tidak. Bukan kepada media.
Dari sinilah terlihat bahwa influencer bukanlah opinion leader. Sebab opinion leader adalah orang yang bergaul erat dengan masyarakat secara langsung. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai keterikatan sosiologis dan psikologis dengan masyarakat sehingga segala opininya diikuti. Ada komunikasi manusiawi yang dipraktikkan para opinion leader.
Berbeda dengan influencer yang berinteraksi dengan follower-nya melalui akun media sosial di hadapan komputer dengan berpatokan pada angka dan statistik. Mereka bukan penyaring informasi seperti opinion leader tapi justru penyampai informasi.
Lalu pertanyaan kedua muncul. Apakah influencer itu aktor digital yang berperan dalam demokrasi digital? Sebab sebagaimana yang dikatakan Fadjroel Rachman, influencer berjasa karena sudah mengubah strategi komunikasi yang semula bersifat top-down menjadi partisipatif.
Berkaitan dengan hal ini, maka jawabannya sederhananya adalah kembali kepada temuan ICW sebelumnya. Temuan yang secara eksplisit maupun implisit tidak dibantah. Bila Jubir Istana mengatakan influencer sebuah keniscayaan dalam strategi sosialisasi kebijakan pemerintah, maka Staff Ahli Menkominfo tidak hanya mengiyakan tetapi juga menyebut nama influencer yang terlibat.
Hal lainnya bisa kita ikuti dari pengakuan beberapa influencer yang mengampanyekan RUU Cipta Kerja. Mereka mengakui bahwa unggahan mereka di media sosial bukan berdasar kesadaran tapi bayaran.
Kejadian di atas secara otomatis berbanding terbalik dengan pendapat Jubir Istana. Karena pada akhirnya influencer adalah strategi komunikasi top down pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakannya. Karena mereka bekerja berdasar pesanan dan bayaran pemerintah.
Bila kita membicarakan partisipasi dalam demokrasi digital, maka sejatinya kita tidak sedang membicarakan influencer yang bekerja karena bayaran dan berdasar permintaan pemerintah, tapi kita membicarakan citizen journalism atau gerakan voluntary netizen. Gerakan-gerakan yang riil, dirasakan manfaatnya, dan jejaknya mudah terbaca.
Beberapa waktu lalu ketika masyarakat risau dengan legitimasi hasil pemilu presiden, muncul masyarakat yang mendirikan komunitas Kawal Pemilu. Di masa pandemi ketika informasi dan edukasi covid-19 simpang siur, netizen memunculkan Kawal Covid.
Lalu ketika masyarakat sangat membutuhkan masker dan presiden tidak bisa memenuhi janjinya menyiapkan 50 juta masker, netizen bergotong royong membuat gerakan pembuatan masker secara mandiri.
Semuanya adalah gerakan partisipasi masyarakat tanpa perintah dan biaya dari pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H