Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Patrialis Akbar: Janggut, Dahi Hitam dan Korupsi

31 Januari 2017   07:06 Diperbarui: 31 Januari 2017   10:07 2858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya muslim. Kadang-kadang jadi Khatib Jumat. Kadang-kadang yah bukan sering. Karena selain sering menghindar, banyak orang tidak percaya saya bisa jadi Khatib :)

Andai saja ada yang datang pada saya mengkonfirmasi berita tentang Khatib Jumat yang cabul, Ustadz yang melanggar moral dsb, maka pasti saya akan menjawab kalau fenomena itu ada. Kalau perlu saya akan menunjuk orang-orangnya. Mulai dari imam masjid tapi nilep uang infak, aktivis ormas Islam yang berzina, ustadz tapi cabul dan lain sebagainya.

Saya juga yakin teman-teman saya yang Kristen, Hindu atau Budha akan mengatakan hal sama bila ditanya hal sama. Novel Dan Brown yang menyinggung tentang penyimpangan di Vatikan atau film favorit masa kecil saya, Pendekar Rajawali Sakti, tentang biksu dan pendeta yang bersekutu dengan para penjahat, pastinya bukan pikiran liar penulis naskah semata. Tetapi itu realitas atau kritik terhadap realitas. Karena lumrah difahami bahwa film itu media kritik dan gambaran realitas sosial.

Jadi sebetulnya bila mau sedikit sabar dan jujur, orang tidak perlu marah bila ada berita tentang agamawan yang melanggar moral. Apalagi merasa punya amunisi untuk menyerang pemeluk agama lain. Karena pelanggaran moral oleh para pemuka agama, atau orang yang mengidentikan diri dekat dengan agama, sudah terjadi sejak lama. Fenomena Patrialis itu tidak baru dan hanya terjadi di Islam.

Mungkin yang menjadi pertanyaan penting, kenapa orang-orang seperti diatas bisa melanggar moral? Kenapa para pemuka agama korupsi, berzina, nilep uang sumbangan dan lain sebagainya. Pasti banyak jawaban atas pertanyaan ini.

Saya sendiri memahami karena beragama itu bukanlah proses final, tapi proses menjadi. Beragama adalah upaya terus menerus memahami perintah Tuhan dan mendekat pada Nya. Hanya saja dalam proses itu, kadang ada yang grafiknya menaik ada juga yang menurun. Seperti hikayat mashur dari dunia sufi tentang seorang agamawan yang divonis Tuhan masuk neraka. Karena diakhir hayat tanpa sadari dia mencari perlindungan pada selain Tuhan.

Bisa juga dalam graphik menaik. Minggu ini bisa jadi orang belajar pentingnya ibadah sehingga tidak alpa shalat. Tetapi minggu depan orang mungkin melupakan semuanya karena menemukan ayat bahwa amal sosial itu lebih baik ketimbang amal ritual. Tetapi minggu depan bisa jadi orang tidak melupakan keduanya. Karena keduanya ternyata bersenyawa tidak terpisahkan.

Pada kesempatan lain tahun ini mungkin kita belajar keutamaan hidup fakir sehingga tidak berhasrat meraih kelimpahan materi. Tetapi tahun berikutnya kita giat mengumpulkan harta karena agama menganjurkan mencari kekayaan. Tetapi tahun berikutnya kita juga bekerja, mencari uang sebanyak-banyaknya tanpa perlu menghilangkan pola hidup fakir. Karena Nabi Sulaiman saja bisa fakir dalam kelimpahan materi.

Nah berkaitan dengan kekeliruan, sebetulnya kalau kita buka-buka kembali hikayat nabi atau hadits-hadits dan mau sedikit teliti, ternyata sesungguhnya agama itu justru mengajarkan bahaya melakukan kekeliruan dari orang baik dan pentingnya melakukan kebaikan dari orang jahat. Hikayat Abu Lahab atau Abu Jahal tidak pernah menjadi gambaran detail dan spesifik bahaya melakukan kejahatan. Justru dari sosok seperti Umar Bin Khattab atau Ali Bin Abi Thalib lah orang belajar bahaya melakukan kejahatan.

Pada sisi lain, dari seorang Zulaikha, yang jelas-jelas mengajak Nabi Yusuf berzina, kita justru belajar pentingnya melepas hawa nafsu ketika di akhir hayatnya dia memilih hidup menempuh jalan sunyi. Lalu dari seorang perempuan pengumbar aurat kita belajar tentang ketulusan dan kasih sayang ketika dia dimasukan surga karena memberi minum seekor kucing.

Hal menarik adalah ungkapan Ibn Athaillah Al-Iskandari dalam Al-Hikamnya. Menurut Ibn Athaillah, diantara nikmat Allah yang sering tidak disadari adalah ketika Allah menutup pandangan publik terhadap kejahatan kita dan ketika diri kita ditutup Tuhan untuk melakukan kejahatan. Karena itu sebetulnya kita layak bertanya pada diri sendiri ketika kita begitu responsif mencaci pelaku kejahatan. Betulkah kita tidak pernah melakukan kecurangan?Yakinkah kita tidak akan melakukan kejahatan bila kita mempunyai posisi dan kekuasaan seperti Patrialis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun