Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deoxyribo Nucleid Acid Perguruan Thawalib Padang Panjang: Lintasan Pemikiran Atas Almamater

20 Juni 2020   07:23 Diperbarui: 20 Juni 2020   07:31 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila sebuah organisasi terdapat pengikut, pelaksana dan pemimpin, adalah hal menarik bila kita melihat konsepsi kepemimpinan bagi masyarakat Sumatra umumnya dan Minangkabau khususnya. Tempat dimana Perguruan Thawalib Padang Panjang berdiri, dan Gerakan Sumatra Thawalib digaungkan.

Untuk melihat konsepsi kepemimpinan masyarakat Sumatra, Almarhum Kuntowijoyo, cendikiawan muslim dan Guru Besar Ilmu Sejarah di UGM, mengkontraskannya dengan konsepsi kepemimpinan Jawa. Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Almarhum mengatakan bahwa konsepsi kepemimpinan masyarakat Jawa adalah kemutlakan. Dalam babad jawa, pemimpin digambarkan sebagai penerima wahyu sehingga dia dianggap sebagai wakil tuhan dimuka bumi. Karenanya ucapan pemimpin adalah "Sabda Pandita" yang harus dituruti. Pemimpin adalah orang yang mesti dipatuhi.

Konsepsi ini berbeda dengan masyarakat Sumatra. Orang Aceh menyebut pemimpin sebagai almalikul adli pemimpin adalah keadilan. Sementara orang Minangkabau mengatakan bahwa pemimpin itu adalah orang yang didulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Karenanya dalam konsepsi masyarakat Sumatra muncul istilah "Raji adil raja disembah, raja lalim raja disanggah". Menurut Almahurm, konsepsi kepemimpinan seperti ini lebih demokratis dan egaliter.

Dinamika sosial budaya inilah yang menurut kami menjadi alasan kenapa pendekatan sistem diterapkan. Pertemuan antara sistem dengan konsep kepemimpinan yang egaliter, ibarat pertemuan botol dengan tutup. Ketika solidaritas organisasi tidak bisa dibangun oleh mitos kepemimpinan yang mesti dituruti, solidaritas organisasi akan terbentuk bila ada sistem yang menjadi rujukan. Dalam masyarakat egaliter, rule of game itulah yang menjadi pegangan bersama.

Mungkin dalam konsepsi inilah kita bisa memahami segala dinamika yang terjadi di Thawalib berkaitan dengan kepemimpinan. Dalam situasi ini juga kita bisa memahami perbedaan Thawalib dengan kebanyakan pesantren di Jawa.
Sebagaimana biasanya, didalam Pesantren yang dikelola sedemikian banyak orang, akan selalu ada konflik didalamnya. Namun di Jawa, konflik itu tidak akan berlarut-larut karena ada otoritas tertinggi yang didengar. Ketika seorang Kyai nya memutuskan sesuatu, maka konflik berhenti. Dinamika berbeda dengan pesantren di Sumatra. Karena pemimpin tidak dianggap Wakil Tuhan, maka keputusan pemimpin bisa dibantah bila dirasa tidak adil. Masalah akan berlarut-larut manakala sistem, yang merupakan pasangan konsep kepemimpinan yang egaliter, juga tidak tertata dengan baik.

Dalam konteks ini juga kita bisa memahami kenapa Thawalib tidak menjadi milik pendiri. Siapapun bisa mengelola sekolah ini selagi dia mampu dan sesuai sistem. Orang tidak mengenal Buya Hamka sebagai pimpinan Thawalib, meski beliau adalah anak pendiri. Alm. Buya Mawardi memimpin Thawalib bukan karena beliau anak atau keponakan Angku Mudo Abdul Hamid Hakim. Situasi berbeda akan kita temukan di Jawa. Anak Kyai atau pendiri, selalu menjadi bagian dari Pesantren. Karenanya dalam banyak hal, Pesantren seperti menjadi milik Kyai dan keluarga.

Mungkin setelah pendekatan sistem, maka konsep kepemimpinan yang egaliter inilah yang menjadi DNA Thawalib yang kedua. Sepertinya agak sulit mengatur Thawalib hanya berdasar kepada otoritas sebagai pucuk pimpinan tertinggi. Setidaknya kami sendiri sebagai alumni, sudah sangat familiar dengan jatuh bangun dan dinamika kepemimpinan yang ada di Thawalib.

Terakhir...

Dari urutan waktu, Thawalib didirikan 10 tahun setelah Belanda memperkenalkan Politik etis. Dalam politik etis, Belanda memperkenalkan tiga hal; Irigasi, membangun saluran air untuk mendukung aktivitas masyarakat bercocok tanam. Imigrasi, memindahkan penduduk ke sentra ekonomi baru.  Edukasi, perluasan pendidikan dan pengajaran.

Namun seperti yang diketahui, politik etis disimpangkan. Edukasi yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat Pribumi, berjalan sebaliknya. Lembaga penerbitan dibangun untuk meredam semangat nasionalisme. Pendidikan bagi masyarakat pribumi dilaksanakan untuk menghasilkan tenaga kerja murah untuk membantu pemerintahan kolonial Belanda.

Namun bila kita membuka disertasi doktoral Alm. Deliar Noer di Cornell University tahun 1973 berjudul "Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942" cendikiawan muslim ini tidak melihat kaitan antara Politik etis Belanda dengan pendirian Thawalib School. Noer melihat Thawalib sebagai bagian modernisasi Islam di Indonesia. Hulunya bisa dilacak pada ide Pan Islamisme yang digulirkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sebuah gerakan yang secara generik menyerukan kesatuan umat Islam dunia untuk melawan imperialisme dan kolonialisme yang waktu itu menguasai dunia Islam. Dalam pertengkaran politik terkini di tanah air, makna perjuangan tokoh ini direduksi menjadi gerakan anti keragaman dan anti toleran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun